Oleh : Lita Razak )*
Pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor industri, khususnya pada sektor padat karya seperti industri hasil tembakau dan energi ritel. Penegasan ini sejalan dengan aspirasi 17+8 yang mengedepankan perlindungan pekerja, keberlanjutan usaha, serta stabilitas ekonomi nasional.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah akan lebih serius dalam membasmi peredaran rokok ilegal di dalam negeri. Menurutnya, peredaran rokok ilegal tidak hanya merugikan penerimaan negara, tetapi juga mengancam keberlangsungan industri rokok legal yang selama ini berkontribusi besar pada kas negara.mPihaknya berjanju rokok ilegal akan segera dibasmi. Karena tidak fair dengan menarik ratusan triliun pajak dari rokok, sementara industri mereka tidak dilindungi marketnya .
Purbaya menekankan bahwa penerapan cukai rokok tidak semata untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga bagian dari upaya menekan konsumsi. Namun, Purbaya mengingatkan bahwa kebijakan fiskal tidak boleh mengorbankan tenaga kerja. Selama negeri tidak punya program kerja yang bisa menyerap tenaga kerja yang menganggur, industri tidak boleh dimatikan. Ini hanya menimbulkan meningkatnya penurunan ekonomi rakyat
Menkeu bahkan berencana mendatangi langsung sejumlah pabrik rokok di Jawa Timur untuk memastikan dinamika industri di lapangan. Hal ini menegaskan sikap pemerintah yang tidak hanya menetapkan kebijakan dari pusat, tetapi juga memperhatikan kondisi riil di daerah.
Pemerhati Kebijakan Ekosistem Tembakau Indonesia, Hananto Wibisono, menilai dinamika terbaru menegaskan arah kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2026 yang lebih pro-industri. Menurutnya, kebijakan tersebut akan menekankan keberlanjutan ekonomi sekaligus perlindungan tenaga kerja, sejalan dengan semangat stimulus 8+4+5 yang kemudian dipadukan dalam aspirasi 17+8.
Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya dan tekanan DPR memperkuat kemungkinan penurunan tarif cukai secara selektif, khususnya untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT). Langkah ini penting guna mencegah PHK massal dan menjaga stabilitas industri.
Ia menjelaskan efektivitas kebijakan CHT 2026 akan bertumpu pada tiga pilar utama: pemberantasan rokok ilegal, penurunan tarif selektif SKT, dan investasi dalam kampanye kesehatan. Pemberantasan rokok ilegal dibutuhkan agar penerimaan negara tetap terjaga, sementara penurunan tarif SKT diyakini dapat mencegah pergeseran konsumsi ke produk murah (downtrading) yang justru merugikan industri. Pendekatan ini akan mendukung target RAPBN 2026 tanpa menimbulkan risiko politik tinggi, sekaligus menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan.
Hananto juga menekankan pentingnya kampanye kesehatan yang lebih kuat agar kebijakan pro-industri tetap memiliki legitimasi sosial. Dengan begitu, pemerintah bisa menjaga keberlanjutan fiskal tanpa mengorbankan agenda kesehatan masyarakat. Selain di sektor tembakau, pemerintah juga bergerak cepat mengantisipasi potensi PHK di sektor energi ritel, khususnya pekerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, memastikan pemerintah tengah menjajaki langkah strategis untuk mencegah PHK akibat kelangkaan BBM di sejumlah SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo. Presiden meminta solusi yang cepat dan efektif agar para pekerja SPBU tidak terdampak PHK. Pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian ESDM, BUMN, dan pihak swasta.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menambahkan bahwa pemerintah telah memberikan tambahan kuota impor BBM sebesar 10 persen untuk SPBU swasta, sekaligus mendorong kerja sama pasokan dengan Pertamina. Kerja sama ini penting agar distribusi BBM kembali lancar dan masyarakat tidak dirugikan.
Langkah-langkah ini dinilai krusial, mengingat beberapa SPBU swasta sempat menutup layanan dan memindahkan pekerja ke tugas sementara. Jika tidak diantisipasi, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan PHK massal di sektor energi ritel.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah mencerminkan implementasi nyata dari aspirasi 17+8, yang menekankan perlindungan tenaga kerja, keberlanjutan ekonomi, dan stabilitas sosial. Pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan fiskal maupun energi tidak hanya berorientasi pada angka penerimaan negara, tetapi juga pada aspek kemanusiaan yang melibatkan jutaan pekerja.
Keseimbangan antara menjaga penerimaan negara, menekan peredaran rokok ilegal, menurunkan tarif cukai selektif untuk industri padat karya, hingga memastikan stabilitas pasokan energi, merupakan strategi komprehensif yang selaras dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam mendorong pertumbuhan inklusif.
Komitmen pemerintah dalam melindungi pekerja dan mencegah PHK massal mencerminkan keseriusan dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Kebijakan fiskal yang adaptif, langkah cepat dalam stabilisasi energi, serta perhatian khusus pada industri padat karya seperti rokok, menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada penerimaan negara semata, melainkan juga keberlanjutan usaha dan perlindungan pekerja.
Di tengah tantangan ekonomi global dan domestik, langkah-langkah ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah hadir untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus memberikan kepastian bagi jutaan pekerja. Dengan kebijakan yang terukur, dukungan lintas kementerian, dan sinergi dengan dunia usaha, komitmen mencegah PHK massal bukan sekadar janji, melainkan strategi nyata untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.
)* Penulis adalah Pengamat Sosial