Oleh: Alexander Royce*)
Dalam dinamika global yang menuntut percepatan transformasi energi, Indonesia berada pada titik krusial. Dengan tantangan perubahan iklim dan fluktuasi harga energi dunia, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan ketahanan energi nasional. Salah satu strategi yang tengah digalakkan secara masif adalah penguatan infrastruktur, baik di bidang listrik, gas, maupun pengelolaan limbah sebagai pondasi menuju swasembada energi. Langkah-langkah strategis ini sejatinya tidak hanya idealisme belaka, melainkan instrumen nyata untuk mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan.
Baru-baru ini, Danantara mengumumkan rencananya meluncurkan delapan proyek waste-to-power (sampah menjadi listrik) pada akhir Oktober 2025. Proyek ini menjadi bagian dari ambisi pembangunan 33 PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di berbagai kota. Ketua Eksekutif Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa konversi limbah menjadi energi listrik dapat membantu mengatasi persoalan sampah nasional sekaligus memperkuat pasokan energi hijau. Ia menjelaskan bahwa setiap 1.000 ton limbah bisa menghasilkan sekitar 15 megawatt listrik, dan Danantara siap mendukung dari sisi pendanaan, kelayakan teknis, serta kolaborasi dengan PLN sebagai pembeli listriknya.
Rosan juga menyebut bahwa investasi awal untuk kapasitas 1.000 ton hampir berkisar antara Rp 2 hingga 3 triliun, dan bahwa pemerintah telah menghapus biaya tipping (biaya pembuangan) untuk daerah agar insentif lokal lebih tinggi. Dengan dukungan peraturan yang dipermudah, proyek-proyek ini diharapkan bisa segera dimulai di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, dan Makassar.
Di sisi lain, Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN (Perusahaan Gas Negara), Hery Murahmanta, menggarisbawahi bahwa pemanfaatan jaringan gas (jargas) merupakan salah satu kunci transisi energi yang realistis. Ia menyebut bahwa PGN telah mengelola lebih dari 33.000 km jaringan pipa gas, fasilitas regasifikasi LNG, serta stasiun pengisian gas. Di wilayah Banten, misalnya, PGN telah membangun lebih dari 15 ribu sambungan jargas melalui APBN dan tambahan 69 ribu sambungan mandiri, melayani pelanggan rumah tangga, industri, dan komersial.
Menurut Hery, gas bumi bisa menjadi alternatif efektif untuk mengurangi impor LPG dan membantu mencapai visi Asta Cita tentang swasembada energi. Namun, agar perluasan jargas benar-benar optimal, dukungan percepatan perizinan, insentif keekonomian, serta sosialisasi ke masyarakat sangat diharapkan.
PGN juga telah menetapkan target pembangunan infrastruktur baru, seperti proyek pipa Tegal-Cilacap, serta pengembangan jaringan ke wilayah Timur Indonesia. Dalam laporan publik 2025, Hery menyebut bahwa PGN menyalurkan sekitar US$29 juta anggaran pada proyek city gas, dengan realisasi hingga Juni 2025 mencapai lebih dari 13.959 sambungan baru. Tambahan 590 km pipa ditargetkan agar dapat menjangkau total 200.000 sambungan.
Sementara itu, di bidang listrik terbarukan, PLN telah memulai konstruksi proyek PLTS terapung berkapasitas 92 megawatt di Waduk Saguling, Jawa Barat. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebut bahwa proyek ini akan menghasilkan sekitar 130 gigawatt-jam per tahun dan mampu menurunkan emisi karbon hingga 104.000 ton. Proyek ini diharapkan mulai beroperasi komersial pada November 2026, menjadi simbol nyata komitmen nasional terhadap energi bersih.
Darmawan menegaskan bahwa pembangunan PLTS terapung ini menjadi tonggak penting dalam transformasi bersih Indonesia. Ia melihatnya sebagai sinyal bahwa transisi energi bukan sekadar retorika, melainkan langkah konkret yang didorong kuat oleh sinergi antara PLN, mitra internasional, dan pemerintah.
Konteks kebijakan nasional juga menambah urgensi posisi infrastruktur sebagai kunci percepatan swasembada energi. Pemerintah tengah menyiapkan revisi regulasi waste-to-energy agar lebih sederhana dan terintegrasi, menggabungkan beberapa regulasi lama menjadi satu kebijakan jelas.
Presiden Prabowo bahkan telah memerintahkan batas waktu 18 bulan untuk mempercepat eksekusi proyek WtE, dan telah mengidentifikasi 33 lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sebagai calon titik pembangunan PLTSa.
Secara strategis, Presiden menaruh kepercayaan besar pada Danantara sebagai badan investasi negara yang bisa mempercepat pelaksanaan proyek strategis multi-sektor, termasuk energi dan infrastruktur bersih. Dengan mandat yang lebih fleksibel dibanding birokrasi biasa, Danantara diharapkan menjadi katalis percepatan proyek-proyek penting.
Di tengah tantangan, tentu ada hambatan klasik, seperti perizinan, ketersediaan lahan, pengumpulan limbah, kontinuitas pasokan gas, dan model pembiayaan. Namun, momentum saat ini sangat mendukung, berbagai proyek telah siap tender, investor domestik dan asing menunjukkan minat, serta kebijakan insentif semakin condong ke arah mendukung percepatan proyek.
Kalau semua lapisan di pemerintahan, BUMN, swasta, dan pemerintah daerah bergerak sinkron, maka penguatan infrastruktur energi akan menjadi fondasi kokoh. Dengan dukungan regulasi yang mendukung, pembiayaan inovatif, serta penyederhanaan birokrasi, target swasembada energi bukanlah utopia, tetapi visi yang bisa dijangkau dalam satu dekade mendatang.
Melalui infrastruktur yang Tangguh, Indonesia berada pada titik terobosan menuju kemandirian energi. Dengan tekad dan harmoni seluruh pihak, pemerintahan saat ini sedang membangun jalan nyata menuju swasembada energi yang berkelanjutan.
*) Penulis merupakan Pengamat Masalah Sosial