Pemerintah Jamin Transparansi Penanganan Kasus Keracunan MBG

Oleh: Ardian Prakoso *)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejak awal dirancang untuk memperkuat fondasi sumber daya manusia Indonesia. Dengan menyalurkan lebih dari satu miliar porsi makanan bergizi ke berbagai pelosok tanah air, program ini menjadi salah satu instrumen strategis dalam membangun generasi sehat, cerdas, dan produktif. Namun demikian, dalam perjalanannya muncul dinamika berupa kasus keracunan di sejumlah daerah yang menuntut respons cepat dan transparan dari pemerintah.

Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hingga 22 September 2025 terdapat 4.711 warga terdampak keracunan terkait distribusi makanan MBG. Angka tersebut tersebar di tiga wilayah, dengan mayoritas berada di Wilayah II yang mencapai 2.606 orang, diikuti Wilayah I sebanyak 1.281 orang, dan Wilayah III sebanyak 824 orang. Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan keprihatinannya, terutama karena sebagian besar kasus muncul pada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang baru beroperasi atau mengalami pergantian pemasok bahan baku.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa persoalan utama bukanlah pada konsep program, melainkan pada aspek teknis dan operasional yang masih memerlukan penguatan. Pemerintah tidak menutup mata terhadap situasi ini. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menekankan bahwa koordinasi telah dijalankan antara BGN dan pemerintah daerah untuk memastikan seluruh korban mendapat penanganan cepat, sekaligus melakukan evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa tidak terulang.

BGN pun segera mengambil langkah pengetatan standar operasional prosedur. Di antaranya adalah pembatasan jumlah penerima pada SPPG baru serta penghentian sementara layanan di dapur yang terbukti menimbulkan gangguan pencernaan. Langkah ini merupakan bagian dari mitigasi risiko, dengan tujuan memastikan setiap menu yang disajikan kepada masyarakat benar-benar layak konsumsi, sehat, dan memenuhi kaidah gizi seimbang.

Dadan Hindayana menegaskan bahwa prinsip transparansi menjadi pegangan utama dalam menjalankan program ini. Menyusul beredarnya surat perjanjian dari sebuah SPPG yang diduga meminta penerima manfaat merahasiakan kasus keracunan, ia menyampaikan bahwa BGN sedang melakukan evaluasi agar praktik serupa tidak lagi terjadi. Menurutnya, MBG tidak boleh dijalankan dengan cara menutupi persoalan, melainkan dengan menyelesaikan masalah secara terbuka dan bertanggung jawab.

Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati, menambahkan bahwa insiden keamanan pangan telah menjadi perhatian serius. Pihaknya memperkuat sistem pelaporan berkala agar kepala SPPG dapat menyampaikan kendala maupun pengaduan secara cepat. Dengan demikian, pengawasan dapat dilakukan lebih ketat, tidak hanya di daerah yang mengalami kasus, tetapi juga di seluruh wilayah penerima manfaat. Langkah ini sejalan dengan target pemerintah untuk mewujudkan standar “zero incident” dalam program MBG.

Meski kritik tetap bermunculan dari kalangan lembaga riset dan masyarakat sipil, pemerintah memandang setiap masukan sebagai bagian penting dari proses perbaikan. Pemerintah merespons masukan tersebut dengan menjadikan evaluasi keamanan pangan sebagai prioritas. Akan tetapi, penghentian menyeluruh dianggap bukan solusi, sebab MBG telah terbukti memberikan manfaat luas dengan menjangkau jutaan anak sekolah dan keluarga prasejahtera.

Upaya penanganan teknis terus ditingkatkan. Setiap dapur SPPG telah diwajibkan menyimpan sampel makanan minimal dua hari untuk keperluan uji kelayakan apabila terjadi insiden. Ahli gizi ditempatkan di setiap dapur untuk merancang menu sekaligus mengawasi kualitas bahan baku. Selain itu, pengiriman makanan dibatasi agar tetap aman dikonsumsi dalam waktu maksimal empat jam sejak diproduksi. Koordinasi dengan instansi lain pun diperkuat, mulai dari Dinas Ketahanan Pangan yang memeriksa bahan baku, Dinas Kesehatan yang memantau olahan makanan, hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengawasi aspek higienitas.

Terbaru, BGN telah meninjau langsung sejumlah dapur MBG, termasuk yang menjadi sumber kasus keracunan di Bandung Barat. BGN menilai koordinasi antarpetugas di posko penanganan berjalan baik dan dapat menjadi model kesiapsiagaan bagi daerah lain. Sementara itu, sebagian insiden lebih disebabkan oleh faktor teknis, seperti ketidaksiapan dapur baru dalam melayani skala besar. Oleh karena itu, SPPG baru perlu memulai dengan jumlah penerima terbatas sebelum secara bertahap meningkatkan kapasitas.

Di tengah dinamika ini, pemerintah tetap berpegang pada komitmen bahwa MBG harus menjamin kualitas makanan. Karena itu, instruksi terbaru mengharuskan seluruh sajian diproses dengan bahan segar, dimasak tidak lebih dari lima jam, dan dipasok oleh penyedia yang terbukti mampu menjaga mutu. Kebijakan ini diharapkan mampu menutup celah kelalaian teknis yang sebelumnya menjadi penyebab terjadinya keracunan.

Keberhasilan MBG sejauh ini tidak bisa diabaikan. Dengan serapan anggaran Rp13,2 triliun dari total alokasi Rp71 triliun hingga September 2025, program ini telah menghadirkan manfaat nyata bagi jutaan warga. Pemerintah menegaskan bahwa perbaikan yang sedang dilakukan bukanlah tanda lemahnya kebijakan, melainkan bukti keseriusan dalam menjaga akuntabilitas. Transparansi dijadikan kunci agar publik memahami bahwa setiap masalah ditangani dengan terbuka, bukan ditutupi.

Pemerintah memandang penting untuk menegakkan keseimbangan antara kecepatan distribusi dan ketatnya pengawasan. Dengan evaluasi menyeluruh, penguatan SOP, serta keterlibatan berbagai instansi, program MBG diyakini tetap berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan strategisnya. Transparansi dalam penanganan kasus keracunan bukan hanya menegaskan keseriusan pemerintah, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik bahwa program ini akan terus hadir sebagai investasi jangka panjang bagi generasi bangsa.

*) Peneliti Kebijakan Sosial

[ed]