Edukasi Kesadaran Gizi Tingkatkan Apresiasi Masyarakat terhadap Program MBG

Oleh: Septa Mariyani *)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah menjadi tonggak penting dalam memperkuat ketahanan gizi nasional sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak usia sekolah. Namun, keberhasilan program ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah porsi yang dibagikan, melainkan juga oleh tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi seimbang. Edukasi yang berkelanjutan menjadi kunci utama agar masyarakat tidak sekadar menerima bantuan pangan, tetapi memahami nilai kesehatan dan keberlanjutan di baliknya.

Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), Budi Setiawan, menilai edukasi gizi harus menjadi bagian integral dari pelaksanaan MBG. Budi mencontohkan gerakan Genius yang dijalankan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia (AIPGI) bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebelum MBG diluncurkan. Program itu tidak hanya memberikan kudapan bergizi kepada siswa, tetapi juga mengedukasi tentang pola makan sehat dengan melibatkan pemerintah daerah dan lembaga pengawas pangan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa intervensi gizi yang efektif memerlukan kesadaran dan keterlibatan lintas pihak, bukan sekadar distribusi makanan.

Konsep seperti Genius menjadi model ideal bagi pelaksanaan MBG. Melalui pemetaan wilayah rawan gizi yang dilakukan Bapanas hingga tingkat kecamatan, pemerintah dapat menentukan daerah prioritas dan menyesuaikan menu dengan kebutuhan lokal. Pendekatan ini menjamin bahwa setiap anak mendapat asupan yang sesuai kondisi fisiologisnya, termasuk yang memiliki intoleransi laktosa atau alergi tertentu. Di sisi lain, tenaga pelaksana seperti Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga perlu dibekali pemahaman tentang keamanan pangan dan prinsip gizi seimbang agar tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga menjadi agen perubahan perilaku gizi di lapangan.

Upaya membangun kesadaran ini semakin diperkuat melalui kolaborasi lintas lembaga. Komisi IX DPR RI bersama Badan Gizi Nasional (BGN) gencar melakukan sosialisasi MBG ke berbagai daerah untuk menanamkan pentingnya pola makan sehat sejak dini. Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, menekankan bahwa MBG harus menjadi gerakan nasional yang berkelanjutan, bukan program sesaat. Dukungan legislatif melalui fungsi pengawasan dan regulasi diharapkan menjaga transparansi, mutu makanan, serta kesinambungan pendanaan lintas pemerintahan.

Pendekatan lintas sektor yang ditekankan Netty sejalan dengan prinsip kemandirian pangan lokal yang diusung BGN. Tenaga Ahli Direktorat Promosi dan Edukasi Gizi BGN, Teguh Suparngadi, menjelaskan bahwa penyusunan menu MBG selalu mengacu pada potensi bahan baku daerah dan standar higienitas tinggi. Strategi ini tidak hanya menyehatkan anak-anak, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal melalui pelibatan petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Dengan demikian, program MBG berperan ganda—meningkatkan gizi sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi di akar rumput.

Namun, keberhasilan jangka panjang MBG juga bergantung pada kesiapan ekosistem sosialnya. Peneliti Article 33 Indonesia, Salsabila Kusumawardani, menilai bahwa sekolah harus menjadi pusat pendidikan gizi yang hidup. Seperti halnya konsep Shokuiku di Jepang, di mana pendidikan tentang makanan diatur secara nasional dan bahkan diajarkan oleh guru khusus gizi. Menurutnya, Indonesia dapat mengadopsi semangat tersebut dengan menjadikan sekolah ruang belajar tentang pangan sehat, sementara rumah tangga berperan memperkuat kebiasaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Salsabila menekankan pentingnya pendekatan ecosystem-first dalam memperluas cakupan MBG. Sebelum menambah jumlah penerima manfaat, pemerintah perlu memastikan kesiapan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan dapur sekolah. Langkah ini menjamin keamanan pangan sekaligus mengurangi risiko kasus seperti keracunan makanan yang sempat mencuat di beberapa daerah.

Pandangan tersebut menunjukkan bahwa edukasi gizi tidak bisa dilepaskan dari tata kelola dan keadilan sosial. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi akan tumbuh jika program ini dikelola secara partisipatif dan transparan. Melalui kolaborasi antara sekolah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha, MBG dapat menjadi gerakan sosial yang mendorong perubahan perilaku makan sehat dan pengelolaan pangan yang berkelanjutan.

Presiden Prabowo Subianto sendiri telah menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat MBG sebagai investasi jangka panjang bagi generasi muda. Dalam Sidang Kabinet Paripurna Oktober 2025, Presiden menyampaikan bahwa pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp330 triliun pada tahun 2026 untuk memperluas jangkauan program tersebut. Dana itu diharapkan tidak hanya berputar di pusat, tetapi juga mengalir hingga ke desa dan kecamatan untuk mendorong pemerataan ekonomi nasional.

Kebijakan ini memperlihatkan keberpihakan nyata pemerintah terhadap pembangunan sumber daya manusia. Dengan kombinasi antara edukasi, kemandirian pangan lokal, dan dukungan fiskal besar, MBG bukan sekadar program sosial, tetapi transformasi sistemik menuju Indonesia yang lebih sehat dan berdaya. Ketika masyarakat memahami makna gizi dan menghargai proses di balik setiap porsi makanan, apresiasi terhadap program MBG akan tumbuh dengan sendirinya—mewujudkan cita-cita bangsa untuk mencapai generasi emas yang sehat, cerdas, dan produktif pada 2045.

*) Pemerhati Gizi Masyarakat dan Pembangunan Sosial

[ed]