Jakarta — Pemerintah melalui kebijakan transisi energi semakin menunjukkan langkah konkret yang memperkuat posisi Indonesia dalam upaya mewujudkan swasembada energi. Langkah ini tidak hanya menjadi bagian dari komitmen iklim global, tetapi menjadi pondasi strategis untuk kedaulatan nasional di sektor energi. Era energi fosil dipetakan akan ditinggalkan secara bertahap, digantikan oleh portofolio energi baru terbarukan (EBT) yang semakin diversifikasi dan terintegrasi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa target utama kemandirian energi menjadi landasan utama kebijakan pemerintahan saat ini.
“Kami mau dorong peningkatan lifting, juga memakai semua energi yang ada di kekayaan di negara kita. Insya Allah, 2029–2030 minimal 80 persen kemandirian energi dapat kita wujudkan,” ujar Bahlil.
Bahlil menambahkan, strategi ini akan dilaksanakan tanpa membebani APBN secara penuh, melainkan melalui kolaborasi dengan swasta dan sinergi antara BUMN.
Lebih jauh, pemerintah merancang peningkatan campuran biodiesel menjadi B45 atau B50 tahun 2026, dan juga mengkaji mandatori etanol 10 persen (E10) agar konsumsi bahan bakar dalam negeri semakin bersih dan mandiri.
Dukungan korporasi BUMN yang bergerak di bidang energi sangat krusial. Dalam lingkup ini, PLN EPI (Energi Primer Indonesia) diposisikan sebagai ujung tombak transformasi bioenergi nasional. Direktur Utama PLN EPI, Rakhmad Dewanto, menyatakan rebranding dari biomassa ke bioenergi sebagai langkah strategis paradigmatis.
“Bioenergi selama ini dikonotasikan dengan limbah dan deforestasi. Dengan nama baru, kita ingin menegaskan bahwa cita-cita kita bukan hanya mengumpulkan limbah dan membakarnya, tetapi mengeksplorasi potensi bioenergi yang jauh lebih luas seperti biogas, hidrogen hijau, hingga kemitraan dengan desa dan industri,” ungkap Rakhmad.
Menurut Rakhmad, roadmap PLN EPI menargetkan pasokan hingga 10 juta ton biomassa dan 2.957 BBTU biogas, serta kontribusi pengurangan emisi sebesar 12–14 juta ton CO₂eq hingga tahun 2030. Dalam dialog publik, Rakhmad juga mengajak generasi muda aktif menjadi motor inovasi dalam transisi energi.
Sementara itu, cakupan dan infrastruktur untuk EBT di bawah payung PLN secara umum dipetakan dan dijalankan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hijau.
Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN, Suroso Isnandar, mengingatkan bahwa target swasembada energi tidak bisa dicapai tanpa integrasi program transisi. Investasi PLN sendiri dalam transisi energi baru terbarukan saat ini terbatas, sehingga porsi besar tanggung jawab pembiayaan akan diambil alih sektor swasta.
“PLN hanya mampu sekitar Rp550 triliun atau setara 20 GW dari total kebutuhan investasi 180 miliar dolar AS. The rest of it kita serahkan kepada private sector,” ujar Suroso.
Di sisi lain, PLN juga terus berupaya menekan emisi karbon melalui pemensiunan bertahap PLTU dan pengembangan green supergrid yang menghubungkan pusat pasokan energi terbarukan ke pusat konsumsi.
Langkah-langkah strategis ini makin relevan di tengah arus dunia yang menuntut dekarbonisasi dan kesiapsiagaan energi. Pembangunan green supergrid menjadi tulang punggung distribusi EBT secara nasional agar tidak terjadi bottleneck.
Kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta perlu terus diperkuat agar pembiayaan tidak sepenuhnya bergantung pada APBN serta mendorong masuknya investasi dan teknologi baru secara lebih luas. Sinergi ini menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya mengikuti arus transisi global, tetapi tampil sebagai pusat inovasi energi bersih di kawasan.*