Perkuat Stabilitas Nasional, Tolak Provokasi Reset Indonesia

Oleh: Wilson Gumilar )*

Wacana bertajuk Reset Indonesia yang belakangan ini muncul di ruang digital dan diskursus publik, kemunculan gerakan semakin mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan bagi seluruh masyarakat agar bisa bersama-sama memperkuat stabilitas nasional dari berbagai bentuk provokasi simbolik, seperti itu. 

Narasi tersebut kerap dibungkus sebagai seruan yang seolah-olah mampu mendatangkan sebuah perubahan, namun di balik gaung slogan itu justru sering tersimpan adanya potensi gangguan terhadap ketertiban umum, persatuan bangsa, dan arah pembangunan bangsa secara jangka panjang.

Stabilitas nasional selama ini menjadi prasyarat utama bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi, keamanan sosial, dan konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya suasana yang kondusif, maka agenda pembangunan yang seharusnya bisa berjalan dengan lancar akan berisiko tersendat, bukan hanya itu namun investasi juga melemah, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara akan semakin tergerus. 

Atas dasar tersebut, berbagai elemen masyarakat sipil dan tokoh kebangsaan mengingatkan terkait bagaimana pentingnya untuk senantiasa memperkuat kewaspadaan terhadap gerakan simbolik yang tidak memiliki arah, definisi, serta kerangka konstitusional yang jelas, seperti halnya Indonesia Reset itu.

Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB), AR Waluyo Wasis Nugroho, memandang bahwa Indonesia Reset sebagai sebuah slogan yang berpotensi untuk semakin mengaburkan kepentingan nasional. 

Gagasan tersebut dinilai membawa muatan kepentingan asing serta kerap digunakan dalam aksi protes dan diskusi publik tanpa pijakan konsep yang bertanggung jawab sama sekali. Dorongan perubahan yang dibungkus dengan kata reset sering dimaknai sebagai sebuah tuntutan perombakan radikal pada sistem politik, ekonomi, dan sosial, padahal sejarah nasional bangsa menunjukkan bahwa perubahan ekstrem tanpa konsensus nasional justru akan dapat memicu terjadinya sebuah konflik horizontal dan polarisasi sosial di tengah masyarakat.

Dengan kata lain, bahwa adanya gerakan ‘reset’ tersebut bukanlah sebuah solusi, namun justru merupakan hal yang kontradiktif dari keberlanjutan pembangunan bangsa selama ini. Bukan hanya itu, namun isu provokasi tersebut juga sejatinya hanya merupakan aksi protes yang tidak dilengkapi dengan pijakan konsep apapun.

Pandangan tersebut berangkat dari kesadaran bahwa Indonesia berdiri sebagai rumah besar dengan fondasi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, nilai-nilai agama, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika. 

Gus Wal menekankan bahwa fondasi tersebut bukan sekadar simbol, melainkan hasil konsensus luhur para pendiri bangsa yang terbukti menjaga persatuan di tengah keragaman. Atas dasar itu, PNIB menempatkan prinsip Hubbul Wathon Minal Iman sebagai kerangka etis dalam membaca dinamika kebangsaan, sekaligus sebagai benteng menghadapi radikalisme, separatisme, dan ideologi transnasional yang kerap menunggangi isu perubahan sistem.

Direktur Lembaga Kajian Strategis dan Advokasi Nasional BEM PTNU, Arya Eka Bimantara, menyampaikan sikap serupa dengan menilai bahwa penggunaan tagar Reset Indonesia berisiko disalahgunakan kelompok ekstrem. 

Istilah tersebut sering beredar sebagai slogan populer tanpa arah kebijakan yang terukur, sehingga membuka ruang tafsir bebas yang rawan ditarik ke agenda destruktif. Arya menegaskan bahwa Indonesia bukan sekadar entitas administratif, melainkan ruang hidup bersama yang disatukan oleh nilai agama, Pancasila, dan konsensus kebangsaan sejak kemerdekaan.

Arya juga menyoroti kecenderungan sebagian kelompok mengabaikan mekanisme reformasi konstitusional yang telah tersedia. Saluran amandemen, legislasi, pengawasan publik, dan partisipasi demokratis sejatinya memberikan ruang koreksi yang sah dan berkelanjutan. 

Dorongan reset total justru berisiko menimbulkan kekacauan sosial serta merusak kepercayaan terhadap sistem yang sudah disepakati bersama. Survei nasional bahkan menunjukkan kecenderungan masyarakat lebih mengutamakan stabilitas, keamanan, dan kesinambungan pembangunan dibanding perubahan radikal tanpa peta jalan yang jelas.

Di sisi lain, Indonesia sedang berada pada fase kebangkitan ekonomi melalui hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam. Momentum tersebut membutuhkan stabilitas politik dan sosial agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata. 

Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Addin Jauharudin, mengingatkan bahwa setiap fase kebangkitan nasional kerap dibarengi upaya eksternal untuk menghambat kemajuan. Sejarah negara berkembang memperlihatkan pola intervensi asing yang semakin halus, mulai dari pendanaan organisasi hingga rekayasa opini publik.

Addin menjelaskan bahwa pola lama intervensi langsung kini bergeser menjadi manipulasi persepsi melalui media sosial dan ruang digital. Upaya membenturkan masyarakat dengan pemerintah, membangun salah paham terhadap kebijakan negara, serta mengobarkan kemarahan publik menjadi instrumen utama menciptakan instabilitas sosial. Strategi tersebut bekerja tanpa kehadiran fisik aktor asing, cukup dengan mengeksploitasi dinamika internal bangsa.

Dalam konteks tersebut, penguatan stabilitas nasional bukan berarti membungkam kritik, melainkan memastikan setiap aspirasi disalurkan melalui jalur konstitusional dan demokratis. Perbedaan pendapat tetap memiliki ruang, namun tidak boleh berubah menjadi provokasi yang mengorbankan persatuan dan kepentingan nasional. Penolakan terhadap gerakan simbolik Reset Indonesia menjadi bagian dari upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab kebangsaan.

Stabilitas, persatuan, dan kesadaran sejarah merupakan modal utama menghadapi tantangan global. Menolak provokasi bukan berarti anti perubahan, melainkan memastikan perubahan berlangsung terarah, inklusif, dan berpijak pada nilai luhur bangsa. Tanpa fondasi tersebut, slogan perubahan hanya akan menjadi gema kosong yang merugikan masa depan Indonesia. (*)

)* Penulis adalah pengamat sosial kemasyarakatan