Hilirisasi Komoditas Perkebunan Dorong Peningkatan Nilai Ekspor dan Devisa Negara

Oleh: Puteri Nurhaliza*

Hilirisasi komoditas perkebunan menjadi agenda strategis nasional yang semakin mendapat perhatian serius pemerintah. Di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Pertanian bersama pemerintah daerah, BUMN, hingga swasta berkomitmen menjadikan sektor perkebunan tidak hanya sebagai penghasil produk mentah, melainkan juga sebagai pusat pengolahan bernilai tambah tinggi. Langkah ini sejalan dengan upaya mendorong peningkatan devisa negara, menciptakan lapangan kerja baru, memperkuat ketahanan pangan, serta menjadikan Indonesia pemain utama dalam perdagangan global berbasis produk turunan perkebunan.

Dalam Rapat Koordinasi Hilirisasi Perkebunan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menekankan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Dengan anggaran biaya tambahan hampir Rp10 triliun, Kementan menargetkan peremajaan perkebunan di lahan seluas 800.000 hektare. Program ini mencakup komoditas strategis seperti kelapa sawit, tebu, kopi, kakao, karet, jambu mete, pala, dan lada. Melalui hilirisasi, pemerintah ingin memastikan produk perkebunan tidak lagi hanya diekspor dalam bentuk mentah, tetapi diproses menjadi barang bernilai ekonomi lebih tinggi.

Data tahun 2024 menunjukkan kontribusi ekspor perkebunan mencapai Rp279,4 triliun, atau 92,26 persen dari total ekspor pertanian sebesar Rp302,8 triliun. Angka ini menegaskan betapa vitalnya peran sektor perkebunan bagi perekonomian nasional. Namun, potensi tersebut belum sepenuhnya optimal karena sebagian besar masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. Sebagai ilustrasi, kakao yang diekspor seharga Rp26.000 per kilogram dapat berubah menjadi cokelat bernilai hingga Rp1 juta setelah diolah di negara lain. Hilirisasi hadir sebagai jawaban untuk mengurangi ketergantungan ekspor bahan mentah dan memaksimalkan keuntungan di dalam negeri.

Menteri Amran menegaskan, program hilirisasi bukan hanya urusan peningkatan nilai ekspor, melainkan juga penciptaan lapangan kerja. Dengan dukungan investasi senilai Rp371,6 triliun yang melibatkan BUMN, swasta, serta dana Kredit Usaha Rakyat (KUR), pemerintah menargetkan penyerapan tenaga kerja hingga 8,6 juta orang dan keuntungan kumulatif mencapai Rp9.684,96 triliun. Target ambisius ini realistis bila sinergi pemerintah pusat dan daerah berjalan konsisten.

Dukungan penuh juga datang dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang melihat hilirisasi sebagai jalan strategis untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Baginya, hilirisasi tidak hanya menjamin swasembada, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai eksportir dominan di pasar global. Dengan perencanaan matang, sektor perkebunan diyakini mampu mendongkrak posisi Indonesia dalam rantai pasok internasional, dari sekadar pemasok bahan baku menjadi produsen produk olahan berdaya saing tinggi.

Sejumlah kepala daerah turut menunjukkan komitmen kuat dalam implementasi kebijakan ini. Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Laos menegaskan dukungan daerahnya terhadap hilirisasi kelapa, pala, dan cengkeh, dengan memastikan data calon petani dan lokasi yang akurat. Langkah ini penting agar program berjalan tepat sasaran dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Ia mencontohkan, pabrik produk turunan kelapa yang sudah ada di Maluku Utara telah memberi dampak positif pada harga di tingkat petani.

Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa juga menekankan kesiapannya untuk mengawal program hilirisasi, khususnya pengembangan pala di Kabupaten Maluku Tengah. Ia memastikan data penerima bantuan telah lengkap, sehingga bantuan pemerintah dapat segera diimplementasikan. Sikap ini menunjukkan pentingnya tata kelola yang baik agar program besar tidak berhenti pada level kebijakan, melainkan benar-benar menyentuh kebutuhan petani di lapangan.

Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah menegaskan bahwa hilirisasi gambir mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Komoditas gambir yang selama ini kurang mendapat perhatian, kini berpeluang besar menjadi motor penggerak ekonomi daerah jika dikelola secara hilir. Pandangan ini menegaskan bahwa hilirisasi bukan hanya soal komoditas besar seperti kelapa sawit atau kopi, tetapi juga tanaman lokal yang memiliki potensi ekspor signifikan.

Gubernur Sulawesi Tenggara Andi Sumangerukka bahkan merencanakan pembangunan dua pabrik tebu di Konawe Selatan dengan nilai investasi Rp10 triliun. Upaya ini diharapkan membuka lapangan kerja luas sekaligus memperkuat basis industri tebu nasional. Menurutnya, percepatan koordinasi lintas kementerian mutlak diperlukan agar hambatan regulasi, terutama terkait status lahan, dapat segera diatasi.

Komitmen yang sama juga ditegaskan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Ia menyebut hilirisasi perkebunan sebagai terobosan besar yang digagas langsung oleh Presiden Prabowo. Program ini dirancang agar dalam tiga tahun ke depan Indonesia mampu mengakselerasi produktivitas dan mengamankan ketahanan pangan, sembari memperluas ekspor produk perkebunan bernilai tambah. Sinergi antara Kementan, Kemendagri, pemerintah daerah, dan sektor swasta diharapkan menjadi kunci keberhasilan program ini.

Jika ditinjau lebih jauh, hilirisasi bukan sekadar agenda ekonomi, melainkan juga strategi geopolitik. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai lumbung komoditas tropis memiliki peluang besar menjadi kekuatan global bila mampu mengolah produk perkebunannya sendiri. Hilirisasi akan memperkuat daya tawar Indonesia di pasar internasional, mengurangi ketergantungan pada impor barang olahan, dan meneguhkan posisi sebagai pemain utama dalam perdagangan dunia.

Hilirisasi perkebunan bukanlah sekadar slogan politik, melainkan strategi pembangunan yang menyentuh hajat hidup masyarakat luas. Dengan fokus pada nilai tambah, kemandirian ekonomi, dan daya saing global, Indonesia berpeluang besar mengembalikan kejayaan rempah dan komoditas tropis yang pernah menjadi magnet dunia. Kini, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan setiap langkah kebijakan ini terwujud nyata di lapangan.

*Penulis merupakan Analis Ekonomi dan Konsultan Strategi Industri Pertanian

[ed]