Oleh: Alexander Royce*)
Dalam menghadapi ketidakpastian global dan dinamika ekonomi yang cepat berubah, pemerintah Indonesia meluncurkan Paket Ekonomi 2025, yang juga dikenal sebagai paket 8+4+5, sebagai respon strategis untuk memperkuat ketahanan sosial dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp 16,23 triliun, paket ini dirancang untuk mendorong investasi, memperluas lapangan kerja, dan menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Paket Ekonomi 2025 terdiri dari delapan program akselerasi untuk tahun 2025, empat program lanjutan di tahun 2026, dan lima program unggulan penyerapan tenaga kerja. Ia menjelaskan bahwa kombinasi kebijakan fiskal, insentif investasi, dan deregulasi menjadi instrumen penting untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sekaligus menciptakan lapangan kerja di sektor padat karya dan informal.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada target angka pertumbuhan semata, melainkan juga pada aspek pemerataan kesempatan kerja. Melalui kebijakan yang terukur, paket ini diharapkan bisa menjadi solusi nyata menghadapi tantangan pengangguran dan ketidakpastian global yang terus berlangsung.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menekankan bahwa stimulus ini tidak akan menyebabkan defisit APBN melebar secara signifikan. Ia mempertegas bahwa alokasi program seperti bantuan pangan, magang lulusan baru, dan insentif fiskal telah disiapkan dari ruang belanja yang ada, yaitu, optimalisasi penyerapan anggaran sisa tahun berjalan, bukan dari tambahan hutang baru.
Pernyataan ini memberi kepastian bahwa kebijakan ekspansif pemerintah tetap dijalankan dengan disiplin fiskal. Dengan begitu, kepercayaan investor tetap terjaga, sementara masyarakat bisa menikmati manfaat langsung tanpa khawatir adanya risiko beban utang yang berlebihan di masa depan.
Sementara itu, Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk, Andry Asmoro, mengatakan bahwa paket stimulus 8+4+5 memiliki potensi besar dalam menyerap jutaan tenaga kerja baru, terutama di sektor padat karya, sektor informal, dan di level pedesaan. Ia menilai bahwa program-program seperti bantuan langsung, insentif pajak, padat karya tunai, serta dukungan terhadap sektor perumahan, perikanan, dan perkebunan akan secara simultan menjaga daya beli masyarakat dan memperkuat struktur ekonomi nasional.
Penilaian ini semakin menguatkan pandangan bahwa paket stimulus pemerintah tidak hanya relevan dalam jangka pendek, melainkan juga mampu menopang daya saing nasional dalam jangka panjang. Dengan basis konsumsi yang kuat dan dukungan sektor produktif, ketahanan ekonomi Indonesia akan semakin kokoh.
Salah satu poin penting dari stimulus ini adalah dukungan langsung kepada masyarakat berupa bantuan pangan 10 kilogram beras untuk 18,3 juta rumah tangga, program “cash for work” bagi lebih dari 600.000 orang melalui berbagai proyek infrastruktur, serta perpanjangan pembebasan pajak bagi usaha kecil. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan insentif bagi pekerja sektor pariwisata yang menjadi salah satu pilar pemulihan pascapandemi. Seluruh langkah ini diarahkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap berada di kisaran 5,2% pada tahun 2025, meski terdapat sinyal perlambatan di kuartal ketiga.
Implementasi paket 8+4+5 ini dapat dipandang sebagai kebijakan keseimbangan (balance policy) yang berusaha menjaga antara sisi permintaan (demand-side) dan sisi penawaran (supply-side). Dari sisi permintaan, program bantuan pangan, cash-for-work, dan insentif pajak langsung ke rumah tangga akan menjaga daya beli kelompok menengah ke bawah. Dari sisi penawaran, deregulasi, digitalisasi, dan investasi ke sektor strategis seperti pertanian, perikanan, perumahan, dan perkebunan akan memperluas kapasitas produksi dan nilai tambah industri domestik.
Kebijakan ini bukan tanpa tantangan karena pelaksanaannya tetap membutuhkan perhatian serius. Tantangan yang dihadapi antara lain efisiensi pelaksanaan, kecepatan realisasi anggaran, koordinasi antar kementerian dan lembaga, serta pengawasan agar program inovatif benar-benar sampai kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Meski demikian, sejumlah narasumber menyatakan optimistis bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa stimulus ini merupakan pemanfaatan sisa ruang belanja yang belum digunakan sehingga tidak membebani defisit secara drastis.
Dari perspektif makroekonomi, paket stimulus ini tidak hanya selaras dengan proyeksi pertumbuhan nasional yang diperkirakan berada di kisaran 4,9 hingga 5,0 persen sepanjang 2025, tetapi juga memberikan dampak sosial yang signifikan. Sinergi kebijakan fiskal dan moneter serta stabilitas harga diyakini menjadi kunci agar stimulus berjalan optimal, sementara program-program seperti penyerapan tenaga kerja, magang bagi lulusan baru, bantuan pangan, dan pengurangan iuran JKK/JKM berperan penting dalam memperkuat daya saing sumber daya manusia sekaligus melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dari tekanan biaya hidup.
Secara keseluruhan, Paket Stimulus Ekonomi 2025 merupakan strategi jangka menengah yang dirancang untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dengan memperluas lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, memperkokoh ketahanan pangan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Dengan pelaksanaan yang tepat dan pengawasan yang konsisten, kebijakan ini diyakini menjadi tonggak penting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif sekaligus berkelanjutan, serta menegaskan komitmen pemerintah bahwa kemakmuran rakyat dapat dicapai melalui kebijakan yang terukur dan kerja nyata.
*) Penulis merupakan Pengamat Sosial