Presiden Prabowo Getarkan Sidang Umum PBB Dengan Pesan Kemanusiaan

Oleh: Zaki Walad )*

Pidato perdana Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 layak kita apresiasi bersama. Dengan lantang, beliau membawa pesan perdamaian dan solidaritas kemanusiaan yang membuat dunia menaruh hormat kepada Indonesia.

Tepuk tangan bergema delapan kali, hingga berujung standing ovation, ketika Prabowo menyampaikan orasi kenegaraan di markas besar PBB, New York. Momentum itu bukan hanya menegaskan bahwa suara Indonesia masih relevan di panggung dunia, melainkan juga menunjukkan betapa kepemimpinan nasional kita kini diakui dalam tataran global. Sorotan mata dunia tertuju pada Indonesia, yang berani menawarkan solusi, bukan sekadar mengulang jargon diplomasi.

Ada tiga hal yang membuat pidato tersebut istimewa. Pertama, keberanian untuk bicara dengan bahasa universal yang melampaui batas politik. Saat mengutip Thucydides, Prabowo menegaskan bahwa kekuatan tidak boleh menjadi dasar kebenaran. Prinsip sederhana ini menohok, terutama di tengah era penuh konflik, dan seketika disambut tepuk tangan delegasi. Kedua, keberanian menawarkan kontribusi nyata berupa 20.000 pasukan perdamaian. Bagi forum sebesar PBB, janji ini tidak main-main. Ketiga, kejelasan sikap Indonesia terhadap Palestina, yang disampaikan tanpa keraguan, meneguhkan kembali komitmen moral bangsa.

Terkait hal tersebut,  Komisi I DPR RI, Desy Ratnasari, menilai sikap Presiden Prabowo tersebut selaras dengan amanah rakyat. Baginya, dukungan kepada Palestina adalah janji abadi bangsa Indonesia, bukan semata strategi politik luar negeri. Perspektif ini mengingatkan bahwa di balik panggung internasional, ada suara rakyat yang berakar dalam sejarah bangsa. Dukungan yang sama pernah disuarakan sejak era Presiden Soekarno, kini kembali bergema lewat kepemimpinan Prabowo.

Selain aspek politik, pidato Prabowo juga menghadirkan dimensi pragmatis yang tak kalah penting. Ia mengklaim bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada pangan, bahkan siap mengekspor beras ke negara-negara yang membutuhkan, termasuk Gaza. Pernyataan ini mengingatkan publik pada pidato Presiden Soeharto di forum FAO pada 1985, yang juga menegaskan capaian kedaulatan pangan Indonesia. Bedanya, kali ini klaim tersebut dikaitkan dengan misi kemanusiaan. Bukan hanya simbol prestasi, melainkan bentuk tanggung jawab moral Indonesia sebagai bangsa yang pernah merasakan lapar dan terjajah.

Pidato Prabowo juga menyentuh isu krisis iklim, persoalan yang sering kali hanya dibicarakan dalam bahasa teknokratis. Dengan menyinggung fakta bahwa Jakarta terancam tenggelam akibat kenaikan muka air laut, ia membawa isu iklim menjadi dekat dengan realitas sehari-hari. Solusi yang ditawarkan, seperti pembangunan tembok laut hingga target niremisi sebelum 2060, memberi sinyal bahwa Indonesia tidak sekadar mengikuti wacana global, tetapi siap berkontribusi nyata.

Emir Chairullah, dosen Hubungan Internasional FISIP UI, menilai sikap Indonesia di forum ini menegaskan posisi bebas aktif dan multilateralisme. Menurutnya, di era ketidakpastian, tidak ada satu negara pun yang mampu menyelesaikan masalah sendirian. Pandangan ini memperkuat posisi Prabowo sebagai pemimpin yang tidak sekadar mengandalkan aliansi tradisional, melainkan membuka ruang bagi kerja sama global yang lebih setara. Artinya, Indonesia ingin menjadi jembatan, bukan pengikut.

Sorotan penting lainnya adalah cara Prabowo menutup pidatonya. Dukungan pada solusi dua negara untuk Palestina-Israel disampaikan dengan keseimbangan yang jarang terdengar: pengakuan atas kemerdekaan Palestina sekaligus jaminan keamanan bagi Israel. Kalimat ini mencerminkan politik luar negeri yang matang—tegas, tetapi juga inklusif. Tidak heran jika delegasi kembali memberikan tepuk tangan, bahkan sebagian berdiri untuk memberi penghormatan.

Apresiasi dunia terhadap pidato Prabowo juga harus dilihat dalam konteks timing. Hanya sehari sebelumnya, pidato Presiden Amerika Serikat Donald Trump di forum yang sama menuai kritik karena dinilai terlalu panjang dan retoris. Kontras dengan itu, Prabowo menahan diri untuk tetap dalam batas waktu 15 menit, namun setiap menit penuh substansi. Perbandingan ini menguntungkan Indonesia, karena menampilkan Prabowo sebagai pemimpin yang disiplin, fokus, dan solutif.

Bagi bangsa Indonesia, momen ini lebih dari sekadar prestasi diplomasi. Ia adalah refleksi tentang bagaimana sejarah panjang bangsa yang pernah dijajah, miskin, dan terpinggirkan, kini menjelma menjadi suara yang didengar dunia. Pidato Prabowo di PBB mengingatkan kembali pada amanat konstitusi bahwa politik luar negeri Indonesia harus berpihak pada perdamaian dunia dan menolak segala bentuk penindasan.

Apresiasi yang hadir dari forum PBB adalah pengakuan internasional bahwa Indonesia bisa memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas global. Jika tawaran mengirim 20.000 pasukan perdamaian direalisasikan, Indonesia akan menorehkan sejarah baru sebagai salah satu negara penyumbang terbesar bagi misi perdamaian PBB. Ini bukan hanya kebanggaan, tetapi sekaligus tanggung jawab besar untuk menjaga reputasi di masa depan.

Dunia mendengar suara Indonesia, bukan hanya karena retorika, melainkan karena pengalaman sejarah dan konsistensi dalam berpihak pada keadilan. Pidato Prabowo di PBB adalah bukti bahwa diplomasi Indonesia tidak sekadar simbol, tetapi instrumen nyata untuk membawa kebaikan. Apresiasi yang bergema di ruang sidang PBB adalah cermin penghormatan terhadap perjalanan bangsa ini, yang kini hadir dengan percaya diri sebagai bagian dari solusi global.

Dengan demikian, kita patut bersyukur dan bangga. Panggung internasional telah menjadi saksi bahwa kepemimpinan Indonesia masih relevan, bahkan semakin diperhitungkan. Saat Presiden Prabowo berdiri di podium PBB, dunia mendengarkan, dan bangsa ini kembali diingatkan bahwa suara Indonesia adalah suara kemanusiaan, solidaritas, dan perdamaian.

)* Penulis adalah pengamat hubungan internasional