Presiden Prabowo Gaungkan Inklusivitas dan Solidaritas Dunia di Panggung PBB

Oleh : Hutapea Situmorang )*

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato bersejarah di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80. Kehadirannya di podium utama forum internasional tersebut menandai momen penting bagi diplomasi Indonesia, terutama setelah satu dekade posisi kepala negara tidak hadir langsung dalam ajang bergengsi itu. 

Sejak awal, pidato yang disampaikan oleh Presiden Prabowo tersebut terus menekankan pada aspek inklusivitas, solidaritas, serta semangat kerja sama multilateral yang dianggap sebagai kunci dalam menghadapi berbagai macam tantangan global saat ini.

Pidato tersebut bukan hanya sekadar seremoni diplomasi belaka, melainkan juga menjadi refleksi dari kemana arah politik luar negeri Indonesia yang terus konsisten dengan prinsip bebas aktif. 

Dalam orasi diplomatiknya, Kepala Negara menyoroti bagaimana multilateralisme harus senantiasa diperkuat agar dunia tidak kembali terjebak pada egoisme nasional maupun blok kekuatan tertentu. 

Sorotan terhadap inklusivitas tersebut disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai bentuk penegasan bahwa masa depan global hanya dapat dijaga dengan membuka ruang partisipasi yang adil bagi semua bangsa, terutama negara berkembang.

Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menilai kehadiran Presiden Prabowo di forum PBB itu sebagai momentum penting bagi Indonesia. Ia menegaskan bahwa kehadiran langsung Presiden tidak hanya memulihkan posisi Indonesia di level tertinggi diplomasi global, melainkan juga memperkuat status Indonesia sebagai pemimpin Global South. Menurut Teddy, posisi tersebut konsisten memperjuangkan agenda reformasi tata kelola dunia agar lebih adil, inklusif, dan tidak lagi didominasi kepentingan negara besar semata.

Nada optimisme juga ditegaskan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Vahd Nabyl Achmad Mulachela. Ia menjelaskan bahwa pesan utama pidato Presiden berfokus pada urgensi semangat inklusivitas serta optimisme kerja sama multilateral. 

Menurut Nabyl, Presiden menekankan bahwa dunia tengah menghadapi krisis kepercayaan terhadap multilateralisme akibat berbagai konflik geopolitik, kesenjangan ekonomi, hingga ketidakadilan dalam tata kelola internasional. 

Dengan menyoroti solidaritas dan inklusivitas, Presiden Prabowo mengirimkan pesan bahwa Indonesia mendorong agar PBB kembali menjadi rumah bersama yang melindungi kepentingan seluruh bangsa.

Momentum pidato tersebut juga tidak lepas dari refleksi sejarah keluarga besar Presiden RI kedelapan itu. Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia, Dino Patti Djalal, menilai kehadiran Presiden mengulang jejak perjuangan diplomasi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ayahanda Prabowo, yang pernah menjadi tokoh kunci dalam perjuangan diplomasi Indonesia di PBB pada era 1940-an. 

Dino menekankan bahwa pidato Kepala Negara menghadirkan kesinambungan tradisi keluarga pejuang diplomasi yang sejak awal menegaskan Indonesia sebagai bangsa yang aktif memperkokoh multilateralisme. Menurutnya, kehadiran Presiden di forum tersebut membawa angin segar di tengah merosotnya semangat kerja sama global.

Pidato bersejarah itu semakin bermakna karena Prabowo berbicara pada urutan ketiga, setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat. Posisi strategis tersebut menjadikan pesan Indonesia mendapat perhatian penuh dunia internasional ketika forum masih padat dihadiri pemimpin global. 

Dalam momen tersebut, Presiden juga menyinggung isu Palestina dengan tegas, mengingat tragedi kemanusiaan di Gaza terus menjadi luka panjang bagi komunitas internasional. Dengan mengedepankan prinsip keadilan dan solusi dua negara, Indonesia kembali menunjukkan konsistensi sikapnya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina.

Kepala Negara menyerukan pengakhiran kekerasan di Palestina dan mengecam keras kekerasan terhadap warga sipil. Menurutnya, dengan mengakhiri seluruh tragedi kemanusiaan tersebut, maka sejatinya bukan hanya bagi Palestina, namun juga tentang masa depan Israel dan kredibilitas PBB sendiri.

Oleh karena itu, menurut Presiden Prabowo hanya solusi dua negara yang bisa membawa perdamaian akan konflik tersebut bagi seluruh pihak. Bahkan Kepala Negara juga mengajak seluruh negara lain untuk turut ikut bergerak aktif menyuarakan perdamaian.

Lebih dari sekadar isu politik global, Prabowo juga menyinggung dimensi ekonomi internasional yang sarat ketidakadilan. Tantangan global seperti krisis pangan, energi, serta ketidaksetaraan ekonomi antarnegara menjadi sorotan penting. 

Pandangan tersebut sejalan dengan harapan banyak kalangan bahwa Indonesia harus menjadi jembatan antara negara maju dan negara berkembang, sekaligus memperkuat solidaritas Global South.

Kehadiran Prabowo di forum PBB tersebut menandai titik balik diplomasi Indonesia setelah satu dekade Presiden sebelumnya absen secara langsung. Tidak sedikit kalangan yang membandingkan momentum ini dengan pidato Presiden Soekarno pada 1960 yang menjadi tonggak sejarah diplomasi Indonesia. 

Bagi Indonesia, momen tersebut mempertegas peran sebagai bangsa besar yang tidak hanya fokus pada kepentingan nasional, tetapi juga mendorong lahirnya tata kelola global yang lebih adil.

Pesan inklusivitas yang ditekankan dalam pidato Prabowo sejalan dengan semangat Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Semangat Bandung, yang mempromosikan solidaritas negara-negara Selatan untuk melawan dominasi kekuatan besar, kini kembali digaungkan di panggung PBB. 

Dengan begitu, kehadiran Indonesia tidak sekadar menjadi simbol kehadiran formal, melainkan strategi nyata untuk memastikan suara negara berkembang mendapat tempat yang semestinya dalam tata kelola global.

Sidang Umum PBB ke-80 menjadi saksi bagaimana Indonesia, melalui Presiden Prabowo, menegaskan kembali peran aktifnya dalam menjaga perdamaian dunia, memperjuangkan keadilan, dan memperkokoh solidaritas global. 

Di tengah krisis multilateralisme, pesan yang disampaikan Prabowo menjadi pengingat bahwa diplomasi inklusif adalah jalan terbaik untuk memastikan keberlanjutan dunia yang damai, adil, dan setara.

Melalui pidato bersejarah tersebut, Indonesia mengukuhkan kembali posisinya sebagai pemimpin Global South. Presiden Prabowo tidak hanya menyoroti masalah, tetapi juga menawarkan semangat optimisme yang relevan dengan harapan banyak negara berkembang. 

Forum tertinggi diplomasi dunia itu akhirnya menjadi panggung nyata bagi Indonesia untuk menegaskan kembali komitmen terhadap inklusivitas, multilateralisme, serta perjuangan abadi bagi keadilan global. (*)

)* Penulis adalah pengamat hubungan internasional