Publik Apresiasi Negara Berikan Penghormatan Resmi kepada Soeharto

Oleh: Melati Cahaya Ramadhani

Gelombang apresiasi dari berbagai kalangan dan beragam elemen masyarakat terus mengalir secara deras setelah pemerintah secara resmi menetapkan bahwa Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025.

Keputusan yang dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tersebut secara nyata memperlihatkan bahwa negara memang telah memberikan penghormatan secara resmi kepada salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah modern Indonesia itu.

Respons positif dari masyarakat, tokoh publik, politisi, organisasi nasional, hingga keluarga Cendana menunjukkan bahwa penetapan tersebut mendapatkan legitimasi moral yang sangat kuat dari berbagai lapis masyarakat Indonesia.

Tentunya bukan tanpa alasan mengapa apresiasi terus mengalir deras dari banyak pihak, pasalnya langkah pemerintah itu bukanlah sebuah keputusan yang tiba-tiba muncul begitu saja, melainkan lahir dari proses kajian yang cukup panjang oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan Nasional.

Pengajuan nama Soeharto yang telah dilakukan sejak 2011 dan 2015 menggambarkan bahwa keputusan tersebut tidak bersifat tergesa-gesa, melainkan melalui penilaian mendalam terhadap jasa, rekam jejak, dan kontribusinya yang konsisten terhadap pembangunan bangsa.

Setelah seluruh persyaratan administratif dan substansial dipandang oleh tim yang berkompeten dan independen tersebut telah terpenuhi, maka pemerintah akhirnya menetapkan Presiden RI ke-2 Soeharto sebagai pahlawan nasional. Penetapan tersebut dianggap banyak kalangan sebagai wujud keberanian bangsa dalam melihat sejarah secara jernih dan menempatkan kontribusi besar Soeharto dalam kerangka objektif.

Apresiasi kuat disampaikan oleh Ketua DPD Partai Golkar Papua Barat, Samaun Dahlan. Ia menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah tepat yang menempatkan jasa Soeharto dalam posisi terhormat.

Samaun memandang bahwa Soeharto bukan hanya pemimpin yang memegang kendali pemerintahan selama lebih dari tiga dekade, tetapi juga tokoh yang memberikan fondasi kokoh bagi pembangunan nasional melalui stabilitas politik, kebijakan pembangunan jangka panjang, dan keberpihakan terhadap kesejahteraan rakyat. Menurutnya, penghormatan terhadap jasa para pemimpin terdahulu merupakan bentuk kedewasaan bangsa dalam membaca sejarah.

Samaun Dahlan menegaskan bahwa semangat pembangunan yang diwariskan Soeharto perlu menjadi inspirasi bagi generasi saat ini. Ia melihat komitmen kerja, nasionalisme, serta kedisiplinan yang ditunjukkan Soeharto sebagai teladan bagi berbagai elemen bangsa.

Dalam pandangan tersebut, momentum penetapan gelar pahlawan dapat menjadi pemantik untuk memperkuat persatuan nasional, memperkuat optimisme publik, dan menegaskan kembali nilai-nilai kerja keras yang relevan bagi pembangunan Indonesia di masa depan.

Dukungan serupa datang dari Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Ia menjelaskan bahwa pemerintah mengambil keputusan tersebut melalui penilaian objektif terhadap jasa besar Soeharto bagi republik.

Pemerintah menempatkan Soeharto sebagai tokoh yang memiliki kontribusi nyata dalam menjaga keutuhan negara, membangun stabilitas nasional, serta mendorong kemajuan ekonomi dan sosial. Penegasan tersebut menunjukkan bahwa negara memberikan penghargaan bukan berdasarkan dinamika politik sesaat, melainkan berdasarkan kontribusi sejarah yang berdampak panjang bagi bangsa.

Apresiasi dari tokoh agama juga memperkuat legitimasi publik terhadap penetapan tersebut. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, memandang Soeharto sebagai pemimpin yang memiliki komitmen tinggi terhadap pembangunan bangsa.

Din memaknai perjalanan kepemimpinan Soeharto sebagai fase penting dalam pembentukan struktur ekonomi nasional, pembangunan infrastruktur, serta stabilitas sosial yang memungkinkan Indonesia bergerak menuju arah yang lebih modern.

Pandangan tersebut mencerminkan bahwa kontribusi Soeharto tidak hanya dilihat dari perspektif politik, tetapi juga dari sudut pandang etika kepemimpinan dan pengabdian jangka panjang.

Selain tiga tokoh itu, apresiasi juga datang dari politisi nasional seperti Fadli Zon yang memandang penetapan tersebut sebagai pengakuan formal negara terhadap kontribusi nyata Soeharto.

Keluarga Cendana menyambut keputusan itu sebagai bentuk penghormatan terhadap pengabdian Soeharto yang selama ini terus hidup dalam memori masyarakat. Bahkan Jusuf Kalla menyerukan agar publik menerima dan menghormati keputusan negara karena proses formalnya telah sah dan final.

Mengalirnya apresiasi tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat mampu melihat sejarah secara lebih dewasa. Banyak kalangan memahami bahwa menilai seorang pemimpin memerlukan perspektif yang utuh, bukan melalui potongan-potongan narasi yang dipengaruhi dinamika politik tertentu.

Pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan nasional dipandang sebagai langkah penting untuk merawat ingatan sejarah dan memberikan ruang bagi penghargaan yang objektif terhadap tokoh yang membawa perubahan besar bagi Indonesia.

Momentum penetapan ini juga menjadi titik reflektif bagi publik untuk kembali menegaskan pentingnya menghormati jasa para pemimpin bangsa. Dalam konteks perjalanan panjang Indonesia, penghargaan terhadap tokoh pembangunan seperti Soeharto menjadi bagian dari upaya meneguhkan identitas nasional.

Apresiasi yang terus mengalir itu menandai bahwa bangsa Indonesia masih memegang teguh nilai penghormatan, keadilan sejarah, dan kesadaran kolektif bahwa pembangunan bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran besar para pemimpin pendahulu.

Dengan dukungan yang sangat luas, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memperlihatkan bahwa warisan kepemimpinan tersebut tetap memberikan inspirasi bagi perjalanan bangsa ke depan.

Dukungan publik yang begitu kuat menegaskan bahwa penghargaan ini bukan sekadar pengakuan simbolik, tetapi bentuk penghormatan mendalam terhadap pengabdian yang telah mewarnai sejarah Indonesia secara fundamental. (*)

Pengamat Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia