Pemerintah Percepat RUU Perampasan Aset untuk Jawab Aspirasi 17+8

Oleh : Gavin Asadit )*

Pemerintah resmi mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai jawaban atas desakan publik yang terkonsolidasi dalam gerakan “17+8”. RUU ini telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dalam sidang paripurna DPR. Langkah ini dipandang sebagai momentum penting untuk memperkuat penegakan hukum sekaligus menegakkan keadilan ekonomi di tengah tuntutan masyarakat yang semakin besar.

Bagi pemerintah, percepatan pembahasan bukanlah agenda seremonial semata. Perampasan aset selama ini kerap menghadapi kendala hukum dan administrasi yang membuat negara sulit memulihkan kerugian akibat tindak pidana korupsi, narkotika, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lainnya. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa keberadaan RUU ini akan memberi kepastian hukum baru sehingga pemulihan aset negara bisa berjalan lebih cepat, transparan, dan tidak lagi terhambat oleh kerumitan birokrasi.

Pemerintah menegaskan bahwa arah pembahasan RUU akan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian. Draf undang-undang akan disusun agar sejalan dengan standar hukum acara nasional dan praktik internasional. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa RUU bukan hanya mempercepat pemulihan aset, tetapi juga melindungi hak konstitusional warga negara. Setiap pasal dirancang dengan memperhatikan prinsip due process of law, sehingga proses perampasan aset tetap berada dalam koridor hukum yang transparan dan akuntabel.

Desakan publik yang dikenal dengan istilah “17+8” turut menjadi alasan kuat pemerintah mempercepat pembahasan. Gerakan yang terdiri dari 17 tuntutan jangka pendek dan delapan tuntutan jangka panjang itu menekankan perlunya keberanian negara menutup ruang impunitas. Pemerintah melihat aspirasi tersebut sebagai cerminan kebutuhan masyarakat akan keadilan yang nyata, yaitu keadilan yang tidak berhenti pada hukuman penjara, tetapi juga pemulihan kerugian negara untuk kepentingan rakyat.

Dalam forum legislatif, pemerintah bersama DPR berkomitmen agar RUU ini dibahas secara transparan. Mekanisme partisipasi publik akan dibuka lebar, sehingga masyarakat dapat memberikan masukan terhadap substansi undang-undang. Pemerintah menilai partisipasi ini penting untuk memperkuat legitimasi sekaligus menghindari tafsir keliru yang berpotensi melemahkan tujuan utama RUU. Forum diskusi publik, konsultasi akademik, hingga uji materi naskah akademik menjadi bagian dari agenda yang telah disiapkan.

Sementara itu, Ketua Baleg DPR, Bob Hasan mengatakan bahwa DPR akan menyelesaikan RUU Perampasan Aset dalam tahun 2025 dan memprioritaskan transparansi dalam setiap tahap pembahasan. Bob Hasan menegaskan bahwa publik akan diberi ruang konsultasi luas melalui forum-forum yang melibatkan akademisi, praktisi hukum dan masyarakat sipil agar draf undang-undang tidak menjadi alat kekuasaan tanpa kendali.

Meski begitu, pemerintah juga menyadari adanya sejumlah kritik dan catatan dari masyarakat sipil. Beberapa pihak menyoroti kemungkinan pasal multitafsir terkait perampasan tanpa putusan pengadilan atau ketentuan ambang nilai aset. Pemerintah memastikan masukan tersebut tidak akan diabaikan. RUU akan diformulasikan dengan batasan hukum yang jelas, pengawasan yudisial yang kuat, dan mekanisme kontrol yang mencegah penyalahgunaan. Dengan begitu, regulasi dapat berfungsi secara adil dan tidak merugikan pihak yang tidak bersalah.

Pemerintah juga menegaskan bahwa tujuan utama RUU bukanlah tindakan represif, melainkan perlindungan kepentingan publik. Setiap aset yang diperoleh melalui tindak pidana harus dikembalikan kepada negara agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Filosofi ini ditekankan berulang kali dalam komunikasi pemerintah: keadilan ekonomi hanya bisa ditegakkan bila hasil kejahatan tidak dinikmati oleh pelaku, melainkan dipulihkan untuk pembangunan bangsa.

Optimisme pemerintah juga didukung penuh oleh lembaga penegak hukum. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menilai percepatan RUU Perampasan Aset akan memperkuat upaya asset recovery yang selama ini berjalan parsial. Menurutnya, banyak kasus besar berhenti pada vonis pidana sementara kerugian negara belum kembali sepenuhnya. Dengan adanya regulasi ini, KPK diyakini dapat lebih tegas menutup ruang pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau memindahkan aset hasil tindak pidana.

Dalam konteks internasional, regulasi perampasan aset juga menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan mekanisme asset recovery. Pemerintah memandang hal ini penting untuk memperkuat diplomasi hukum, terutama dalam upaya mengejar aset yang berada di luar negeri. Dengan kerangka hukum yang jelas, kerja sama internasional dalam bidang mutual legal assistance dan ekstradisi bisa dilakukan dengan lebih solid.

Melalui percepatan RUU Perampasan Aset, pemerintah ingin menegaskan diri sebagai penggerak utama perubahan. Proses ini bukan semata-mata jawaban terhadap tuntutan publik, tetapi bagian dari strategi besar membangun tata kelola hukum yang bersih, modern, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Pemerintah optimistis bahwa percepatan ini akan menjadi tonggak baru dalam sejarah penegakan hukum Indonesia, sekaligus bukti bahwa negara hadir untuk menutup ruang korupsi dan memastikan keadilan ekonomi benar-benar terwujud.

)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan