Oleh : Andhika Utama
Di tengah cepatnya perubahan sosial, politik, dan ekonomi, partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi semakin kuat. Aksi unjuk rasa, diskusi publik, dan gerakan sosial kini menjadi bagian penting dari demokrasi yang sehat. Meski kebebasan berpendapat dijamin, meningkatnya intensitas di ruang publik juga menuntut kedewasaan bersama agar aspirasi disampaikan secara damai, tertib, dan bermartabat.
Dalam konteks menjaga ketertiban di tengah kebebasan berpendapat, kolaborasi antara masyarakat sipil, TNI, dan Polri menjadi semakin penting. Sinergi di antara ketiganya justru memperkuat perlindungan kebebasan berekspresi dalam koridor hukum dan menjaga stabilitas sosial. Ketika masyarakat menyampaikan pendapatnya, negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa proses itu berlangsung dalam suasana yang aman, adil, dan tidak menimbulkan kerugian, baik secara fisik maupun sosial.
Saat ini, sejumlah isu krusial tengah menjadi perhatian publik. Dalam demokrasi, masyarakat tentu berhak menyampaikan pendapat, baik melalui aksi turun ke jalan maupun lewat forum-forum dialog yang tersedia. Namun sejarah telah memberikan pelajaran berharga bahwa tanpa pengelolaan yang baik, unjuk rasa yang pada awalnya damai dapat berubah menjadi benturan fisik yang merugikan semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri.
Kapolres Ternate, AKBP Anita Ratna Yuliant, menyatakan bahwa hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Ia menekankan bahwa hak tersebut harus dilaksanakan dengan tanggung jawab, yakni dengan tetap menjaga ketertiban, tidak melakukan tindakan provokatif, dan menghindari aksi anarkis yang merusak.
Hal serupa disampaikan oleh Kasat Polairud Polres Pangandaran, M Anang Tri Sodikin, yang menegaskan bahwa penyampaian aspirasi harus dilakukan dengan cara-cara yang damai, tertib, serta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Menurutnya, Satpolairud Polres Pangandaran akan terus hadir dengan wajah humanis, mendampingi masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya secara sehat, sekaligus mencegah potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat sejak dini.
Institusi Polri dan TNI menunjukkan komitmen kuat untuk bersikap lebih humanis dalam merespons dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Polri, melalui satuan-satuan seperti Sabhara dan Brimob, terus mengembangkan pelatihan pengendalian massa yang berbasis pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sementara itu, TNI menjalankan fungsi pertahanannya dengan tetap menjunjung tinggi sinergi bersama rakyat, khususnya dalam kondisi darurat atau saat diminta secara konstitusional untuk memberikan dukungan. Di tingkat lokal, kehadiran Bhabinkamtibmas dan Babinsa juga memperkuat jembatan komunikasi antara negara dan masyarakat. Mereka bukan sekadar aparat, melainkan juga mitra masyarakat dalam menciptakan suasana kondusif dan mendeteksi potensi eskalasi konflik sejak dini.
Kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya menyampaikan pendapat secara damai juga tampak semakin tumbuh. Di banyak kota, aksi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya kini terlihat lebih tertib, bahkan mendapat pengawalan simpatik dari aparat. Masyarakat juga mulai menjauhi praktik-praktik yang bersifat provokatif, seperti penggunaan isu SARA, ujaran kebencian, atau tindakan destruktif yang justru mengaburkan substansi dari aspirasi itu sendiri. Hal ini menunjukkan adanya kematangan dalam berdemokrasi, di mana suara rakyat tidak lagi disuarakan melalui kekerasan, tetapi lewat argumentasi dan keberanian moral.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Ketika aspirasi yang disampaikan tidak segera mendapatkan tanggapan atau solusi, potensi frustrasi bisa meningkat dan berujung pada tindakan yang tidak diinginkan. Di sinilah pentingnya negara membuka ruang dialog yang lebih luas. Penyampaian pendapat tidak harus selalu dilakukan lewat demonstrasi. Forum konsultasi publik, dengar pendapat, hingga kanal-kanal pengaduan digital bisa menjadi alternatif penyampaian aspirasi yang lebih terstruktur dan produktif. Namun, jika unjuk rasa tetap dipilih sebagai cara menyampaikan suara, maka tanggung jawab aparat keamanan adalah menjamin perlindungan penuh bagi masyarakat.
Peran para pemimpin aksi, aktivis, mahasiswa, dan tokoh masyarakat juga tidak kalah penting. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar aksi tidak ditunggangi oleh kepentingan tertentu atau disusupi oleh provokasi. Di era digital saat ini, hoaks dan disinformasi sangat mudah menyebar dan bisa memperkeruh suasana. Oleh karena itu, peningkatan literasi digital masyarakat menjadi kebutuhan mendesak agar tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan dan merugikan.
Media massa juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan suasana yang kondusif. Pemberitaan yang menyejukkan dan edukatif sangat membantu meredam potensi konflik dan memperkuat pemahaman masyarakat tentang pentingnya menyampaikan aspirasi secara damai. Media harus menjadi mitra dalam menjaga ketenangan publik serta mendidik bahwa menyampaikan pendapat secara tertib adalah bagian dari kekuatan moral bangsa.
Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya berbicara tentang kebebasan, tetapi juga tentang tanggung jawab. TNI dan Polri bukanlah lawan dari masyarakat, melainkan mitra strategis dalam menjaga agar demokrasi tetap hidup dan berkembang secara sehat. Dengan semangat gotong royong dan saling percaya, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi contoh bagaimana kebebasan berekspresi bisa berjalan seiring dengan stabilitas, keamanan, dan ketertiban umum.
)* Pengamat Kebijakan Publik