Oleh : Anik Tuniaty )*
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menandai babak baru kebijakan perumahan rakyat: rumah subsidi bukan sekadar kunci yang berpindah tangan, melainkan pemulihan martabat keluarga dan pemicu efek ganda ekonomi di tingkat akar rumput. Kisah Imam, guru SMK yang keluar dari siklus kontrakan menuju hunian milik sendiri di Cileungsi, merangkum makna itu—ketenangan batin, ruang tumbuh bagi anak, dan rasa tanggung jawab yang tertunaikan. Di belakang pintu rumah seperti milik Imam, rantai ekonomi bergerak: tukang gali fondasi mendapat kerja, pemasok bata ringan dan semen kebagian order, perbankan menyalurkan FLPP serta KUR Perumahan, hingga warung sekitar kompleks ikut hidup.
Kisah Imam Farniawan—guru SMK Negeri 65 Jakarta—mewakili banyak keluarga muda pekerja formal di kota-kota penyangga. Ia menuturkan dengan rasa haru bahwa program rumah subsidi membantunya berhenti “berpindah-pindah kontrakan” dan lebih cepat memasuki fase kepemilikan rumah di Pesona Kahuripan 10, Cileungsi, Bogor. Ia menilai akses jalan, saluran lingkungan, hingga fasilitas internet awal yang disediakan pengembang terasa memadai untuk memulai hidup baru.
Dari kacamata sosial, rumah adalah “determinant” kesejahteraan: ketika tempat tinggal aman dan terjangkau, keluarga dapat mengalihkan energi pada pendidikan, kesehatan, dan peningkatan keterampilan ekonomi. Imam memaknai kepemilikan rumah sebagai terpenuhinya salah satu tanggung jawab batin seorang suami—memberi hunian layak bagi istri dan anak—dan mengakui program pemerintah membuat target yang semula dibayangkan lima tahun, tercapai dalam hitungan kurang dari dua tahun pernikahan. Pada saat yang sama, ia juga merasakan perhatian pemerintah pada profesinya: ia menyebut bantuan upah dan kebijakan terkait gaji guru non-ASN sebagai dorongan nyata yang memperbaiki daya beli dan rasa harga diri tenaga pendidik.
Dampak program tiga juta rumah tidak berhenti di pintu depan keluarga penerima manfaat. Wardoyo, seorang pekerja gali dan fondasi di proyek Pesona Kahuripan 10, menggambarkan bagaimana pembangunan perumahan subsidi menghidupkan kembali pasar tenaga kerja lokal. Ia menceritakan bahwa permintaan awal yang melibatkan 10 orang pekerja berkembang seiring bertambahnya blok rumah, sehingga teman-teman yang semula menganggur bisa diajak kembali bekerja. Pesannya sederhana namun kuat: ketika backlog perumahan disolusikan melalui pembangunan masif, proyek itu bertindak sebagai mesin penyerap tenaga kerja, terutama bagi buruh terampil dan semi-terampil.
Peningkatan mutu juga terasa di lapangan. Andi, pekerja konstruksi jalan di lokasi yang sama, mengamati lompatan kualitas bangunan dan percepatan pekerjaan berkat dukungan alat berat dan material yang lebih baik. Ia menyebut peralihan dari batako ke bata ringan sebagai contoh konkret penguatan kualitas struktur; baginya, material baru ini menghadirkan kekokohan dan daya tahan yang lebih baik. Ia juga menegaskan bahwa proyek perumahan subsidi kini memobilisasi banyak pemasok dan subkontraktor, memperluas efek pengganda ekonomi dari bahan bangunan hingga logistik, sekaligus menambah kebanggaan personal karena merasa terlibat dalam program yang menyasar kelompok berpenghasilan rendah.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menegaskan desain instrumen yang pro-rakyat dan pro-penyerapan kerja. Ia menyampaikan bahwa KUR Perumahan—dengan subsidi bunga 5 persen bagi pelaku UMKM dalam ekosistem perumahan—diproyeksikan membuka banyak kesempatan kerja baru, seraya memperlancar realisasi program tiga juta rumah. Pemerintah, ujar beliau, juga menaikkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 350.000 unit, memperpanjang insentif seperti pembebasan BPHTB, keringanan biaya PBG, serta PPN Ditanggung Pemerintah hingga akhir tahun. Ia menambahkan, plafon KUR Perumahan 2025 ditetapkan sekitar Rp130 triliun agar perbankan bergerak agresif menyalurkan pembiayaan ke rantai nilai perumahan: dari pengembang, kontraktor, toko bangunan, hingga keluarga MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) sebagai end-buyer.
Sinyal pasar mengonfirmasi arah kebijakan ini. Sejumlah analis pasar modal menilai penambahan kuota FLPP dan percepatan perizinan memberi sentimen positif, terutama bagi bank fokus KPR subsidi dan pengembang yang memiliki cadangan lahan di kota-kota satelit. Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Indonesia Fath Aliansyah menempatkan bank penyalur KPR bersubsidi sebagai penerima manfaat awal, sementara Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan menggarisbawahi bahwa geliat sektor perumahan akan menetes ke industri pendukung seperti semen, baja, cat, dan keramik. Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai pelaku yang gesit mengeksekusi segmen MBR akan memanen momentum dari naiknya kuota FLPP.
Narasi kebijakan menjelma perubahan nyata, adalah mosaik kesejahteraan. Keamanan tempat tinggal mengurangi stres keluarga, penghasilan buruh konstruksi menggerakkan konsumsi lokal, dan penguatan rantai pasok bahan bangunan memicu aktivitas usaha mikro di sekitar proyek. Program tiga juta rumah pada akhirnya bukan sekadar target numerik; ia adalah proyek martabat. Ketika seorang guru muda merasa tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga kian ringan, ketika seorang buruh bangga karena terlibat dalam pekerjaan yang bermakna, dan ketika material yang lebih baik dipasang untuk keluarga yang lebih berpengharapan, kita sedang menyaksikan kebijakan publik bekerja sebagaimana mestinya. Tugas kita bersama—pemerintah, perbankan, pengembang, pekerja sosial, dan masyarakat—adalah memastikan agar setiap unit yang berdiri benar-benar menjadi rumah, tempat lahirnya ketenangan, tumbuhnya cita-cita, dan berputarnya roda ekonomi lokal. Dari sana, kesejahteraan tidak lagi abstrak. Ia berwujud senyum anak yang tidur nyenyak di kamarnya sendiri.
)* Pemerhati Masalah Sosial