Pengesahan KUHAP 2025 Disusupi Disinformasi, Publik Diminta Waspada Hoaks

Oleh : Gavin Asadit )*

Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru pada akhir 2025 menjadi salah satu momen penting dalam reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, di tengah upaya pemerintah dan DPR mensosialisasikan regulasi tersebut, muncul gelombang hoaks yang beredar luas di media sosial. Narasi-narasi keliru itu menciptakan kesalahpahaman mengenai pasal-pasal tertentu dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum maupun proses penyusunan undang-undang. Pemerintah menilai bahwa fenomena ini merupakan tantangan serius yang harus ditangani dengan pendekatan komunikasi publik yang cepat, akurat, dan terukur.

Salah satu hoaks yang paling banyak beredar adalah klaim bahwa KUHAP baru memberikan kewenangan sewenang-wenang kepada aparat kepolisian untuk melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan. Unggahan-unggahan yang viral mengesankan bahwa penyadapan bisa dilakukan kapan saja, terhadap siapa saja, dan untuk alasan apa pun tanpa kontrol lembaga peradilan. Narasi ini dibantah tegas oleh pemerintah dan DPR, yang menegaskan bahwa KUHAP justru memperkuat mekanisme pengawasan yudisial terhadap tindakan penyadapan. Pemerintah menjelaskan bahwa setiap tindakan penyadapan tetap mensyaratkan adanya regulasi khusus serta persetujuan dari pengadilan, sesuai ketentuan yang berlaku dan prinsip penghormatan terhadap hak privasi warga negara.

Hoaks lain yang tidak kalah menyesatkan adalah klaim bahwa aparat dapat membekukan rekening, mengambil data digital, atau menyita perangkat elektronik secara sepihak tanpa prosedur hukum yang jelas. Pemerintah menggarisbawahi bahwa langkah-langkah tersebut tetap memerlukan izin ketua pengadilan atau putusan pengadilan, dan tidak ada satu pun pasal dalam KUHAP baru yang memberikan kewenangan absolut kepada penyidik. Justru sebaliknya, KUHAP memperjelas syarat-syarat hukum, batas waktu, serta mekanisme penilaian bukti agar tindakan penegakan hukum tidak disalahgunakan. Pemerintah khawatir apabila hoaks seperti ini terus dibiarkan, persepsi publik terhadap aparat penegak hukum dapat terdistorsi, yang pada akhirnya merusak legitimasi proses penegakan hukum.

Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam keterangan resminya menegaskan bahwa berbagai informasi menyesatkan tentang KUHAP baru sebagian besar muncul dari potongan informasi yang tidak lengkap. Ia menjelaskan bahwa proses pembahasan KUHAP telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan sehingga setiap pasal yang disahkan sudah melalui kajian ketat. Puan juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terpancing oleh konten viral yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya, pembaruan KUHAP diperlukan karena undang-undang sebelumnya telah berusia lebih dari empat dekade dan tidak sepenuhnya selaras dengan perkembangan teknologi maupun kebutuhan perlindungan hak asasi manusia di era modern.

Dari sisi legislatif, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, juga memberikan penjelasan mendalam terkait berbagai hoaks yang tersebar. Ia menegaskan bahwa semua tindakan seperti penyadapan, penggeledahan, penyitaan, dan blokir rekening memiliki prasyarat hukum yang jelas, terutama terkait persetujuan pengadilan dan keberadaan minimal dua alat bukti. Menurutnya, tidak benar bahwa KUHAP baru memberikan kekuasaan tanpa batas kepada aparat kepolisian. Justru regulasi baru ini dirancang untuk menutup celah hukum yang selama ini kerap menimbulkan perdebatan, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi penyidik, penuntut, maupun masyarakat. Ia mengingatkan bahwa narasi hoaks yang beredar telah memicu keresahan publik, sehingga klarifikasi harus terus dilakukan.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menekankan bahwa penyusunan KUHAP baru dilakukan dengan filosofi untuk menyeimbangkan kewenangan negara dan perlindungan hak-hak warga. Ia menjelaskan bahwa pemerintah memasukkan banyak aspek pembaruan, termasuk perlindungan bagi kelompok rentan, penegasan hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum sejak awal proses penyidikan, dan peningkatan standar transparansi dalam pemeriksaan perkara. Menurutnya, tudingan bahwa KUHAP memberikan “kebebasan absolut” kepada aparat tidak berdasar dan mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap teks undang-undang. Ia berharap masyarakat lebih aktif mengecek informasi melalui sumber resmi agar tidak menjadi korban disinformasi.

Pemerintah menilai bahwa persebaran hoaks ini tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga berpotensi memicu ketegangan antara masyarakat dan aparat. Dalam konteks kepercayaan publik, disinformasi merupakan ancaman serius karena dapat menggiring opini pada kesimpulan yang salah mengenai proses hukum. Oleh karena itu, pemerintah memperkuat koordinasi antara kementerian, DPR, dan lembaga penegak hukum untuk mempercepat publikasi penjelasan resmi, menyebarkan ringkasan pasal yang mudah dipahami, dan menghadirkan narasumber kredibel dalam diskusi publik. Pemerintah juga mendorong literasi hukum sebagai bagian dari upaya jangka panjang untuk membangun masyarakat yang kritis dan tidak mudah dipengaruhi informasi palsu.

Sejalan dengan itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati sebelum menyebarkan informasi terkait KUHAP dan regulasi lainnya. Setiap warga negara diharapkan melakukan verifikasi melalui situs resmi pemerintah, dokumen undang-undang yang telah diundangkan, atau pernyataan pejabat berwenang. Pemerintah juga menyarankan agar masyarakat menggunakan platform pemeriksa fakta yang tersedia untuk meminimalkan risiko penyebaran hoaks. Dengan ekosistem informasi yang lebih sehat, diharapkan dialog publik dapat berlangsung secara objektif dan konstruktif.

Fenomena hoaks terkait KUHAP baru menunjukkan bahwa reformasi hukum tidak bisa dilepaskan dari tantangan komunikasi publik di era digital. Ketika informasi dapat tersebar dalam hitungan detik, negara harus bergerak lebih cepat dan responsif dalam menyampaikan fakta. Pemerintah mengajak semua pihak termasuk media, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi untuk bersama-sama menjaga ruang informasi yang sehat. Dengan demikian, implementasi KUHAP baru dapat berlangsung dengan lancar, dan masyarakat dapat menilai regulasi berdasarkan data dan penjelasan resmi, bukan berdasarkan rumor yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan