Oleh : Yuda Prasetya )*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah amanat besar negara untuk masa depan generasi bangsa. Program ini tidak layak dihentikan hanya karena persoalan teknis yang masih bisa diperbaiki, karena itu program tersebut hanyaperlu dievaluasi dengan serius agar manfaatnya terus dirasakan oleh anak-anak Indonesia.
Sejak diluncurkan sebagai salah satu program prioritas Presiden, MBG telah menjadi simbol kehadiran negara di tengah keluarga-keluarga yang mendambakan asupan gizi sehat bagi anak-anaknya. Di banyak sekolah, program ini telah memberi perubahan nyata: siswa lebih semangat belajar, kondisi kesehatan membaik, dan angka ketidakhadiran menurun karena anak tidak lagi berangkat sekolah dengan perut kosong. Inilah bukti konkret bahwa MBG bukan sekadar kebijakan, tetapi investasi besar untuk mencetak generasi emas Indonesia 2045.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, dengan tegas menilai bahwa program ini tidak boleh dihentikan. Menurutnya, insiden keracunan makanan yang terjadi di beberapa daerah memang patut menjadi perhatian, tetapi itu bukan alasan untuk menyetop program yang baru berjalan kurang dari setahun. Ia menekankan bahwa kelemahan dalam implementasi harus segera dideteksi, diperbaiki, dan diawasi agar tidak terulang kembali. Pandangan ini mencerminkan semangat bahwa solusi terbaik adalah memperbaiki, bukan membuang.
Salah satu sorotan penting yang disampaikan Said adalah efektivitas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memasak dan menyalurkan makanan. Dengan kapasitas satu dapur yang melayani hingga 3.000 porsi per hari, risiko penurunan kualitas sangat besar. Ia mendorong agar jumlah layanan setiap SPPG diperpendek menjadi 1.500 porsi, sehingga makanan tetap segar saat disajikan di sekolah. Usulan ini bukan hanya realistis, tetapi juga sangat penting untuk menjaga kualitas gizi dan keamanan pangan.
Senada dengan itu, Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, menekankan bahwa MBG adalah instrumen vital untuk menurunkan angka stunting. Saat ini, prevalensi stunting berada pada level 14,5 persen. Ia menegaskan Indonesia tidak boleh puas dengan capaian tersebut. Target menuju nol stunting hanya bisa dicapai bila MBG dimaksimalkan. Pandangan ini menegaskan bahwa MBG tidak semata soal makan gratis, tetapi merupakan strategi jangka panjang membangun kualitas manusia Indonesia.
Felly juga menyoroti dampak ekonomi yang dihasilkan MBG. Dengan memprioritaskan bahan baku dari pertanian lokal, program ini mampu memberi multiplier effect bagi petani, pedagang, dan pelaku UMKM daerah. Artinya, setiap piring makan bergizi yang disajikan di sekolah sejatinya juga menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Di tengah situasi ekonomi global yang penuh tantangan, MBG menjadi bantalan yang memperkuat daya tahan ekonomi rakyat kecil.
Menteri Sekretariat Negara, Prasetyo Hadi, menunjukkan sikap negarawan dengan menyampaikan permintaan maaf atas kasus keracunan yang terjadi. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah mengharapkan insiden tersebut dan berkomitmen menjadikannya bahan evaluasi serius. Langkah ini menunjukkan pemerintah tidak menutup mata, tetapi justru terbuka, mau mendengar, dan siap memperbaiki tata kelola program.
Kepala Staf Kepresidenan, Muhammad Qodari, bahkan menegaskan bahwa pemerintah bergerak cepat merespons persoalan yang muncul. Ia mengungkapkan data yang konsisten dari berbagai lembaga mengenai jumlah kasus keracunan, yang menandakan bahwa masalah ini nyata dan harus ditangani dengan disiplin. Menurutnya, kelemahan utama terletak pada minimnya penerapan standar keamanan pangan. Dari ribuan SPPG, hanya sebagian kecil yang memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS). Ini adalah tantangan yang harus segera dijawab, bukan alasan untuk menghentikan program.
Qodari juga menekankan perlunya melibatkan puskesmas di seluruh Indonesia dalam pengawasan SPPG. Dengan lebih dari 10 ribu puskesmas yang tersebar di daerah, pengawasan bisa dilakukan secara rutin, bahkan intensif di bulan pertama operasi SPPG yang rawan terjadi kesalahan. Strategi ini akan memperkuat jaring pengaman sekaligus memastikan kualitas makanan yang dikonsumsi anak-anak sekolah tetap terjaga.
Semua pandangan dari berbagai pemangku kepentingan tersebut mengerucut pada satu hal: MBG tidak boleh berhenti. Program ini adalah jawaban atas kebutuhan mendesak bangsa untuk mencetak generasi sehat, cerdas, dan kompetitif. Menghentikan MBG hanya karena kendala teknis sama saja dengan memutus harapan jutaan anak bangsa yang sudah merasakan manfaatnya. Jalan terbaik adalah memperkuat regulasi, memperketat pengawasan, dan memperbaiki tata kelola agar kasus serupa tidak terulang.
Evaluasi menyeluruh, peningkatan kapasitas SPPG, penerapan SOP ketat, dan sertifikasi keamanan pangan adalah kunci agar MBG semakin berkualitas. Dengan langkah-langkah tersebut, program ini tidak hanya akan menekan angka stunting, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi rakyat, memperkokoh rasa keadilan sosial, dan membuktikan bahwa negara benar-benar hadir untuk rakyatnya.
MBG adalah warisan besar yang akan menentukan masa depan bangsa. Tugas bersama kita adalah memastikan program ini berjalan selamat, sehat, dan bermartabat. Karena dengan gizi yang cukup, anak-anak Indonesia akan tumbuh sebagai generasi unggul yang mampu mengantarkan negeri ini menuju kejayaan di panggung dunia.
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik