Oleh: Alexander Royce*)
Pengesahan KUHAP baru oleh DPR RI pada 18 November 2025 menjadi momentum historis dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, di tengah sorotan publik, beredar berbagai narasi hoaks yang mengklaim bahwa undang-undang ini memberi kewenangan tak terbatas kepada polisi. Sebagai pengamat, wajar jika publik mempertanyakan, tetapi perlu disikapi dengan cermat: banyak tudingan yang ternyata tidak akurat dan justru melemahkan kepercayaan pada sistem peradilan yang kini diperkuat melalui mekanisme izin pengadilan, bukan melegitimasi tindakan sepihak.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, dengan tegas mengklarifikasi empat hoaks utama yang beredar luas di media sosial. Menurutnya, tuduhan seperti polisi bisa menyadap tanpa batas, membekukan rekening secara sepihak, menyita perangkat digital tanpa prosedur, hingga menangkap dan menahan tanpa bukti, semuanya keliru dan menyesatkan. Ia menjelaskan bahwa KUHAP baru tidak memasukkan penyadapan secara bebas, melainkan hal ini akan diatur dalam undang-undang tersendiri dan wajib melalui izin ketua pengadilan. Pemblokiran rekening pun tetap mensyaratkan persetujuan hakim sesuai pasal 139 ayat (2). Penyitaan barang elektronik seperti HP dan laptop juga hanya dapat dilakukan dengan izin ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam pasal 44. Terkait penangkapan dan penahanan, aparat tetap wajib memenuhi ketentuan minimal dua alat bukti, sesuai pasal 93 dan 99.
Lebih jauh, Habiburokhman menegaskan bahwa revisi KUHAP bukanlah proses legislasi tertutup. Ia menyebut 99,9 persen isi KUHAP baru berasal dari masukan kelompok masyarakat sipil, memperlihatkan bahwa undang-undang ini lahir melalui mekanisme konsultatif dan terbuka. Tidak ada pencatutan nama LSM seperti yang dituduhkan sebagian pihak. Sebaliknya, rapat dengar pendapat umum, konsultasi lintas fraksi, serta masukan dari akademisi dan komunitas hukum telah ikut membentuk substansi akhir beleid ini. Ia menekankan bahwa publik tidak perlu terpancing narasi menyesatkan karena proses penyusunannya berjalan transparan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, juga memberi perhatian serius terhadap derasnya hoaks terkait KUHAP baru. Ia menyebut semua tudingan negatif yang beredar adalah keliru dan tidak berdasar. Menurutnya, penjelasan Komisi III sudah sangat jelas dan dapat dipahami jika dibaca secara utuh. Puan juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU KUHAP telah berlangsung sejak 2023, disertai ruang dialog yang luas. Artinya, penyempurnaan regulasi ini bukan inisiatif sepihak, melainkan hasil kerja panjang lembaga legislatif dengan melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai unsur.
Ia menilai bahwa pembaruan KUHAP merupakan langkah penting menghadapi perkembangan zaman. Tantangan kejahatan siber yang makin kompleks membutuhkan prosedur modern, tetapi tetap memberikan perlindungan maksimal terhadap hak-hak warga negara melalui penguatan peran pengadilan. Puan berharap klarifikasi yang terus disampaikan para pemangku kebijakan dapat meredam kegaduhan publik dan memastikan masyarakat tidak diseret oleh misinformasi yang sengaja disebarkan untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi negara.
Dalam konteks ini, penting bagi publik memahami bahwa KUHAP baru justru memperkuat prinsip check and balance. Tindakan penyadapan, pemblokiran rekening, penyitaan barang digital, hingga penahanan tidak bisa lagi dilakukan tanpa kontrol pengadilan. Mekanisme ini menunjukkan bahwa negara tidak sekadar ingin memberi efektivitas kerja kepada aparat, tetapi juga menjamin bahwa setiap tindakan hukum berada dalam koridor akuntabilitas yudisial. Modernisasi ini bukan hanya respons terhadap tantangan teknologi, tetapi juga wujud komitmen negara menjaga hak-hak dasar warganya.
Gelombang hoaks yang meramaikan ruang publik harus dipandang sebagai ujian kedewasaan demokrasi. Jika masyarakat ingin berpartisipasi dalam perdebatan hukum dengan sehat, maka literasi hukum dan kehati-hatian dalam menerima informasi menjadi kunci. Pemerintah dan DPR telah memberi klarifikasi yang cukup, sehingga tidak ada alasan bagi publik untuk terjebak pada narasi menyesatkan. Justru, masyarakat perlu lebih bijak dalam menyaring informasi, apalagi terkait regulasi penting seperti KUHAP.
Dengan penyusunan yang panjang, proses legislatif yang transparan, serta penguatan peran pengadilan dalam setiap tindakan pro justitia, KUHAP baru adalah bukti bahwa negara berkomitmen memperbaiki sistem peradilan tanpa mengorbankan hak warga negara. Pemerintah dan DPR telah menunjukkan keseriusan dalam membangun hukum yang progresif, demokratis, dan responsif. Sudah saatnya publik mendukung langkah ini dan bersama-sama menciptakan ruang informasi yang sehat demi kemajuan Indonesia. Pemerintahan saat ini kembali membuktikan bahwa reformasi hukum dapat berjalan seimbang, kuat untuk negara, sekaligus adil bagi rakyat.
*) Penulis merupakan Pengamat Sosial

