Oleh: Alfian Wahyudi )*
Gelombang aspirasi yang dikenal dengan sebutan 17+8 Tuntutan Rakyat telah menggema sejak akhir Agustus 2025 dan terus menjadi perbincangan publik. Tuntutan mahasiswa dan masyarakat dipahami pemerintah sebagai dorongan untuk memperkuat demokrasi dan memastikan prinsip supremasi sipil dijalankan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Bagi pemerintah, suara itu bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan amanat rakyat yang wajib dihormati dan dijalankan dengan serius.
Aliansi mahasiswa yang terdiri dari BEM SI Kerakyatan, kelompok Cipayung Plus, serta sejumlah organisasi kampus lainnya, telah menyampaikan aspirasi mereka secara langsung kepada jajaran eksekutif di Istana Kepresidenan. Ketua BEM UPNVJ, Kaleb Otniel Aritonang, menekankan pentingnya supremasi sipil, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjaga peran militer tetap pada fungsi pertahanan.
Pesan yang disampaikan mahasiswa ejalan dengan semangat reformasi yang terus dijaga, dengan memastikan militer fokus pada fungsi pertahanan dan lembaga sipil menjadi pengendali utama demokrasi. Pemerintah merespons hal itu dengan keterbukaan, memberikan sinyal bahwa tuntutan masyarakat tidak diabaikan. Langkah ini menjadi cerminan bahwa demokrasi di Indonesia masih berjalan dengan ruang dialog yang sehat antara pemerintah dan rakyat.
Dari sisi pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengambil posisi yang jelas dalam merespons desakan publik. Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, menyatakan bahwa pihaknya mengapresiasi tiga poin tuntutan yang ditujukan langsung kepada TNI.
Freddy menekankan bahwa institusi militer sangat menghormati aspirasi masyarakat dan menegaskan komitmennya terhadap supremasi sipil. Menurutnya, setiap kebijakan yang diberikan pemerintah akan dijalankan dengan penuh kehormatan dan sesuai kerangka hukum yang berlaku.
Sikap TNI ini penting karena menunjukkan adanya konsistensi terhadap prinsip demokrasi yang telah menjadi fondasi sejak reformasi 1998. Dengan menegaskan bahwa TNI tunduk pada supremasi sipil, publik mendapat kepastian bahwa lembaga pertahanan negara tidak akan keluar dari fungsinya sebagai alat pertahanan. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat mengenai potensi kembalinya militer dalam ranah sipil.
Selain isu militer dan sipil, aspek ekonomi juga menjadi bagian penting dalam 17+8 Tuntutan Rakyat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menekankan bahwa pencegahan pemutusan hubungan kerja massal merupakan prioritas pemerintah. Ia menegaskan bahwa langkah-langkah konkret telah disiapkan untuk menjawab keresahan publik. Deregulasi di sejumlah sektor industri, khususnya di Jawa, diproyeksikan mampu menyerap lebih dari seratus ribu tenaga kerja baru.
Airlangga menambahkan bahwa pekerja kontrak tetap mendapat perlindungan melalui skema kontrak satu tahun yang lebih adaptif. Ia juga menekankan pentingnya dialog bersama serikat buruh untuk membahas isu upah minimum dan praktik outsourcing. Dengan membuka ruang komunikasi, pemerintah berupaya memastikan agar kebijakan ketenagakerjaan tidak hanya berpihak pada investor, tetapi juga melindungi pekerja.
Dalam penjelasannya, Airlangga menggarisbawahi bahwa meski terjadi gejolak politik, kondisi ekonomi nasional tetap stabil. Pasar saham yang sempat melemah segera pulih, sementara rupiah berada pada posisi stabil. Inflasi juga terkendali di kisaran 2,31 persen, bahkan sempat terjadi deflasi. Situasi ini memberi peluang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya mendorong kredit lebih murah bagi sektor riil. Dengan begitu, aktivitas ekonomi tetap terjaga dan peluang kerja tetap terbuka.
Untuk memperkuat daya tahan masyarakat, pemerintah menyiapkan program stimulus yang lebih besar di semester kedua tahun ini. Stimulus tersebut mencakup insentif pajak penghasilan bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta, program padat karya di berbagai sektor, subsidi kredit usaha rakyat, hingga program renovasi rumah. Bantuan sosial yang telah berjalan juga ditingkatkan untuk memastikan masyarakat lapisan bawah tidak semakin tertekan oleh kondisi ekonomi global.
Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak sekadar menanggapi tuntutan di permukaan, melainkan benar-benar mengintegrasikan aspirasi publik dalam kebijakan yang menyentuh kehidupan masyarakat. Dengan mengedepankan prinsip supremasi sipil dan perlindungan ekonomi, pemerintah berusaha menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat.
Respons ini juga memberi sinyal kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia tetap berpegang pada prinsip demokrasi, meski dihadapkan pada dinamika politik yang tidak mudah. Supremasi sipil dijadikan sebagai garis merah yang tidak boleh dilanggar, sementara kebijakan ekonomi diarahkan untuk melindungi rakyat kecil sekaligus menjaga kepercayaan investor. Dengan cara ini, pemerintah menunjukkan bahwa demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan seiring.
Keseluruhan rangkaian peristiwa ini membuktikan bahwa pemerintah tidak hanya mendengarkan, tetapi juga merespons secara substantif. Aspirasi masyarakat diperlakukan sebagai bagian integral dari kebijakan, bukan sebagai ancaman. Dengan menegakkan supremasi sipil, menjaga stabilitas ekonomi, dan membuka ruang dialog, pemerintah berupaya memberikan kepastian kepada rakyat bahwa negara tetap berdiri di atas kepentingan mereka.
Tuntutan 17+8 pada akhirnya menjadi momentum penting untuk memperkuat kembali komitmen demokrasi Indonesia. Pemerintah menempatkan supremasi sipil sebagai prinsip tak tergoyahkan, sekaligus memperlihatkan langkah konkret dalam bidang ekonomi dan perlindungan sosial. Dari sini, publik dapat melihat adanya keseriusan negara dalam merespons amanat rakyat.
)* Pemerhati Kebijakan Publik