Oleh : Revan Ananda )*
Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan reformasi hukum Indonesia. Pembaruan ini bukan sekadar revisi teknis terhadap aturan acara pidana, tetapi juga menawarkan paradigma baru dalam hubungan antara masyarakat dan negara. Dalam konteks demokrasi modern, KUHAP yang diperbarui memberikan ruang lebih luas bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara formal, terstruktur, dan efektif. Dengan adanya kanal aspirasi yang lebih kuat dan mekanisme keberatan yang lebih jelas, masyarakat kini memiliki alternatif yang lebih konstruktif daripada aksi jalanan yang selama ini kerap menjadi pilihan terakhir.
Selama bertahun-tahun, aksi jalanan menjadi medium utama masyarakat dalam mengekspresikan ketidakpuasan terhadap kebijakan negara. Meskipun demonstrasi merupakan bagian dari hak asasi dan dijamin oleh konstitusi, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa unjuk rasa yang masif terkadang menimbulkan risiko lain, baik bagi peserta maupun masyarakat umum. Kemacetan, potensi bentrokan, hingga penyusupan provokator menjadi persoalan berulang yang tak jarang mengaburkan substansi tuntutan rakyat. Dalam kerangka inilah, kehadiran KUHAP baru yang memberi ruang formal bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi menjadi terobosan strategis.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman mengatakan, pihaknya menghormati penolakan yang disuarakan terkait KUHAP yang baru disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Meskipun masih ada penentangan, Komisi III siap mengundang lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini menolak KUHAP. Pihaknya siap menjelaskan hal substantif hingga teknis terkait revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut.
Salah satu aspek penting dalam KUHAP baru adalah penegasan mengenai hak masyarakat untuk mengajukan keberatan dan kontrol terhadap proses hukum secara resmi. Mekanisme praperadilan yang diperluas, ruang partisipasi publik dalam perumusan kebijakan penegakan hukum, hingga penguatan pengawasan internal dan eksternal lembaga penegak hukum menjadi bagian integral dari pembaruan ini. Dengan skema seperti ini, setiap keluhan atau aspirasi publik dapat diakomodasi melalui mekanisme administratif dan yuridis yang sah, sehingga menghasilkan proses penyelesaian masalah yang lebih rasional dan minim gesekan.
Selain itu, KUHAP baru juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses hukum. Dengan prosedur yang diperjelas, penggunaan teknologi informasi, serta kewajiban pelaporan publik, masyarakat kini lebih mudah mengakses perkembangan kasus atau kebijakan hukum tertentu. Keterbukaan ini membuat masyarakat merasa dilibatkan dan menjadi bagian dari proses, bukan sekadar penonton. Ketika jalur komunikasi antara pemerintah dan publik semakin terbuka, suasana kondusif akan tercipta secara alami.
Masyarakat tidak lagi merasa terpinggirkan atau diabaikan, melainkan diposisikan sebagai mitra dalam membangun sistem hukum yang lebih adil. Kemudian aspirasi yang disampaikan melalui mekanisme formal lebih sulit dipelintir oleh pihak-pihak berkepentingan, sekaligus memastikan bahwa substansi pesan asli tetap terjaga. Dengan demikian, proses advokasi masyarakat menjadi lebih murni dan berfokus pada penyelesaian masalah.
Sementara itu, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru mendapat penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil, pembentukannya dilakukan dengan partisipasi bermakna. Pemerintah melibatkan perguruan tinggi dengan fakultas hukum di seluruh Indonesia melalui sesi daring untuk memberikan masukan. Dari proses itu, beberapa usulan diterima, sementara yang lain tidak.
Lebih jauh, pergeseran budaya aspirasi dari jalanan ke jalur formal mencerminkan kematangan demokrasi Indonesia. Negara memberikan ruang dialog yang lebih elegan, sementara masyarakat menunjukkan kesiapan untuk berpartisipasi melalui cara yang lebih produktif. Ini bukan berarti aksi jalanan akan hilang sama sekali, demokrasi tetap menjamin kebebasan berekspresi. Namun, pilihan untuk menggunakan jalur formal secara lebih optimal menunjukkan bahwa negara dan rakyat sedang bergerak menuju demokrasi deliberatif yang bertumpu pada argumentasi, bukti, dan prosedur hukum yang sah. Dalam lingkungan seperti ini, ketegangan sosial dapat diminimalisir, dan energi masyarakat dapat dialihkan pada upaya kolaboratif membangun solusi.
Perubahan ini juga memberikan keuntungan jangka panjang bagi stabilitas nasional. Dengan semakin sedikitnya aksi jalanan yang berpotensi mengganggu ketertiban umum, pemerintah dapat lebih fokus pada pembangunan prioritas, sementara masyarakat dapat lebih tenang menjalankan aktivitas sehari-hari. Ketika aspirasi dapat disalurkan melalui jalur yang lebih damai, cepat, dan efektif, kualitas komunikasi antara pemerintah dan publik akan meningkat signifikan. Pada akhirnya, pengesahan KUHAP baru bukan hanya tentang pembaruan hukum acara pidana, tetapi juga tentang penyempurnaan ekosistem demokrasi Indonesia secara keseluruhan.
Dengan adanya reformasi hukum ini, masyarakat kini memiliki pegangan baru, bahwa suara mereka tetap kuat tanpa harus turun ke jalan. Aspirasi yang disampaikan melalui kanal formal tetap dapat mengubah kebijakan, memberikan masukan penting, dan memastikan bahwa negara berjalan sesuai harapan rakyat. Transformasi budaya aspirasi ini merupakan langkah maju menuju Indonesia yang lebih dewasa, tertib, dan berorientasi pada solusi. KUHAP yang baru menjadi bukti bahwa negara hadir tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mendengarkan, merangkul, dan menghargai suara masyarakatnya.
)* Pengamat Hukum

