Oleh : Rivka Mayangsari*)
Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia dalam memperkuat komitmen terhadap perlindungan hak asasi. Salah satu aspirasi yang tertuang dalam 17+8 Tuntutan Rakyat adalah penguatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi yang selama ini berperan krusial dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Pemerintah melalui Kementerian HAM memastikan bahwa aspirasi tersebut tidak sekadar menjadi wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dalam regulasi yang lebih tegas, sistematis, dan efektif.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menegaskan bahwa revisi UU HAM akan mengatur berbagai aspek pembangunan HAM di seluruh Indonesia, termasuk penguatan kelembagaan yang memiliki peran strategis. Salah satu fokus utama adalah penguatan Komnas HAM. Menurutnya, komitmen ini bukan hanya untuk memperkuat institusi, tetapi juga menjawab kebutuhan masyarakat terhadap kepastian penegakan HAM yang lebih nyata dan berdaya guna.
Pigai menjelaskan setidaknya terdapat empat alternatif penguatan yang akan diberikan kepada Komnas HAM melalui revisi UU ini. Pertama, menjadikan rekomendasi Komnas HAM bersifat mengikat (binding). Selama ini, banyak rekomendasi yang hanya dianggap masukan tanpa konsekuensi hukum. Dengan perubahan ini, rekomendasi Komnas HAM akan memiliki kekuatan hukum, bahkan disertai sanksi bagi pihak yang mengabaikannya. Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan lembaga negara maupun pihak terkait dalam menindaklanjuti temuan kasus HAM.
Kedua, apabila ada kasus besar yang ditangani Komnas HAM, maka penyidik ad hoc dari Kejaksaan akan dapat melakukan proses hukum secara penuh, mulai dari penyidikan, pemanggilan paksa, hingga penuntutan. Mekanisme ini memberi jalan agar kasus-kasus besar tidak berlarut tanpa kejelasan, serta mempercepat proses hukum bagi korban dan keluarganya.
Alternatif ketiga, revisi UU HAM juga membuka ruang menjadikan Komnas HAM serupa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Model ini akan memberikan kewenangan penuh kepada Komnas HAM dalam menangani kasus pelanggaran HAM, termasuk kewenangan penyidikan, pemanggilan paksa, dan penuntutan. Dengan begitu, Komnas HAM tidak hanya sebatas lembaga pengawas atau pemberi rekomendasi, tetapi menjadi lembaga penegak hukum yang berwibawa.
Alternatif keempat adalah pemberian hak imunitas kepada pekerja Komnas HAM, khususnya komisioner. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap komisioner dapat melaksanakan tugasnya tanpa rasa takut, tekanan, atau ancaman kriminalisasi. Dengan perlindungan ini, Komnas HAM dapat bekerja lebih independen, profesional, dan berani dalam membela kepentingan rakyat.
Tidak hanya Komnas HAM, Menteri Pigai juga menegaskan bahwa revisi UU HAM akan memperkuat berbagai institusi lainnya, seperti Komnas Perempuan, Komnas Anak, dan Komnas Disabilitas. Penguatan tersebut mencakup fungsi maupun kelembagaannya agar setiap aspek hak asasi manusia bisa dilindungi secara lebih menyeluruh. Dengan langkah ini, pemerintah menunjukkan keseriusan bahwa penghormatan HAM bukanlah jargon, melainkan sebuah komitmen nyata.
Selain penguatan kelembagaan, revisi UU HAM juga akan mencakup evaluasi terhadap berbagai kebijakan maupun regulasi yang masih bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Dengan demikian, pembangunan HAM ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya melindungi dari pelanggaran, tetapi juga memastikan bahwa seluruh kebijakan negara selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Langkah revisi ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Masyarakat sipil menilai bahwa inisiatif ini selaras dengan aspirasi rakyat untuk mewujudkan negara yang adil dan menghormati hak asasi setiap warganya. Dengan memperkuat Komnas HAM dan institusi sejenis, pemerintah juga mempertegas posisinya sebagai pelindung sekaligus pengayom masyarakat dalam menghadapi ancaman pelanggaran HAM.
Tentu saja, tantangan di lapangan tidak kecil. Pelanggaran HAM, baik dalam skala besar maupun kecil, masih ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, dengan adanya UU HAM yang lebih progresif, diharapkan penegakan hukum bisa lebih cepat, tepat, dan adil. Reformasi hukum ini juga akan memperkuat posisi Indonesia di mata internasional sebagai negara yang serius dalam membangun peradaban demokrasi yang berbasis pada penghormatan HAM.
Lebih dari itu, revisi UU HAM ini juga menjadi momentum penting bagi generasi muda Indonesia. Mereka akan tumbuh dalam lingkungan yang lebih menghargai kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dengan memperkuat lembaga-lembaga HAM, negara menyiapkan landasan kokoh untuk masa depan yang lebih beradab dan bermartabat.
Pada akhirnya, revisi UU HAM bukan sekadar langkah teknis hukum, melainkan juga simbol bahwa aspirasi rakyat, khususnya 17+8 Tuntutan Rakyat, benar-benar mendapat tempat dalam kebijakan negara. Penguatan Komnas HAM dan institusi sejenis menjadi jawaban atas keresahan publik, sekaligus penegasan bahwa negara hadir untuk melindungi martabat setiap manusia.
Dengan demikian, revisi UU HAM bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan rakyat dalam kerangka 17+8, tetapi juga menjadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia dalam memperkuat institusi demokrasi dan hak asasi manusia. Langkah ini akan memastikan bahwa perlindungan, pemajuan, dan penegakan HAM benar-benar hadir dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus meneguhkan posisi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan di mata dunia.
*) Pemerhati HAM
[ed]