Jakarta — Pemerintah menegaskan bahwa proses penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru dilakukan secara objektif, terbuka, dan melibatkan partisipasi luas dari masyarakat serta para ahli hukum di seluruh Indonesia. Hal ini disampaikan guna merespons berbagai dinamika dan perdebatan publik terkait revisi KUHAP yang saat ini memasuki tahap finalisasi.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa pembahasan KUHAP baru tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Dalam penyusunannya, DPR berupaya memenuhi prinsip meaningful participation atau partisipasi publik yang bermakna. Melalui forum-forum dengar pendapat, DPR menyerap aspirasi masyarakat agar KUHAP yang baru benar-benar mencerminkan kebutuhan keadilan yang lebih modern.
“KUHAP ini dalam penyusunan kami semaksimal mungkin berikhtiar untuk memenuhi meaningful participation. KUHAP lama itu terlalu menempatkan negara sangat kuat. Pada KUHAP yang baru, posisi warga negara diperkuat, terutama terkait pendampingan advokat sejak awal pemeriksaan,” kata Habiburokhman.
Ia menambahkan bahwa KUHAP baru akan jauh lebih objektif dibanding aturan lama yang berlaku sejak 1981. Salah satu perubahan signifikan terlihat dalam pengaturan penahanan. Jika sebelumnya penahanan sangat bergantung pada subjektivitas penyidik, kini syarat penahanan dibuat lebih ketat dan terukur, mencakup upaya melarikan diri, pengulangan tindak pidana, menghilangkan barang bukti, atau mempengaruhi saksi. “Ini sangat objektif dan bisa dinilai secara jelas,” tegasnya.
Habiburokhman menilai bahwa sudah saatnya KUHAP Orde Baru dihentikan karena terlalu banyak menimbulkan korban penyalahgunaan kewenangan. Revisi KUHAP disebutnya sebagai langkah darurat untuk memperbaiki interaksi antara aparat penegak hukum dan warga negara berdasarkan prinsip keadilan yang lebih manusiawi.
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa pembahasan revisi KUHAP dilakukan secara transparan dan melibatkan perguruan tinggi hukum dari seluruh Indonesia. Melalui berbagai forum, pemerintah mengakomodasi beragam masukan dari akademisi dan praktisi hukum. “Belum pernah ada undang-undang yang dilakukan meaningful participation seperti KUHAP,” ujarnya.
Supratman memahami masih ada kelompok masyarakat yang menolak revisi ini, namun ia mengajak publik melihat secara objektif substansi KUHAP baru yang mengedepankan perlindungan hak asasi manusia, restorative justice, dan perluasan objek praperadilan. Menurutnya, perubahan ini akan menghilangkan potensi kesewenang-wenangan dan memperkuat perlindungan bagi seluruh warga, termasuk kaum disabilitas.
Ia menambahkan bahwa pemerintah kini tengah menyiapkan tiga peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana, yang ditargetkan rampung sebelum KUHAP baru berlaku pada 2 Januari mendatang. Dengan regulasi yang lebih komprehensif, pemerintah berharap KUHAP baru dapat menjadi landasan sistem peradilan pidana yang modern, manusiawi, dan berkeadilan.
[edRW]

