Oleh : Gavin Asadit )*
Pemerintah dan parlemen kini menghadapi dinamika penting dalam arah kebijakan fiskal. Wacana mengenai tax amnesty jilid III yang sempat masuk dalam daftar prioritas legislasi 2025 menimbulkan perdebatan luas, baik di kalangan pembuat kebijakan, akademisi, maupun pelaku usaha. Sementara sebagian pihak menilai pengampunan pajak dapat menjadi jalan cepat untuk meningkatkan penerimaan negara, tidak sedikit pula yang justru mengapresiasi langkah penghentian wacana tersebut. Apresiasi itu lahir karena penghentian tax amnesty dipandang sejalan dengan semangat reformasi pajak jangka panjang, di mana kepatuhan, keadilan, serta kredibilitas otoritas fiskal lebih diutamakan dibanding solusi jangka pendek.
Presiden Prabowo Subianto melalui pernyataannya mengingatkan bahwa tax amnesty bukan instrumen untuk mengampuni praktik korupsi atau pencucian uang. Ia menggarisbawahi bahwa keberadaan amnesti pajak haruslah jelas sasaran dan manfaatnya bagi publik, bahwa ini bukan untuk kepentingan segelintir orang atau golongan tertentu. Pernyataan ini sekaligus menjadi sinyal dari tingkat tertinggi pemerintahan bahwa reformasi pajak ke depan akan menuntut akuntabilitas dan keadilan
Sementara itu, sejumlah ekonom berpendapat bahwa tax amnesty yang dilakukan berulang kali hanya akan menimbulkan moral hazard. Wajib pajak dikhawatirkan sengaja menunda kepatuhan dengan asumsi pemerintah akan kembali memberikan pengampunan. Praktik semacam itu pada akhirnya melemahkan fondasi perpajakan nasional, karena penerimaan negara hanya bertumpu pada momentum tertentu, bukan pada kepatuhan berkelanjutan. Oleh karena itu, penghentian rencana tax amnesty jilid III dinilai sebagai sinyal positif bahwa pemerintah serius memperkuat sistem perpajakan melalui perbaikan struktural.
Dalam konteks legislasi, memang benar bahwa RUU Pengampunan Pajak sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Namun, sejumlah pihak di eksekutif maupun legislatif menunjukkan sikap hati-hati. Pemerintah tampak lebih memilih memperkuat reformasi fiskal yang menyentuh akar masalah, seperti modernisasi sistem administrasi, penguatan basis data, serta integrasi informasi lintas lembaga, ketimbang memberikan keringanan secara berkala. Bagi banyak pengamat, langkah ini menunjukkan pergeseran penting: dari ketergantungan pada kebijakan sekali pakai menuju reformasi permanen yang lebih adil dan kredibel.
Pernyataan tegas juga muncul dari Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka menolak gagasan tax amnesty jilid III, dengan alasan berulangnya program pengampunan pajak dapat merusak kredibilitas negara dalam menegakkan aturan. Ia menekankan bahwa keberhasilan reformasi fiskal justru terletak pada konsistensi penegakan hukum, bukan pada pengecualian yang diberikan terus-menerus. Sikap ini dianggap selaras dengan tuntutan publik yang menginginkan keadilan fiskal. Banyak kalangan menilai, tanpa penghentian amnesti, masyarakat patuh akan terus merasa dirugikan karena pelanggar pajak mendapat ruang untuk menunda kewajibannya tanpa konsekuensi berarti.
Apresiasi terhadap langkah ini datang dari berbagai kalangan. Para akademisi menilai bahwa penghentian amnesti memberi ruang bagi penguatan administrasi perpajakan, khususnya melalui digitalisasi sistem dan pertukaran data internasional. Pelaku usaha kecil dan menengah melihat langkah tersebut sebagai upaya mengurangi ketimpangan antara wajib pajak besar yang kerap memanfaatkan amnesti dan wajib pajak kecil yang rutin membayar kewajiban. Sementara itu, para analis fiskal menekankan bahwa keadilan fiskal lebih mudah tercapai jika pemerintah menegakkan aturan dengan konsisten, tanpa pengecualian yang menimbulkan persepsi diskriminatif.
Di tengah perdebatan mengenai amnesti, publik juga menyuarakan tuntutan yang dikenal sebagai “17+8”. Tuntutan ini mencerminkan desakan masyarakat agar pemerintah tidak hanya fokus pada penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan lapangan kerja, stabilisasi harga, serta perlindungan sosial. Pemerintah merespons aspirasi ini dengan sejumlah kebijakan cepat, termasuk program pemberdayaan ekonomi lokal, dukungan terhadap industri padat karya, dan intervensi untuk menjaga daya beli masyarakat. Respons yang disebut “respon cepat 17+8” ini penting untuk meredam ketegangan dan menunjukkan komitmen pemerintah bahwa reformasi fiskal berjalan beriringan dengan kepentingan sosial-ekonomi yang lebih luas.
Dengan demikian, penghentian rencana tax amnesty jilid III bukan sekadar langkah menolak sebuah kebijakan, melainkan sinyal kuat bahwa pemerintah tengah memprioritaskan reformasi pajak yang lebih komprehensif. Keputusan ini diapresiasi luas karena menegaskan bahwa negara tidak lagi mengandalkan pengampunan sebagai solusi instan, melainkan berkomitmen membangun kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Namun, apresiasi ini tetap harus dibarengi dengan tindakan nyata, baik dalam penegakan hukum maupun dalam memenuhi aspirasi rakyat melalui respon cepat terhadap tuntutan “17+8”. Hanya dengan kombinasi keduanya, reformasi pajak dapat berjalan secara konsisten, adil, dan berkelanjutan.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan