Oleh: Algae Winarno )*
Memasuki satu tahun pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG), jejaknya makin nyata. Puluhan juta anak dan ibu hamil kini rutin menerima asupan bergizi setiap hari, ekonomi lokal ikut bergerak, dan standar keamanan pangan terus ditingkatkan. Presiden menegaskan capaian awal ini belum alasan untuk puas, arahnya tetap “zero accident” melalui SOP dapur SPPG yang kian ketat, kewajiban test kit sebelum distribusi, serta audit berjenjang. Di sisi hulu-hilir, kolaborasi lintas profesi juga menguat; lima organisasi kesehatan (IDI, PPNI, IBI, IAI, PERSAGI) menyatakan siap bantu quality control di 514 kabupaten/kota. Tahun pertama menjadi bukti skala bisa dicapai dengan terus berupaya keras menjagamutu.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar jatah makan. MBG adalah infrastruktur kesehatan publik yang menurunkan risiko gizi buruk, meningkatkan kehadiran sekolah, dan menggerakkan ekonomi lokal. Pemerintah sudah menaruh standar tinggi, dan komunitas tenaga kesehatan siap menguncinya agar berjalan aman, higienis, dan akuntabel di setiap dapur produksi.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa capaian cepat MBG tidak boleh membuat kita abai pada mutu. Ia menyampaikan bahwa dari hampir 30 juta penerima manfaat harian—anak sekolah dan ibu hamil—terdapat angka kesalahan sekitar 0,00017 persen dari total distribusi, namun pemerintah tidak puas dan menempatkan target pada nol insiden. Ia juga membandingkan percepatan Indonesia dengan program sejenis di Brasil yang memerlukan waktu sebelas tahun untuk menyentuh 40 juta penerima manfaat, sementara Indonesia menapak ke 30 juta dalam sebelas bulan. Menurutnya, manfaatnya sangat besar, tetapi percepatan tidak boleh memaksa sehingga justru menambah risiko; oleh karena itu laju perlu dikawal sambil memperketat mutu. Di level operasional, ia menerangkan bahwa SOP dapur Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi diperketat, peralatan diwajibkan dicuci dengan perangkat modern, dan setiap dapur dibekali alat uji sehingga makanan dites dulu sebelum didistribusikan. Intinya, ia mengarahkan agar MBG tumbuh hati-hati menuju target 82 juta penerima dengan keselamatan sebagai mandat utama.
Dukungan ekosistem kesehatan publik kian nyata. Lima organisasi profesi—Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI)—menyatakan mendukung penuh MBG dan siap membantu quality control di 514 kabupaten/kota. Mereka menilai program ini sejalan dengan agenda membangun generasi yang sehat, cerdas, dan tangguh, khususnya karena menyasar kelompok rentan seperti anak, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Pimpinan IDI, Dr. Slamet Budiarto, menyampaikan bahwa tujuan MBG meningkatkan status gizi masyarakat dan karenanya perlu jaminan kendali mutu serta pencegahan kejadian luar biasa keracunan. Aliansi ini mendorong perluasan cakupan sekaligus memperkuat pencegahan insiden melalui pengawasan yang sistematis, dan mereka menyatakan kesiapan untuk dilibatkan pemerintah dalam fungsi tersebut.
Kehendak Quality Control bukan jargon, artinya menyusun rantai kendali mutu end-to-end: audit pemasok bahan baku; penerapan higienitas personal dan sanitasi alat; kontrol waktu-suhu (time–temperature control) pada tahap memasak, pendinginan, dan distribusi; serta verifikasi laboratorium sederhana dengan test kit yang kini diwajibkan pemerintah di setiap dapur. Itu juga berarti pelatihan ulang berkala untuk juru masak dan penjamah makanan, simulasi recall menu bila ada deviasi, hingga penguatan dokumentasi batch agar setiap boks makan bisa ditelusuri sumbernya dalam hitungan menit. Pendeknya, kita bergerak dari “niat baik” ke “prosedur baik”.
Kualitas bergantung pada tata kelola dapur. Arahan Presiden tentang SOP perlengkapan dan test kit dapat diterjemahkan menjadi check-list harian yang sederhana namun ketat: suhu inti masak minimal 74°C untuk lauk berprotein; suhu penyimpanan panas di atas 60°C dan dingin di bawah 5°C; titik kritis sanitasi untuk talenan, pisau, dan wadah; serta frekuensi kalibrasi termometer dan logbook pembersihan. Farmasis (IAI) membantu standardisasi bahan tambahan pangan yang legal dan aman, sementara ahli gizi (PERSAGI) memastikan komposisi sesuai kebutuhan usia serta pantang alergi. Perawat (PPNI) dan bidan (IBI) memperkuat edukasi pada ibu hamil dan menyusui tentang keamanan pangan rumah tangga yang konsisten dengan menu MBG sekolah, sehingga keseluruhan ekosistem gizi anak terjaga dari dapur publik hingga dapur keluarga.
Dukungan lima organisasi profesi yang menyatakan siap membantu quality control juga membuka kesempatan menginstitusikan pengawasan kolaboratif. Seperti dalam jadwal supervisi terintegrasi triwulanan oleh tim lintas profesi; simulasi penarikan menu (menu recall drill) dua kali setahun; dan publikasi ringkasan audit agar orang tua dan sekolah ikut merasa memiliki.
Pada akhirnya, MBG adalah cermin kapasitas negara merawat yang paling kecil di antara kita. Pemerintah telah menempatkan standar tinggi: cepat namun hati-hati, luas namun terukur. Presiden menegaskan bahwa manfaatnya besar, tetapi mutu tidak boleh dinegosiasikan; SOP diperketat dan setiap dapur wajib menguji makanan sebelum dibagikan. Sementara itu, IDI, PPNI, IBI, IAI, dan PERSAGI telah menyatakan fokus pada pencegahan kejadian yang tidak diharapkan dan perlindungan kelompok rentan.
Seluruh pemangku kepentingan menghidupkan semangat yang sama: “Siap Bantu Quality Control”. Saat SOP tegak, pengujian konsisten, dan jejaring profesi bergandengan, nol insiden bukan utopia; ia menjadi konsekuensi dari sistem yang bekerja. Dan ketika itu terjadi, setiap kotak makan bukan hanya mengenyangkan, melainkan juga menenteramkan—bagi anak, orang tua, dan bangsa.
)* pemerhati kesehatan