Oleh: Syaifullah Fahrurrozi *)
Sinergitas antara TNI, Polri, dan masyarakat merupakan pondasi penting dalam menjaga kualitas demokrasi Indonesia. Kolaborasi ini tidak hanya memastikan keamanan dan ketertiban, tetapi juga menjadi instrumen negara untuk menjamin hak setiap warga dalam menyampaikan aspirasi secara damai dan tertib. Di tengah situasi sosial dan politik yang dinamis, kerja sama tiga elemen ini menjadi bukti bahwa kebebasan berekspresi dapat berjalan selaras dengan stabilitas nasional.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa aparat keamanan berkomitmen mengawal jalannya demokrasi, khususnya ketika masyarakat menyampaikan pendapat di muka umum. Menurutnya, hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi tetap harus dijaga, namun pelaksanaannya perlu memperhatikan ketertiban dan tidak merugikan kepentingan umum. Pernyataan ini memperlihatkan keseriusan Polri dalam menempatkan kebebasan berpendapat sebagai hak asasi yang perlu dilindungi sekaligus dikawal dalam koridor hukum.
Pandangan serupa diungkapkan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang menekankan bahwa kekuatan bangsa Indonesia terletak pada persatuan. Ia menyampaikan bahwa kebebasan berpendapat harus dijalankan dalam batas hukum agar tidak menimbulkan perpecahan. Pesan ini mencerminkan konsistensi TNI menjaga aspirasi rakyat agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin merusak kedamaian. Dengan persatuan sebagai modal utama, demokrasi Indonesia dapat terus tumbuh di atas fondasi yang kokoh.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat menjadi mitra strategis aparat, menegaskan bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab TNI dan Polri, melainkan tugas bersama. Pernyataan ini menggarisbawahi pendekatan baru yang lebih humanis dan partisipatif dalam mengelola dinamika demokrasi.
Di lapangan, sinergitas TNI dan Polri tampak melalui berbagai aktivitas bersama yang mendekatkan aparat dengan masyarakat. Patroli gabungan, pengamanan aksi unjuk rasa, hingga dialog langsung di lingkungan warga merupakan bentuk nyata kehadiran negara untuk memastikan aspirasi rakyat tersampaikan tanpa gesekan. Kehadiran aparat bukan sekadar untuk menjaga ketertiban, tetapi juga untuk membangun kedekatan emosional yang memudahkan komunikasi, menyerap aspirasi, serta menumbuhkan rasa saling percaya.
Di era digital, tantangan baru juga muncul berupa derasnya arus informasi yang kerap diiringi provokasi dan hoaks. Aparat keamanan terus mengingatkan masyarakat agar bijak dan selektif dalam menyebarkan informasi. Kesadaran bersama untuk “menyaring sebelum membagikan” informasi menjadi kunci agar ruang publik digital tidak berubah menjadi sumber konflik. Dengan literasi digital yang lebih baik, masyarakat dapat mencegah upaya provokasi dan memperkuat ketahanan sosial.
Partisipasi masyarakat sendiri menunjukkan kemajuan signifikan. Unjuk rasa, diskusi publik, hingga gerakan sosial kini lebih sering berlangsung tertib dan berorientasi pada substansi aspirasi ketimbang provokasi. Kematangan ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia mulai memasuki tahap yang lebih dewasa, di mana kebebasan berekspresi diiringi tanggung jawab moral dan kesadaran hukum. Aspirasi masyarakat yang disampaikan secara damai dan argumentatif justru memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah serta membantu negara menemukan solusi yang lebih tepat.
Namun, tantangan tidak serta-merta hilang. Dalam praktiknya, jika aspirasi masyarakat mendapat tanggapan secara cepat, kepercayaan publik semakin meningkat dan potensi gesekan dapat diminimalisasi. Hal ini menunjukkan pentingnya negara yang sudah membuka ruang dialog luas untuk terus diperkuat sehingga aspirasi masyarakat tersalurkan secara konstruktif. Penyampaian pendapat tidak harus selalu dilakukan melalui demonstrasi di jalan; forum konsultasi publik, dengar pendapat, dan kanal pengaduan digital adalah alternatif yang lebih terstruktur dan produktif. Negara memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan mekanisme yang responsif, sementara masyarakat perlu memanfaatkannya secara konstruktif.
Peran para pemimpin aksi, aktivis, mahasiswa, dan tokoh masyarakat menjadi kunci dalam menjaga agar gerakan tidak ditunggangi kepentingan tertentu atau disusupi provokasi. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan aspirasi tetap pada jalurnya. Di era disinformasi, kemampuan memilah fakta dari hoaks sangat menentukan keberhasilan menjaga suasana kondusif. Dengan kesadaran kolektif dan literasi digital yang lebih tinggi, masyarakat dapat menangkis narasi menyesatkan yang merugikan bangsa.
Media massa juga memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan atmosfer kondusif. Pemberitaan yang edukatif dan menyejukkan dapat meredam potensi konflik serta memperkuat pemahaman masyarakat tentang pentingnya menyampaikan aspirasi secara damai. Media perlu menjadi mitra pemerintah dan masyarakat dalam mengedepankan edukasi publik bahwa kebebasan berekspresi adalah kekuatan moral, bukan sarana destruktif.
Demokrasi pada akhirnya bukan sekadar kebebasan, tetapi juga tanggung jawab. TNI dan Polri hadir bukan sebagai lawan masyarakat, melainkan sebagai mitra strategis untuk memastikan demokrasi tetap hidup dan berkembang secara sehat. Dengan semangat gotong royong, rasa saling percaya, dan partisipasi aktif masyarakat, Indonesia memiliki peluang besar menjadi contoh bagaimana kebebasan berekspresi dapat berjalan selaras dengan stabilitas, keamanan, dan ketertiban umum. Sinergitas TNI, Polri, dan masyarakat yang terus diperkuat akan menjadi fondasi kokoh bagi iklim demokrasi Indonesia yang lebih matang, beradab, dan berdaya saing.
*) Aktivis Literasi Demokrasi dan Kebangsaan
[ed]