Oleh : Hafids Rindrahutama )*
Penetapan gelar pahlawan kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, yang kembali mencuat ke ruang publik, telah memicu beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian melihatnya sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa besar beliau dalam pembangunan dan stabilitas nasional selama tiga dekade. Namun, tidak sedikit pula yang menilai kebijakan ini perlu ditinjau lebih jauh. Dalam perbedaan pendapat ini, masyarakat diharapkan tetap tenang, arif, dan tidak terpancing narasi adu domba yang sengaja dimainkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Senior politikus Partai Golkar, Firman Soebagyo mengatakan penetapan mantan Presiden Kedua RI, Soeharto menjadi wujud penghargaan negara atas jasa besar dalam mempertahankan ideologi Pancasila, menegakkan stabilitas nasional, serta membangun fondasi ekonomi Indonesia modern. Pihaknya menilai keputusan tersebut mencerminkan kedewasaan politik bangsa dalam menempatkan sejarah secara proporsional.
Pemerintah sendiri telah menjelaskan bahwa mekanisme penetapan gelar pahlawan melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dilakukan secara selektif, objektif, dan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon mengatakan prosesnya melibatkan kajian panjang dari sisi sejarah, kontribusi terhadap bangsa, dan aspirasi masyarakat luas. Oleh karena itu, setiap keputusan resmi negara hendaknya dihargai sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi dan pematangan demokrasi, bukan dibaca sebagai bentuk dominasi narasi tertentu atau pengabaian terhadap peristiwa masa lalu.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, sangat mudah bagi isu seperti ini untuk dimanfaatkan menjadi bahan provokasi, baik oleh aktor politik domestik maupun pihak luar yang memiliki agenda tertentu. Narasi-narasi penuh kebencian, penggiringan opini yang membelah masyarakat, hingga konten disinformasi kerap kali dijajakan di berbagai platform media sosial. Jika tidak direspons dengan bijak, potensi polarisasi masyarakat akan semakin menguat dan menggerus nilai-nilai persatuan yang selama ini telah dijaga. Sejarah bangsa hendaknya menjadi ruang pembelajaran bersama, bukan alat untuk memecah belah.
Dalam konteks ini, masyarakat perlu meningkatkan literasi sejarah dan informasi agar tidak mudah termakan isu-isu yang sengaja dipelintir untuk tujuan adu domba. Kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi sangat penting, apalagi jika informasi tersebut berasal dari sumber yang tidak kredibel atau bersifat provokatif. Selain itu, media massa dan tokoh-tokoh publik juga memiliki tanggung jawab moral untuk meneduhkan suasana, bukan sebaliknya memperkeruh keadaan dengan membesar-besarkan sisi kontroversial tanpa dasar yang kuat.
Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menjelaskan Mantan Presiden, Soeharto adalah bagian dari sejarah bangsa, dengan seluruh dinamika, prestasi, maupun kontroversinya. Generasi muda perlu memahami bahwa sejarah tidak bisa dibaca secara hitam-putih, melainkan harus diurai dalam kompleksitas zaman dan tantangan yang dihadapi saat itu. Diskusi tentang Soeharto seharusnya menjadi sarana pembelajaran lintas generasi, bukan menjadi alat politik praktis jangka pendek yang mengorbankan akal sehat dan harmoni sosial. Dalam konteks penetapan gelar pahlawan, masyarakat diajak untuk tidak terjebak pada dikotomi fanatik yang hanya menimbulkan konflik horizontal, melainkan menjadikannya sebagai pemicu refleksi nasional atas perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kematangan bernegara. Pihaknya mengajak masyarakat untuk menjadikan diskusi seputar tokoh sejarah seperti Soeharto sebagai ruang pembelajaran lintas generasi yang sehat, bukan malah menjadi ajang adu domba atau alat politik praktis yang mengorbankan nalar dan harmoni sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Perspektif yang dewasa dan inklusif dalam membaca sejarah akan memperkuat ketahanan sosial dan menjaga bangsa ini dari fragmentasi akibat provokasi.
Momentum ini bisa digunakan untuk memperkuat dialog nasional yang lebih dewasa, terbuka, dan berorientasi pada rekonsiliasi. Penetapan gelar pahlawan bukan akhir dari perdebatan sejarah, melainkan awal untuk memperkuat upaya bangsa dalam menata ingatan kolektif secara adil dan berimbang. Dengan cara ini, masyarakat Indonesia bisa membangun masa depan tanpa terjebak dalam jebakan konflik masa lalu yang belum selesai.
Tantangan utama saat ini adalah menjaga ruang publik agar tetap rasional dan produktif. Pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media harus bahu membahu menciptakan narasi yang sehat, yang membangun solidaritas nasional dan memperkuat nilai kebangsaan. Menghadapi potensi adu domba, seluruh elemen bangsa perlu bersikap waspada dan tidak ikut menyulut bara konflik sosial-politik yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok yang ingin merongrong stabilitas negara.
Dengan semangat persatuan dan kesadaran sejarah, kita dapat mencegah manipulasi isu yang bersifat memecah belah. Penetapan gelar pahlawan seharusnya tidak menjadi pemantik konflik, melainkan menjadi sarana refleksi nasional untuk terus memperkuat keutuhan NKRI. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam demokrasi, tetapi perpecahan bukanlah warisan yang ingin kita tinggalkan bagi generasi masa depan.
)* Penulis merupakan Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia

