Oleh: M. Harris*)
Masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi dalam menyikapi proses penetapan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, mantan Presiden RI ke-2, yang kini menjadi sorotan publik. Langkah pemerintah menganugerahkan gelar tersebut kepada tokoh-pendahulu bangsa ini memang diharapkan menjadi bentuk penghormatan atas jasa mereka, namun juga menimbulkan dinamika politik yang patut direspon dengan kedewasaan dan pemahaman bersama. Di tengah pro-kontra ini, penting bagi semua pihak memahami bahwa penghargaan terhadap tokoh nasional tidak boleh menjadi alat untuk mengoyak persatuan, melainkan seharusnya memperkuat rasa kebangsaan yang bersifat inklusif.
Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan bahwa keputusan negara untuk mengangkat tokoh bangsa seperti Soeharto termasuk Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan 8 tokoh lainnya sebagai pahlawan nasional merupakan langkah penting untuk menyatukan sejarah dan menghormati kontribusi besar dalam perjalanan bangsa. Ia menilai bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa besar harus menghormati jasa para pendahulunya dan melihat sejarah secara utuh dan adil, tanpa terjebak pada perbedaan politik masa lalu. Dengan demikian, langkah ini dianggap memiliki makna lebih daripada sekadar simbol, tetapi juga momentum rekonsiliasi nasional yang dapat memperkukuh kebangsaan dan memperkuat optimisme menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan menegaskan bahwa salah satu wujud penghormatan terbaik kepada para pahlawan adalah menjaga semangat persatuan. Ia mengatakan generasi muda memiliki peran strategis dalam memastikan semangat kebangsaan tetap hidup di tengah tantangan digitalisasi, arus informasi yang cepat, dan potensi disinformasi yang semakin meluas. Krisantus menilai bahwa pemuda harus menjadi pelopor dalam memperkuat kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa melalui kerukunan, dialog, dan tidak mudah terhasut isu-isu yang dapat merusak tatanan sosial. Menurutnya, menjaga persatuan adalah refleksi langsung dari nilai perjuangan para pahlawan yang diwariskan dan seharusnya menjadi komitmen moral seluruh generasi penerus.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Bekasi, Abdul Harris Bobiho mengingatkan masyarakat agar selalu berhati-hati dalam menggunakan media sosial, terutama pada momentum seperti ini di mana berbagai kelompok dapat memanfaatkan isu penetapan gelar pahlawan sebagai sarana provokasi. Ia mengatakan bahwa masyarakat harus bijak menerima informasi, tidak mudah percaya pada kabar yang belum terverifikasi, dan menghindari penyebaran ujaran kebencian yang dapat memicu benturan sosial. Tindakan provokatif yang mendorong anarkisme, perusakan fasilitas umum, atau adu domba merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan para pahlawan.
Konteks penetapan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dan Gus Dur memang memiliki banyak dimensi. Di satu sisi, pengakuan terhadap jasa mereka adalah pengukuhan bahwa Indonesia menghargai kontribusi sejarah yang telah terjadi. Namun, di sisi lain, proses tersebut bisa menjadi bahan politisasi yang menyerap opini publik, memunculkan kontestasi politik, dan menguji kedewasaan demokrasi dalam menyikapi warisan sejarah. AHY mengingatkan bahwa negara harus melihat semua aspek kontribusi tokoh-pendahulu secara adil tanpa terjebak pada narasi yang hanya melihat satu sisi.
Dalam era media sosial dan informasi instan, masyarakat harus menyaring berbagai narasi yang muncul. Generasi muda harus dilibatkan dalam dialog kebangsaan yang menghargai perbedaan, mendukung keberagaman, dan menjaga persatuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah daerah, tokoh pemuda, komunitas, hingga lingkungan pendidikan perlu aktif mempromosikan semangat kebangsaan yang sehat dan inklusif, agar isu penetapan gelar pahlawan tidak menjadi ajang konflik sosial atau politisasi yang memecah kaum muda.
Pada momen nasional seperti ini, ruang publik harus dijaga agar tidak dimanipulasi oleh kelompok yang ingin menciptakan kericuhan atau polarisasi. Setiap warga memiliki tanggung jawab untuk tidak memberdayakan provokasi, menyebarkan ujaran kebencian, atau mengambil bagian dalam kampanye yang tidak sehat. Menghormati jasa pahlawan juga berarti mengamalkan nilai-nilai yang mereka junjung, yaitu kerja keras, kepedulian tanpa pamrih, integritas, dan persatuan. Masyarakat harus menyampaikan aspirasi dengan cara damai, tertib, dan beradab, serta menggunakan media sosial sebagai sarana produktif, bukan sebagai ruang konflik.
Dari sisi historis, penghargaan gelar pahlawan nasional bukan hanya bersifat simbolis tetapi juga harus mencerminkan konsensus nasional dan rekonsiliasi, bukan sekadar politik penghargaan. Pengakuan bangsa terhadap jasa para presiden terdahulu merupakan tanda kedewasaan bangsa dalam melihat sejarah secara utuh – bahwa setiap tokoh memiliki kelebihan dan kekurangan, namun kontribusinya bagi bangsa tetap layak dihormati. Generasi muda yang aktif dalam komunitas dan organisasi sosial dapat menjadi motor penguat persatuan, terutama dalam menghadapi era disinformasi dan manipulasi daring.
Momentum penetapan gelar pahlawan untuk Soeharto bisa menjadi titik penting bagi bangsa Indonesia jika dikelola dengan baik. Penghargaan ini berpotensi menjadi pesan kolektif bahwa jasa-pahlawan di masa lalu diakui, dan generasi masa kini punya tugas untuk melanjutkan perjuangan dalam bentuk persatuan, pembangunan, dan komitmen kebangsaan. Namun jika disalahgunakan sebagai instrumen politisasi atau pemecah persatuan, maka justru akan menimbulkan keretakan yang berbahaya bagi masa depan bersama. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tetap tenang, tidak mudah terprovokasi, dan aktif menjaga kerukunan serta ruang publik yang sehat.
*)Penulis merupakan pengamat sosial dan kemasyarakatan

