Masyarakat Diimbau Tidak Terprovokasi Gerakan Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto

Oleh: Nadira Citra Maheswari)*

Pemerintah terus mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh gerakan penolakan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Imbauan ini disampaikan seiring meningkatnya perdebatan di ruang publik, terutama di media sosial, yang cenderung provokatif tanpa batas. Kontroversi mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tersebut kembali mencuat, memunculkan reaksi beragam dari berbagai kelompok masyarakat. 

Perdebatan seputar Presiden Soeharto selalu berada di persimpangan antara penilaian historis, sentimen politik, dan persepsi generasi yang berbeda. Ada kelompok yang menilai Presiden Soeharto sebagai figur yang berjasa dalam membawa Indonesia keluar dari ketidakpastian ekonomi pada masa awal Orde Baru, sementara kelompok lain menyoroti pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan politik, serta penyalahgunaan kekuasaan yang dianggap terjadi selama 32 tahun pemerintahannya. 

Pemerintah menekankan bahwa penilaian mengenai gelar pahlawan merupakan proses yang memiliki mekanisme formal melalui lembaga dan tahapan resmi. Setiap usulan harus melalui kajian mendalam dan penilaian akademis serta administratif yang ketat. Dalam proses itu, pertimbangan historis dan dampak sosial tetap menjadi faktor penting. Pemerintah ingin memastikan bahwa proses yang berjalan tidak dipengaruhi oleh tekanan publik yang sifatnya emosional atau mobilisasi opini yang bersifat provokatif. 

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa perbedaan pendapat adalah bagian wajar dari dinamika aspirasi publik dalam sistem demokrasi. Ia menilai bahwa masyarakat tetap perlu menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas utama di tengah adanya pro dan kontra, serta mengajak publik untuk melihat sisi positif dan menghargai kontribusi para pendahulu bangsa. Ia juga menuturkan bahwa proses pemberian gelar Pahlawan Nasional dilakukan secara profesional melalui tahapan verifikasi oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk merespons kebijakan tersebut dengan objektif dan bijaksana, sekaligus menunjukkan sikap kedewasaan bangsa dengan tetap menghormati jasa para pemimpin terdahulu.

Dalam konteks ini, pemerintah mendorong semua pihak untuk mengedepankan literasi sejarah yang komprehensif dan pendekatan yang rasional. Sejarah Indonesia bukan hanya tentang satu sosok, tetapi merupakan rangkaian panjang perjalanan bangsa yang melibatkan banyak peristiwa dan tokoh. Pemahaman sejarah yang parsial atau selektif sering kali menimbulkan perdebatan tanpa ujung yang justru mengaburkan esensi pembelajaran historis. Oleh karena itu, pemerintah mengajak masyarakat untuk menyikapi isu gelar pahlawan dengan mengacu pada sumber-sumber yang kredibel dan memisahkan antara fakta historis dan opini yang dibangun atas dasar preferensi politik.

Selain itu, pemerintah menekankan pentingnya menahan diri dalam menyebarkan narasi yang bernuansa provokatif di media sosial. Di era digital, unggahan yang bersifat provokatif sering kali lebih cepat viral dibandingkan penjelasan mendalam yang bernuansa. Konten yang memicu amarah atau kebencian dengan mudah memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang saling berlawanan. Imbauan agar masyarakat tidak terprovokasi bukan hanya ditujukan kepada kelompok yang menolak gelar, tetapi juga kepada pihak-pihak yang mendorong pemberiannya. Pemerintah ingin menjaga agar perbedaan pandangan tetap berlangsung secara sehat dan tidak berkembang menjadi konflik.

Anggota DPR RI, Nurul Arifin mengatakan penetapan gelar Pahlawan Nasional bagi PresidenSoeharto merupakan bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi nyata yang pernah diberikan dalam pembangunan Indonesia. Ia juga mengingatkan masyarakat agar menyikapi perkembangan ini secara tenang dan tidak terbawa oleh isu penolakan yang memiliki muatan politis. Menurutnya, penghargaan tersebut bukan sekadar simbol seremonial, tetapi sekaligus pengingat akan pentingnya kesinambungan pembangunan bangsa. Ia mendorong masyarakat untuk menunjukkan kedewasaan dengan tetap menghargai jasa para pemimpin yang telah berperan dalam perjalanan negara.

Isu mengenai Presiden Soeharto memang menjadi salah satu topik yang paling sensitif dalam sejarah modern Indonesia. Periode pemerintahannya merupakan babak panjang yang penuh dengan pencapaian, kontroversi, dan dinamika politik yang kompleks. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah simbol stabilitas dan pembangunan ekonomi. Namun bagi sebagian lainnya, ia adalah simbol dari pembatasan kebebasan dan pelanggaran HAM. Ketika persepsi yang berbeda itu saling berhadapan, ketegangan pun kerap tidak terhindarkan.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengatakan bahwa seluruh mantan presiden, termasuk Soeharto, dinilai layak memperoleh gelar pahlawan nasional karena masing-masing telah memberikan kontribusi penting bagi perjalanan Indonesia. Ia mengajak masyarakat untuk tidak terus menyoroti sisi kelam masa lalu Soeharto, dengan mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya tanpa kekurangan. Menurutnya, ajaran agama mendorong untuk lebih mengingat kebaikan seseorang serta memaafkan kesalahannya, sehingga perdebatan mengenai masa lalu seharusnya tidak menghalangi penghormatan terhadap jasa para pemimpin bangsa.

Pada akhirnya, pemerintah menegaskan kembali bahwa polemik mengenai gelar pahlawan Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka yang proporsional. Masyarakat dapat memiliki pandangan yang berbeda, tetapi perbedaan tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi sumber polarisasi. Dengan tidak terprovokasi dan tidak terjebak dalam narasi yang memecah belah, masyarakat dapat berkontribusi menjaga harmoni sosial di tengah perbedaan pandangan yang sah dalam negara demokratis.

*) Penulis adalah Content Writer di Galaswara Digital Bureau