Hindari Hasutan Ajakan Demonstrasi: Publik Diminta Tetap Tenang Usai Penganugerahan Gelar Pahlawan Soeharto

Oleh : Sandralina Magenta)*

Pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar H.M. Soeharto, dalam upacara kenegaraan pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 di Istana Negara. Penganugerahan ini menjadi keputusan penting yang menunjukkan penghormatan negara atas jasa besar seorang tokoh yang dinilai telah berperan dalam menjaga keutuhan bangsa dan membangun fondasi ekonomi Indonesia sejak masa awal pembangunan nasional.

Di tengah kehangatan apresiasi masyarakat, muncul pula ajakan-ajakan provokatif yang menyerukan demonstrasi menolak keputusan tersebut. Situasi ini menuntut kedewasaan publik agar tidak mudah terpengaruh oleh provokasi yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Pemerintah menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut dilakukan murni berdasarkan penilaian objektif terhadap jasa Soeharto, bukan bentuk glorifikasi atas keseluruhan dinamika pemerintahannya pada masa lalu.

Soeharto ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025. Proses penetapannya dilakukan melalui seleksi panjang oleh tim independen yang menilai kontribusi para tokoh terhadap perjuangan dan pembangunan bangsa. Penetapan ini juga menunjukkan komitmen negara untuk menempatkan sejarah secara proporsional, menghargai kontribusi individu tanpa meniadakan ruang evaluasi kritis.

Pernyataan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi tentang semangat kepahlawanan telah disampaikan sebagai pesan bahwa generasi hari ini menghadapi tantangan berbeda, bukan perang fisik, tetapi menjaga persatuan di tengah derasnya arus digital dan perbedaan opini. Pesan tersebut kemudian ditegaskan pula bahwa publik diminta menunjukkan kedewasaan dengan menahan diri dari provokasi serta menyalurkan pendapat melalui cara konstruktif. Dalam konteks ini, masyarakat perlu ntuk memahami bahwa pahlawan masa kini adalah mereka yang menjaga kedamaian sosial dan memperkuat solidaritas.

Dari sisi keamanan, pandangan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengenai kesiapsiagaan Polri telah disampaikan bahwa langkah antisipatif telah dipersiapkan guna memastikan situasi nasional tetap kondusif. Pernyataan bahwa aparat keamanan berkomitmen melindungi masyarakat serta menjamin kebebasan berpendapat dalam koridor hukum juga ditegaskan. Peran masyarakat adalah faktor utama dalam mencegah provokasi, sebab stabilitas nasional hanya bisa dijaga bila publik tidak merespons ajakan yang berpotensi memecah belah.

Pemerintah mengajak masyarakat untuk lebih memaknai momentum penganugerahan gelar pahlawan sebagai ruang refleksi terhadap pengorbanan para pendiri bangsa. Aktivitas positif seperti kerja bakti, kegiatan sosial, dan partisipasi dalam pembangunan daerah terus didorong sebagai bentuk penghormatan nyata terhadap nilai-nilai kepahlawanan. Menjaga ketertiban umum menjadi wujud pengamalan nilai persatuan yang diwariskan oleh para pahlawan.

Secara historis, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional juga menjadi cermin kedewasaan demokrasi Indonesia. Perbedaan pandangan dianggap hal wajar dalam masyarakat demokratis, namun kematangan suatu bangsa tercermin dari kemampuannya mengelola perbedaan secara damai. Demokrasi tidak diukur dari kerasnya protes di jalanan, tetapi dari kemampuan masyarakat menyikapi keputusan negara secara rasional, tertib, dan proporsional.

Usulan penganugerahan gelar bagi Soeharto sendiri datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi masyarakat, partai politik, serta tokoh-tokoh agama. Dua organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, turut memberikan dukungan karena menilai Soeharto memiliki kontribusi penting dalam pembangunan nasional dan menjaga stabilitas negara.

Pernyataan Dr. Makroen Sanjaya dari PP Muhammadiyah mengenai posisi Soeharto sebagai salah satu tokoh historis bangsa telah disampaikan bahwa kontribusinya terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan, khususnya pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Pernyataan bahwa Soeharto meninggalkan warisan pembangunan sosial dan ekonomi yang signifikan melalui program Repelita, swasembada beras, dan pemerataan pembangunan juga ditegaskan. Di sisi lain, pandangan objektif yang menempatkan penghargaan atas jasa tidak berarti menutup ruang kritik terhadap masa lalu juga diungkapkan sebagai prinsip penting dalam membaca sejarah bangsa secara sehat.

Dalam perkembangannya, dukungan politik terhadap penganugerahan ini juga muncul dari berbagai pihak di parlemen.  Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko mengapresiasi keberhasilan Soeharto mengembalikan stabilitas nasional dan membangun fondasi ekonomi pada masa awal Orde Baru telah dikonversi menjadi pesan bahwa capaian tersebut dinilai sebagai tonggak penting pembangunan terstruktur. Pernyataan mengenai pencapaian swasembada beras tahun 1984 dan pengakuan FAO atas keberhasilan Indonesia telah disampaikan sebagai fakta historis yang memperkuat penilaian tersebut. Begitu pula dengan pandangannya bahwa kebijakan Orde Baru turut menciptakan kehidupan keberagamaan yang harmonis, semuanya telah disampaikan dalam bentuk pasif sesuai permintaan.

Dari internal partai politik lain, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa mengafirmasi perlunya publik bersikap legawa juga telah dikonversi menjadi penegasan bahwa keputusan pemerintah tersebut harus diterima sebagai ketetapan negara. Pandangannya bahwa penganugerahan ini merupakan bentuk pengakuan negara atas jasa tokoh-tokoh bangsa, termasuk Soeharto, Gus Dur, dan Marsinah, telah disampaikan sebagai bagian dari pesan nasional mengenai pentingnya menghormati keputusan negara secara kolektif.

Pada akhirnya, ajakan-ajakan provokatif untuk menggelar demonstrasi semestinya tidak direspons secara emosional oleh publik. Perbedaan pandangan bukan alasan untuk melakukan tindakan yang dapat mengganggu ketertiban umum. Menolak provokasi merupakan bagian dari tanggung jawab moral untuk menjaga persatuan. Dalam konteks kondisi global yang semakin kompleks, bangsa Indonesia membutuhkan stabilitas politik dan sosial untuk terus melaju menuju masa depan yang lebih kokoh.

)* Pengamat Sejarah