JAKARTA — Gerakan simbolik bertajuk “Indonesia Reset” kian marak disuarakan melalui media sosial dan ruang-ruang diskusi publik, memunculkan kekhawatiran sejumlah tokoh nasional terkait potensi pengaburan kepentingan nasional.
Narasi tersebut dinilai tidak sekadar menjadi ekspresi kritik semata, tetapi di balik hal itu sangat berisiko untuk dimanfaatkan sebagai alat provokasi yang jelas mengancam persatuan dan stabilitas bangsa.
Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB), AR Waluyo Wasis Nugroho atau Gus Wal, menilai gagasan “Reset Indonesia” memiliki muatan risiko serius terhadap fondasi kebangsaan. Istilah ini sarat kepentingan asing dan kerap digunakan sebagai slogan dalam aksi protes tanpa kerangka konsep yang jelas.
“Reset” sering ditafsirkan sebagai dorongan perubahan radikal terhadap sistem politik, ekonomi, dan sosial, tanpa mempertimbangkan dampak instabilitas dan potensi disintegrasi,” jelas Gus Wal.
Gus Wal menegaskan bahwa sejarah Indonesia menunjukkan perubahan ekstrem tanpa pijakan nilai dan konsensus nasional justru membuka ruang konflik horizontal.
“Indonesia bukan sekadar negara administratif, melainkan rumah bersama yang dibangun di atas Pondasi Pancasila, UUD 1945, nilai nilai agama yang ada Indonesia dan semangat kebangsaan Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Ia juga menekankan prinsip Hubbul Wathon Minal Iman sebagai benteng moral bangsa.
“Hubbul Wathon Minal Iman bukan sekadar jargon, melainkan landasan teologis dan historis yang telah terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman agama, suku, dan budaya,” jelasnya.
Peringatan serupa juga disampaikan Direktur Lembaga Kajian Strategis dan Advokasi Nasional BEM PTNU, Arya Eka Bimantara yang menilai bahwa slogan “Reset Indonesia” berpotensi disalahgunakan oleh kelompok ekstrem atau separatis untuk menggerus fondasi negara.
“Indonesia bukan sekadar negara administratif, melainkan rumah bersama yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai agama, Pancasila, dan semangat kebangsaan,” ujar Arya.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Addin Jauharudin, mengingatkan adanya perubahan pola intervensi asing dalam menghadapi kebangkitan Indonesia. Rekayasa opini dan manipulasi persepsi dinilai menjadi instrumen utama untuk menciptakan jarak antara masyarakat dan pemerintah.
”Jika ini dibiarkan, akan mengganggu kemajuan dan kemakmuran Indonesia,” ungkap Addin. (*)

