Oleh: Alexander Royce*)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin menunjukkan arah baru yang strategis dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Program yang awalnya dipahami publik sebagai intervensi pemenuhan gizi kini bergerak menuju fungsi yang lebih komprehensif: menciptakan ekosistem edukasi gizi nasional yang melibatkan sekolah, keluarga, pemerintah daerah, hingga komunitas lokal. Transformasi ini penting, mengingat tantangan gizi di Indonesia masih kompleks — mulai dari stunting, kekurangan gizi mikro, hingga peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular di kalangan remaja.
Peluncuran enam modul edukasi gizi oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada 26 November 2025 menjadi salah satu langkah kunci. Wakil Menteri Fajar Riza Ul Haq menekankan bahwa modul ini dirancang bukan sekadar sebagai materi tambahan, tetapi sebagai instrumen pembelajaran yang menanamkan budaya makan sehat sejak dini. Ia menjelaskan bahwa keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi status kesehatan dan gizi siswa, sehingga MBG harus hadir bukan hanya dalam bentuk makanan, tetapi juga pemahaman yang membentuk kebiasaan. Pembedaan modul untuk jenjang PAUD hingga SMA menunjukkan bahwa pemerintah melihat pendidikan gizi sebagai proses berjenjang yang harus disesuaikan dengan tahap tumbuh kembang peserta didik.
Upaya ini sejalan dengan berbagai laporan yang menunjukkan bahwa edukasi gizi masih menjadi ruang kosong dalam sistem pendidikan Indonesia. Dengan memasukkan modul gizi ke dalam pembelajaran, pemerintah tidak hanya memperbaiki konsumsi harian anak sekolah, tetapi juga membangun fondasi literasi kesehatan jangka panjang yang dapat mencegah berbagai masalah kesehatan di masa depan. Inilah langkah visioner yang menghubungkan sektor pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan dalam satu kerangka kebijakan.
Anggota Komisi IX DPR RI, Charles Honoris, menyoroti bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai institusi pelaksana MBG harus tampil sebagai motor utama edukasi gizi nasional. Ia menilai bahwa BGN tidak cukup hanya mengawasi distribusi makanan atau mengatur standar, tetapi harus aktif melibatkan masyarakat melalui kampanye, pembinaan, hingga pendampingan intensif di lapangan. Pendapat Charles ini memperkuat gagasan bahwa MBG adalah program yang bersifat transformatif; ia harus mengubah perilaku, bukan hanya mengisi kebutuhan.
Pandangan tersebut disampaikan Charles dalam momentum yang penting, terutama setelah muncul beberapa kasus keracunan yang mengaitkan diri dengan penyelenggara program MBG. Ia menegaskan pentingnya langkah tegas pemerintah, termasuk penutupan permanen SPPG yang terbukti lalai. Tindakan cepat ini, menurutnya, menunjukkan bahwa pemerintah serius menjaga kualitas dan keamanan makanan MBG sekaligus menjaga kepercayaan publik. Dalam konteks program berskala nasional, respons seperti ini justru menjadi bukti bahwa sistem pengawasan berjalan.
Perwakilan Badan Gizi Nasional, Mochammad Halim, menyampaikan bahwa edukasi gizi harus menjadi pilar utama keberlanjutan MBG. Ia menilai bahwa interaksi langsung dengan masyarakat menjadi kunci keberhasilan program. Halim juga menekankan pentingnya kolaborasi dengan daerah karena implementasi MBG sangat dipengaruhi kesiapan infrastruktur, kapasitas penyelenggara, dan partisipasi komunitas. Dengan pendekatan kolaboratif ini, BGN ingin memastikan bahwa MBG tidak berjalan secara mekanis, tetapi benar-benar menjadi gerakan perubahan perilaku konsumsi.
Menariknya, berbagai kegiatan sosialisasi MBG di daerah, termasuk di Badung dan sejumlah wilayah lainnya, menunjukkan bahwa masyarakat merespons positif program ini. Edukasi tentang pentingnya konsumsi pangan lokal bernutrisi, peran protein hewani, pentingnya kebiasaan sarapan, hingga pencegahan anemia semakin sering disampaikan melalui forum publik. Hal ini menunjukkan bahwa MBG berhasil membuka ruang edukasi yang selama ini tidak terakomodasi oleh pola komunikasi kesehatan konvensional.
Penguatan MBG sebagai ekosistem edukasi gizi nasional juga berkaitan erat dengan agenda pencegahan penyakit tidak menular yang semakin menjadi perhatian pemerintah. Pola makan tidak sehat terbukti menjadi salah satu faktor risiko terbesar PTM pada usia muda. Dengan MBG yang tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga membangun pemahaman, pemerintah sesungguhnya sedang melakukan langkah investasi jangka panjang. Kebiasaan makan sehat yang ditanamkan hari ini akan menurunkan biaya kesehatan negara, mengurangi beban penyakit, dan meningkatkan produktivitas generasi muda di masa depan.
MBG juga menciptakan peluang pemberdayaan masyarakat. Banyak sekolah mulai bekerja sama dengan kelompok tani lokal, UMKM pangan, dan koperasi desa untuk memasok bahan baku. Dengan demikian, MBG turut menggerakkan ekonomi daerah melalui pemanfaatan pangan lokal bernilai gizi tinggi. Jika rantai pasok pangan lokal semakin kuat, maka MBG akan menjadi motor penguatan ekonomi berbasis komunitas yang sejalan dengan visi pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada bahan impor.
Program ini memiliki potensi besar untuk menjadi model kebijakan gizi terintegrasi yang menghubungkan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Dengan ekosistem yang saling terkoneksi, MBG dapat membentuk generasi yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga memiliki literasi gizi yang kuat. Ketika anak-anak memahami alasan di balik makanan bergizi, maka perubahan perilaku dapat berlangsung secara mandiri dan berkelanjutan.
Dengan langkah-langkah progresif yang kini dijalankan, pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam membangun Indonesia yang lebih sehat dan berdaya saing. MBG adalah bukti bahwa kebijakan publik dapat dirancang secara visioner sekaligus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Semoga program ini terus berkembang, dikawal, dan diperkuat bersama oleh seluruh elemen bangsa sebagai bagian dari perjalanan menuju Indonesia Emas 2045.
*) Pengamat Sosial

