Oleh: Rendra Adiputra *)
Masa depan energi Indonesia tengah diarahkan pada kemandirian dan keberlanjutan. Pemerintah menegaskan bahwa swasembada energi merupakan fondasi penting untuk memastikan ketersediaan pasokan listrik dan energi yang stabil bagi masyarakat, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon hingga 31,89 persen secara mandiri dan 43 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Target ambisius ini memerlukan transformasi menyeluruh pada sektor energi berbasis sumber daya lokal dan ramah lingkungan.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau (Satgas TEH) untuk mempercepat agenda ini. Satgas tersebut dibentuk melalui Keputusan Menko Perekonomian Nomor 141/2025 yang berfokus pada penguatan kelembagaan dan koordinasi antar sektor. Pemerintah juga memobilisasi dukungan pembiayaan berskala besar. Sembilan proyek transisi energi memperoleh pendanaan dalam bentuk pinjaman atau ekuitas, sementara 45 proyek lainnya mendapatkan hibah senilai 233 juta dolar AS. Indonesia Infrastructure Guarantee Fund juga mengamankan jaminan 1 miliar dolar AS melalui Multilateral Development Banks untuk mempercepat realisasi proyek energi bersih. Skema pembiayaan ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak sekadar merumuskan kebijakan, tetapi juga memastikan ketersediaan instrumen pendukungnya.
Salah satu fokus utama kebijakan energi hijau adalah pemanfaatan panas bumi. Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Julfi Hadi menilai energi panas bumi selaras dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya domestik atau indigenous resources. Menurut Julfi, keunggulan utama panas bumi adalah sifatnya yang berkelanjutan dan kemampuannya sebagai baseload atau penopang utama pasokan listrik. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dapat beroperasi 24 jam penuh tanpa henti, menghadirkan pasokan listrik yang stabil sekaligus bersih. Potensi yang tersebar dari Aceh hingga Papua juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kapasitas panas bumi terbesar kedua di dunia. Dengan percepatan pengembangan, Indonesia berpeluang menjadi pemimpin global dalam energi panas bumi.
Julfi juga menegaskan bahwa pemanfaatan panas bumi tidak hanya relevan untuk pembangkitan listrik, tetapi juga membuka peluang hilirisasi energi. Teknologi modern memungkinkan energi ini diintegrasikan dengan sektor lain seperti produksi green hydrogen, green ammonia, hingga pengoperasian pusat data. Langkah ini tidak hanya mendukung transisi energi, tetapi juga menciptakan peluang industri baru dan lapangan kerja yang memperkuat daya saing nasional. Dengan kapasitas yang baru termanfaatkan sekitar 10 persen, ruang pengembangan panas bumi masih sangat besar. Jika dikelola optimal, energi ini dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Selain panas bumi, pemerintah juga memperkuat pemanfaatan gas bumi sebagai bagian dari energi transisi. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), subholding gas Pertamina, menegaskan komitmennya mendukung program pemerintah untuk mewujudkan swasembada energi melalui gas bumi. Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN Hery Murahmanta menyebut gas bumi memiliki peran strategis sebagai tulang punggung transisi energi nasional menuju target Net Zero Emission 2060. Pemanfaatan gas bumi, khususnya jaringan gas rumah tangga (jargas), dinilai penting untuk mengendalikan pencemaran udara sekaligus menekan impor energi. Dengan memanfaatkan gas bumi, Indonesia berpeluang mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG) secara signifikan, sejalan dengan arahan Presiden melalui program Asta Cita.
Hery menjelaskan bahwa PGN mengoperasikan infrastruktur terintegrasi yang mencakup lebih dari 33.000 kilometer jaringan pipa, fasilitas regasifikasi LNG, hingga stasiun pengisian bahan bakar gas. Di Area Cilegon, PGN menyalurkan gas bumi sekitar 40,87 billion british thermal unit per day (BBTUD) kepada lebih dari 16.000 pelanggan rumah tangga, pelanggan kecil, serta pelanggan komersial dan industri. Secara keseluruhan di Provinsi Banten, PGN telah membangun lebih dari 15.000 jargas melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta lebih dari 69.000 jargas mandiri PGN. Infrastruktur ini tersebar di berbagai kota dan kabupaten seperti Cilegon, Serang, Tangerang, dan Tangerang Selatan. Rencana perluasan jargas terus dilakukan dengan dukungan pemerintah melalui percepatan perizinan, insentif keekonomian pembangunan, serta sosialisasi kepada masyarakat. Upaya ini juga mendapat dorongan dari Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Putri Zulkifli Hasan dan Bupati Serang Ratu Rachmatuzakiyah yang menilai jargas penting bagi pemenuhan energi bersih masyarakat.
Pengembangan panas bumi dan gas bumi menunjukkan bahwa transisi energi hijau bukan sekadar slogan, melainkan jalan konkret menuju swasembada energi berkelanjutan. Pemerintah telah menyiapkan instrumen regulasi, pendanaan, dan kelembagaan untuk memastikan transisi ini berjalan efektif. Pelaku industri juga menunjukkan komitmen nyata dengan mengoptimalkan teknologi dan memperluas infrastruktur energi hijau. Sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat menjadi faktor kunci untuk mewujudkan transformasi ini.
Melalui kebijakan yang berpihak pada pemanfaatan sumber daya domestik, dukungan pembiayaan yang solid, serta inovasi teknologi yang berkelanjutan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai kemandirian energi sekaligus menjaga lingkungan hidup yang lebih sehat. Transisi energi hijau bukan hanya agenda pemerintah, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kesejahteraan bangsa. Dengan modal sumber daya alam yang melimpah dan visi strategis yang jelas, Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk menjadi pemain utama energi hijau global sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai negara mandiri energi yang berkelanjutan.
*) Pengamat Kebijakan Energi dan Lingkungan