Dari Nikel hingga Kelapa Sawit, Hilirisasi Buktikan Daya Saing Ekonomi Indonesia

Oleh: Gendhis Sathiti *)

Langkah mengolah sumber daya alam dari bahan mentah menjadi bernilai tinggi memasuki fase agresif. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, hilirisasi menjadi strategi besar untuk membuktikan daya saing ekonomi nasional di tengah ketatnya kompetisi global.

Pemerintah menempatkan hilirisasi sebagai salah satu prioritas utama pembangunan ekonomi, sejalan dengan tiga fokus lainnya: ketahanan pangan, energi, dan program gizi gratis. Strategi tersebut tidak hanya melanjutkan kebijakan jangka panjang dari pemerintahan sebelumnya, tetapi juga memperluas cakupan komoditas hingga ke sektor pertanian, perikanan, dan energi terbarukan. Tujuannya jelas menciptakan nilai tambah di dalam negeri dan menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan industri baru di Asia.

Transformasi terbesar terlihat dari sektor nikel. Hilirisasi logam ini telah mengubah wajah industri nasional sejak pelarangan ekspor bijih mentah diberlakukan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, memaparkan bahwa nilai ekspor nikel pada 2017 hanya mencapai sekitar 3,3 miliar dolar AS. 

Setelah ekspor bahan mentah dihentikan dan industri pengolahan dibangun di dalam negeri, nilai ekspornya melonjak hingga lebih dari 35 miliar dolar AS per tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa besar potensi ekonomi yang bisa dicapai ketika bahan mentah diolah menjadi produk turunan bernilai tinggi, seperti baterai kendaraan listrik dan baja nirkarat.

Bahlil menilai hilirisasi telah menciptakan efek berganda yang luas. Pembangunan smelter dan fasilitas pengolahan baru membuka jutaan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak, serta memperkuat pendapatan daerah. 

Ia menyebut, jika seluruh proyek hilirisasi terlaksana, investasi yang dibutuhkan mencapai 618 miliar dolar AS dengan potensi penciptaan hingga 3 juta lapangan kerja baru. Pemerintah juga telah menyetujui tahap pertama hilirisasi mencakup 21 proyek prioritas di berbagai sektor, mulai dari pertambangan, minyak dan gas, hingga pertanian dan kelautan, dengan total investasi sekitar 40 miliar dolar AS.

Selain nikel, sektor kelapa sawit menjadi fokus berikutnya. Pemerintah mempercepat hilirisasi sawit agar tidak hanya bergantung pada ekspor minyak mentah, melainkan mengembangkan produk turunan seperti biofuel, margarin, dan oleokimia. Kebijakan tersebut tidak hanya memperluas nilai tambah, tetapi juga memperkuat transisi menuju energi rendah karbon yang ramah lingkungan.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, menilai hilirisasi mineral dan sumber daya alam bukan semata strategi ekonomi, melainkan langkah strategis untuk membangun ekosistem industri berkelanjutan. 

Ia menjelaskan bahwa hilirisasi menciptakan rantai nilai baru yang menghubungkan sektor pertambangan, energi, dan manufaktur. Dengan perizinan yang efisien dan iklim investasi yang kondusif, daya saing industri Indonesia diyakini akan meningkat signifikan di pasar global. 

Todotua menegaskan, pengembangan hilirisasi juga menjadi jalan bagi Indonesia untuk memimpin rantai pasok global rendah karbon. Pengelolaan sumber daya alam diarahkan untuk mendorong kemakmuran yang berkelanjutan dan menjaga keseimbangan lingkungan.

Presiden Prabowo Subianto menilai kontribusi hilirisasi terhadap kinerja ekonomi nasional semakin nyata. Dalam pidatonya di depan parlemen, ia menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II tahun 2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan, meningkat dari 4,87 persen pada kuartal sebelumnya. Pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan ekspor sebesar 10,67 persen, dengan sektor hilirisasi menjadi salah satu penopang utama kenaikan nilai tambah.

Pemerintah juga mencatat penurunan tingkat pengangguran menjadi 4,76 persen serta penurunan angka kemiskinan hingga 8,47 persen terendah sepanjang sejarah. Angka-angka itu memperlihatkan dampak nyata hilirisasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan memperluas basis industri dan mendorong pengolahan sumber daya alam di dalam negeri, pemerintah berupaya menciptakan ekonomi yang inklusif dan berdaya saing tinggi.

Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa hilirisasi memerlukan kolaborasi lintas sektor dan keberanian politik yang kuat. Ia mengakui, kebijakan pembatasan ekspor bahan mentah sempat menuai protes dari pelaku industri, namun langkah tersebut terbukti tepat. 

Menurutnya, sudah waktunya Indonesia berhenti bergantung pada ekspor bahan mentah dan beralih menjadi negara industri penghasil produk jadi. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan pada ketersediaan sumber daya, melainkan pada kemampuan untuk mengelolanya secara mandiri.

Sementara itu, pemerintah terus memperluas hilirisasi ke lebih dari 28 komoditas unggulan lain seperti timah, bauksit, tembaga, rumput laut, hingga pala. Upaya tersebut dirancang untuk menciptakan diversifikasi ekonomi dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global. 

Melalui pembangunan infrastruktur pendukung di berbagai daerah, hilirisasi diharapkan menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi serta membuka akses lapangan kerja di luar Jawa.

Pemerintahan Prabowo–Gibran menempatkan hilirisasi sebagai pondasi untuk membangun ekonomi yang tangguh dan berdaulat. Strategi tersebut tidak hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah, tetapi juga memperkokoh daya saing industri nasional di tengah perubahan ekonomi global yang cepat.

Dari nikel hingga kelapa sawit, hilirisasi membuktikan bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia bukan sekadar potensi, tetapi sumber kekuatan nyata bagi transformasi ekonomi nasional. 

Dengan tata kelola yang kuat, investasi produktif, dan keberlanjutan lingkungan, Indonesia menegaskan diri sebagai negara yang mampu mengolah kekayaan alamnya menjadi kekuatan industri berkelas dunia. (*)

*) pemerhati isu lingkungan