Oleh: Daniul Hermawan )*
Komitmen pemerintah untuk merespons aspirasi rakyat yang terangkum dalam tuntutan 17+8 semakin menemukan bentuk nyata melalui langkah percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Kehadiran regulasi ini dipandang penting sebagai instrumen hukum untuk menutup celah praktik kejahatan yang merugikan negara, sekaligus menjadi bukti keseriusan negara dalam memenuhi amanat rakyat yang menuntut tata kelola pemerintahan bersih dan berwibawa.
Proses pembahasan RUU Perampasan Aset telah masuk dalam prioritas utama program legislasi nasional 2025. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa rancangan ini akan dibahas segera setelah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana rampung.
Pembahasan RUU Perampasan Aset ini dibahas setelah revisi KUHAP agar RUU Perampasan Aset nantinya memiliki pijakan hukum yang kuat dan tidak bertabrakan dengan regulasi lain. Penekanan tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR berupaya mengedepankan kehati-hatian sehingga implementasi undang-undang bisa berjalan efektif tanpa memunculkan kerentanan baru dalam praktik penegakan hukum.
Sufmi Dasco juga menekankan pentingnya sinkronisasi aturan yang sedang dilakukan Badan Keahlian DPR. Draf RUU sedang dikompilasi agar hasil akhirnya tidak sekadar menjadi payung hukum, tetapi benar-benar memberi kekuatan bagi aparat untuk merampas aset hasil tindak pidana dengan legitimasi yang kokoh. Kehati-hatian ini merupakan bentuk tanggung jawab negara agar upaya pemberantasan kejahatan, khususnya yang berkaitan dengan aset hasil tindak pidana korupsi maupun pencucian uang, dapat berjalan sesuai prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Selain itu, Sufmi menjelaskan bahwa proses pengesahan KUHAP memerlukan waktu lebih panjang karena adanya partisipasi publik yang begitu luas. Komisi III DPR terus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang ingin terlibat, dan hal ini menunjukkan adanya keterbukaan proses legislasi. Kondisi tersebut memberi sinyal bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset nantinya juga akan terbuka terhadap partisipasi rakyat, sehingga aspirasi yang menjadi dasar 17+8 benar-benar mendapat ruang di tingkat kebijakan nasional.
Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, menegaskan hal serupa dengan menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset resmi menjadi bagian dari prolegnas prioritas 2025-2026. Penegasan bahwa pembahasan akan dilakukan secara terbuka, dengan prinsip partisipasi bermakna, semakin menambah legitimasi politik bahwa pemerintah bersama DPR serius menjadikan RUU ini sebagai prioritas. Tidak ada ruang bagi pembahasan tertutup, sehingga kepercayaan publik terhadap proses legislasi bisa terjaga.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra, menyampaikan kesiapan pihaknya untuk membahas RUU Perampasan Aset secara simultan dengan RKUHAP. Kesiapan ini menandakan adanya tekad kolektif untuk menuntaskan regulasi penting tersebut dalam waktu yang tidak berlarut-larut.
Kehadiran RUU Perampasan Aset tidak hanya sebatas memenuhi daftar legislasi prioritas, melainkan juga membawa misi besar untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat sekaligus memperkuat posisi negara dalam melawan praktik kriminal ekonomi.
Jika menilik sejarahnya, perjalanan RUU Perampasan Aset memang tidak sebentar. Rancangan ini pertama kali diinisiasi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan draf awal sudah selesai sejak 2012. Namun, pembahasan tidak kunjung berlanjut hingga akhir masa pemerintahannya.
Pada periode Presiden Joko Widodo, rancangan tersebut beberapa kali masuk dalam daftar Prolegnas, termasuk pada 2015 dan 2020, tetapi selalu gagal menjadi prioritas. Jokowi sempat mengirimkan surat presiden pada 2023 untuk mendesak pembahasan, tetapi masa pemerintahannya berakhir tanpa ada tindak lanjut nyata.
Kini, di bawah pemerintahan baru, pembahasan RUU Perampasan Aset justru menemukan momentum yang lebih jelas. Masuknya regulasi ini ke daftar prioritas 2025 sekaligus 2026 menjadi jaminan bahwa proses pembahasan tidak akan berakhir pada kebuntuan seperti sebelumnya. Pemerintah bersama DPR menunjukkan konsistensi politik untuk menindaklanjuti tuntutan 17+8 dengan cara yang konkret, bukan sekadar wacana.
Aspirasi rakyat yang terangkum dalam 17+8 sesungguhnya menekankan perlunya langkah tegas negara dalam menindaklanjuti kejahatan ekonomi dan praktik korupsi. RUU Perampasan Aset menjawab kebutuhan itu karena memberi dasar hukum bagi penyitaan hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pidana pokok.
Mekanisme semacam ini sudah lama diterapkan di berbagai negara dan terbukti efektif dalam mempersempit ruang gerak pelaku kriminal. Dengan dasar hukum yang kuat, negara tidak hanya mampu menghukum pelaku, tetapi juga mengembalikan aset yang sejatinya menjadi hak rakyat.
Upaya pemerintah untuk menghadirkan regulasi ini patut diapresiasi karena sejalan dengan semangat membangun pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Langkah ini juga menjadi bukti bahwa aspirasi rakyat benar-benar didengar dan dijadikan prioritas dalam perumusan kebijakan. Penyelarasan kepentingan antara pemerintah, DPR, dan masyarakat akan menghasilkan undang-undang yang tidak hanya kuat secara legal, tetapi juga memiliki legitimasi sosial yang luas.
Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset akan memperlihatkan bahwa tuntutan rakyat melalui 17+8 bukan hanya simbol perlawanan, melainkan benar-benar direspons dengan langkah nyata. Pemerintah membuktikan keseriusannya bahwa suara rakyat tidak berhenti di jalanan, melainkan masuk ke ruang legislasi dan diwujudkan dalam produk hukum yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa.
)* Pengamat kebijakan publik