Program MBG Bangun Kemandirian Ekonomi Rakyat Melalui Optimalisasi Bahan Pangan Lokal

Oleh: Citra Kurnia Khudori)*

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan adanya relasi antara kebijakan sosial pemerintah dengan pembangunan ekonomi secara simultan. Tidak hanya menjadi skema pemenuhan gizi, MBG juga membuka peluang luar biasa untuk memasukkan komponen lokal dalam rantai pasok sehingga mampu menumbuhkan ekonomi di daerah.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah memang mendorong bahan baku yang digunakan dalam program itu Sebagian besar berasal dari petani, peternak dan pelaku usaha mikro di wilayah pedesaan. Sehingga anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk Program MBG secara tidak langsung terserap oleh ekonomi lokal. 

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan meyakini bahwa program MBG menjanjikan tuah terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri dalam waktu dekat. Ia menjelaskan bahwa dampak itu bisa diukur dari perputaran ekonomi di tataran Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), seperti lapangan kerja yang muncul, sektor pangan lokal yang terlibat, dan pertumbuhan ekonominya.

Pernyataan tersebut membuktikan bahwa fungsi MBG tidak hanya berhenti pada penyediaan makanan bergizi, tetapi juga mekanisme yang secara langsung menyerap bahan lokal dan berpotensi menghidupkan rantai ekonomi di tingkat daerah. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu memastikan bahwa bahan pangan yang digunakan berasal dari produksi masyarakat lokal.

Pelaksanaan di tingkat daerah memperkuat gambaran tersebut. Seperti di Provinsi Riau, pemerintah provinsi setempat telah membentuk Satgas Percepatan MBG yang mendorong agar SPPG terpencil memperkuat dan menggunakan pangan lokal. 

Sekretaris Satgas Percepatan MBG Provinsi Riau, Wiwik Suryani, mengungkapkan pentingnya pengelolaan pangan yang baik di SPPG, terutama yang berada di wilayah terpencil. Ia menegaskan bahwa setiap dapur-dapur di daerah harus memenuhi kriteria penyimpanan pangan yang memadai agar ketersediaan bahan makanan tidak menghambat. 

Untuk memastikan SPPG terpencil dapat tetap memenuhi kebutuhan pangan dan mengelola penyimpanan pangan dengan baik, Wiwik menerangkan tentang pentingnya pemberdayaan pangan lokal dalam pelaksanaan program MBG di wilayah terpencil. Ia berharap SPPG terpencil tidak hanya menjadi tempat penyaluran makanan, tetapi juga penggerak ekonomi masyarakat sekitar melalui pemanfaatan hasil bumi setempat.

Diterangkannya, bahan pangan seperti sayur-sayuran, ikan, dan hasil pertanian khas daerah bisa menjadi komponen utama menu MBG, selama memenuhi standar gizi yang ditetapkan. Dengan demikian, keberadaan dapur SPPG mampu menghidupkan rantai ekonomi lokal, mulai dari petani, nelayan, hingga pelaku usaha kecil di sekitar lokaso. 

Perlu kita akui, bahwa dari sisi praktis, optimalisasi bahan lokal MBG memiliki beberapa implikasi yang sangat penting. Pertama, Ketika dapur-dapur MBG membeli dari petani lokal maka terjadi backward linkage atau keterkaitan antara satu sektor industri dengan sektor lain yang menjadi pemasok bahan baku sektor tersebut, sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan petani atau pengusaha lokal. 

Kedua, karena MBG membutuhkan bahan baku dalam volume besar dan sifatnya kontinuitas, maka pelaku usaha lokal, peternak, dan petani memperoleh pasar baru yang lebih terstruktur. Pelaku usaha mikro di sektor pangan memperoleh peluang nyata untuk meningkatkan pendapatannya. 

Hal itu sudah terbukti terjadi pada Yulida Khomisah, seorang pemilik rumah produksi tempe berlabel WAK HASAN di Kecamatan Gunungsitoli. Yulida, sebagai salah satu mitra pelaku UMKM dalam program MBG, dipercaya memasok tempe dalam ribuan porsi setiap minggu. 

Ia bersyukur bahwa program MBG bukan sematan pemenuhan gizi, tetapi juga tentang membuka perputaran ekonomi di Masyarakat. Dengan keuntungan yang diperoleh, Yulida mengaku mampu meningkatkan taraf perekonomiannya, begitu pula pelaku ekonomi lain yang terlibat rantai pasokan penyediaan MBG. 

Kemudian yang ketiga, dari sudut daerah, keuntungan bukan hanya di hulu produksi tapi juga pada sirkulasi keuangan. Dana yang ditarik dari anggaran pusat melalui dapur dan bahan baku lokal mengalir Kembali ke masyarakat, memperkuat ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok nasional yang panjang.

Seperti di Kabupaten Nabire, Papua, Program MBG dimanfaatkan untuk menjaga ketahanan pangan di daerah melalui pemanfaatan bahan pangan lokal untuk bahan baku utama penyediaan makan bergizi gratis. Plt Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Nabire, Kornelia mengatakan, untuk mendukung program MBG Dinas Pertanian Kabupaten Nabire memiliki 20 hektar pangan lokal berupa ubi jalar yang bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Tahun 2025.

Selain itu, tambah Kornelia, untuk padi, jagung dan beberapa pangan lokal lainnya didukung oleh APBN. Hal ini dilaksanakan dengan mengacu pada program kegiatan Dinas Pertanian Kabupaten Nabire. 

MBG perlu dilihat sebagai program yang lebih dari sekadar program sosial. MBG bisa disebut sebagai program ekonomi yang tepat sasaran. Bila segala lini berhasil memanfaatkan bahan pangan lokal secara maksimal, maka sektor pangan daerah akan naik kelas. Petani tidak hanya menanam untuk pasar tradisional, tetapi menjadi pemasok tetap untuk dapur MBG. UMKM juga tumbuh karena mendapat pasar rutin. 

Pada akhirnya, dapur-dapur MBG bertransformasi menjadi pusat aktivitas ekonomi lokal yang menyerap tenaga kerja, memberdayakan masyarakat, sekaligus memperkuat jaringan sosial-ekonomi di daerah. 

)* Pemerhati Isu Sosial-Ekonomi