Oleh: Helena Weya *)
Setiap menjelang 1 Desember, tensi sosial di sejumlah daerah kembali menguat akibat provokasi yang mencoba memanfaatkan momentum tersebut sebagai hari simbolik bagi kelompok separatis. Bagi masyarakat luas, khususnya di wilayah dengan populasi mahasiswa Papua yang cukup besar seperti Surabaya dan Makassar, isu ini bukan sekadar soal kebebasan berpendapat tetapi telah berkali-kali memantik keresahan sosial. Pemerintah dan berbagai elemen masyarakat menilai bahwa provokasi semacam ini tidak hanya menimbulkan gangguan keamanan tetapi juga merusak ruang dialog yang selama ini terus diperkuat melalui kebijakan pembangunan di Papua dan wilayah lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, arus provokasi di sekitar tanggal 1 Desember kerap mengikuti pola yang sama, yakni dengan mengatasnamakan aspirasi mahasiswa Papua namun membawa narasi yang memiliki kedekatan dengan aktivitas kelompok separatis. Hal inilah yang kembali ditekankan oleh Ketua Aliansi Merah Putih Bergerak Jawa Timur, Sahrul Alamsyah, yang menyampaikan bahwa aktivitas kelompok tertentu di Surabaya dinilai memiliki keterkaitan dengan gerakan separatis dan berpotensi memengaruhi mahasiswa Papua. Pandangan ini disampaikan bukan untuk menekan ruang berekspresi, melainkan sebagai bentuk kekhawatiran bahwa isu politik yang sensitif dapat disusupi aktor-aktor yang tidak menginginkan stabilitas nasional. Kekhawatiran tersebut perlu dipahami sebagai alarm sosial bahwa masyarakat tidak bisa membiarkan provokasi berkembang tanpa batas.
Di Makassar, Koordinator Aliansi Merah Putih Bergerak, Zainal Azis, juga menyuarakan hal serupa. Ia menilai bahwa keberadaan kelompok yang membawa agenda 1 Desember sering kali memancing gesekan sosial dan memicu kekhawatiran publik. Narasi yang dibawakan kelompok tersebut, menurutnya, kerap dibungkus dengan tema demokrasi namun berpotensi membelokkan persepsi mahasiswa Papua yang sesungguhnya sedang menempuh pendidikan dan membangun masa depan. Penegasan ini mewakili suara banyak pihak yang merasa bahwa stabilitas sosial tidak boleh dikorbankan oleh agenda provokatif yang bersifat destruktif. Narasi provokatif ini semakin tidak relevan ketika pemerintah pusat dan daerah terus membuka ruang dialog serta memperkuat kebijakan afirmatif bagi masyarakat Papua dalam pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga pemberdayaan ekonomi.
Fenomena ini menunjukkan satu hal yang penting: ruang publik kita membutuhkan penguatan narasi konstruktif yang menolak segala bentuk provokasi separatis. Apalagi pemerintah saat ini telah memperluas langkah-langkah pembangunan Papua melalui program-program strategis yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat. Stabilitas keamanan menjadi fondasi untuk memastikan program tersebut berjalan efektif. Tanpa keamanan, upaya pembangunan hanya akan terhambat oleh konflik horizontal ataupun provokasi politik yang tidak produktif.
Menariknya, narasi penolakan provokasi ini tidak hanya datang dari kelompok masyarakat yang berbasis di luar Papua. Pemerintah daerah di Papua sendiri sedang berfokus menciptakan suasana sosial yang kondusif jelang 1 Desember, seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua Selatan. Sekretaris Daerah Papua Selatan, Ferdinandus Kainakaimu, menekankan bahwa pemerintah di wilayahnya justru memilih menjadikan 1 Desember sebagai momentum untuk memulai kemeriahan Natal. Ajakan tersebut, menurutnya, bertujuan untuk menggerakkan seluruh masyarakat agar menyambut bulan Desember dengan semangat kebersamaan, bukan dengan konflik atau provokasi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua sendiri ingin mendorong narasi damai, bukan memelihara ketegangan yang tidak memberi manfaat apa pun bagi pembangunan daerah.
Apa yang dilakukan oleh Papua Selatan merupakan contoh bagaimana pemerintah daerah dapat mengalihkan energi masyarakat ke arah yang positif. Dengan mendorong kegiatan keagamaan dan sosial, pemerintah mengajak masyarakat untuk fokus pada agenda yang membawa nilai kebersamaan. Ketua Panitia Natal Bersama pemerintah dan aparat keamanan di Papua Selatan, Willem da Costa, juga memperkuat pesan tersebut dengan menyampaikan bahwa perayaan Natal harus terasa meriah dan menyenangkan di seluruh penjuru daerah.
Narasi-narasi konstruktif ini perlu mendapatkan ruang lebih besar. Dalam konteks keamanan nasional, provokasi 1 Desember bukan sekadar aksi turun ke jalan tetapi juga momentum yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin menciptakan instabilitas. Pemerintah telah berkali-kali menegaskan bahwa aspirasi publik tetap dijamin, namun tidak dalam bentuk yang memicu ancaman bagi ketertiban umum. Aparat keamanan pun selalu mengedepankan langkah persuasif untuk memastikan tidak ada gesekan yang berpotensi menimbulkan korban. Pendekatan ini merupakan kebijakan yang dipilih agar masyarakat tetap mendapatkan perlindungan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.
Melalui seluruh dinamika tersebut, semakin terlihat bahwa 1 Desember tidak boleh lagi menjadi celah bagi provokasi yang merugikan generasi muda, mengganggu ketertiban umum, atau menciptakan kesan bahwa agenda separatis masih relevan. Pemerintah telah menyediakan berbagai jalur dialog dan pembangunan, dan inilah ruang yang seharusnya diperkuat. Narasi damai, kebersamaan, dan kemajuan lebih pantas dikedepankan daripada ajakan yang hanya membawa masyarakat ke dalam konflik yang tidak berujung.
Menolak provokasi 1 Desember bukan berarti menutup aspirasi, melainkan memastikan bahwa aspirasi tidak dirampas oleh kelompok yang memanfaatkan momen tersebut untuk agenda yang merugikan banyak orang. Indonesia membutuhkan ruang sosial yang aman agar pembangunan berjalan tanpa hambatan. Pemerintah telah memberikan arah yang jelas, masyarakat telah menunjukkan sikap yang tegas, dan kini yang dibutuhkan hanyalah konsistensi untuk menjaga ruang damai ini tetap berdiri kokoh bagi seluruh warga bangsa.
*) Aktivis Pemuda Papua

