Oleh: Alexander Royce*)
Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan penuh optimisme, berkat percepatan program hilirisasi terpadu melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Di bawah mandat Presiden Prabowo Subianto dan kepemimpinan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, pemerintah menegaskan tekadnya untuk memaksimalkan nilai tambah SDA sekaligus membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Salah satu tonggak penting adalah penetapan 18 proyek hilirisasi prioritas senilai total US$38,63 miliar atau sekitar Rp618,13 triliun yang sedang dikaji melalui pra studi kelayakan (pra‐FS) oleh Danantara. Proyek-proyek ini mencakup beragam sektor, seperti mineral dan batu bara, transisi energi, ketahanan energi, kelautan dan perikanan, serta pertanian.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Ahmad Erani Yustika, menyatakan bahwa dokumen pra‐FS dari 18 proyek tersebut telah diserahkan kepada Danantara dan ditargetkan selesai akhir tahun 2025. Pengerjaan dilakukan secara bertahap dengan kepastian percepatan sehingga setiap proyek siap dieksekusi segera setelah studi rampung.
Di antara proyek‐proyek itu, project dimethyl ether (DME) dari batu bara menjadi prioritas strategis. Pemerintah melihat peluang besar untuk menjadikannya sebagai substitusi impor LPG dan gas, sehingga kebutuhan energi domestik bisa lebih mandiri dan risiko ketergantungan terhadap impor bisa diminimalkan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa dengan proyek‐proyek ini, manfaatnya tidak hanya berupa output fisik atau nilai ekspor, tetapi juga penciptaan nilai tambah dan lapangan kerja. Ia menyebut bahwa penyusunan prastudi telah dilakukan sebagaimana amanat keputusan presiden dan bahwa Danantara akan segera menentukan skema pendanaan dan prioritas pelaksanaan.
Presiden Prabowo Subianto turut memberikan visi yang jelas: hilirisasi SDA bukan hanya untuk memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga sebagai instrumen untuk keadilan ekonomi dan pemerataan. Dalam pembahasan RUU APBN 2026 dan sidang bersama parlemen, ia menekankan bahwa proyek‐proyek hilirisasi yang telah dirancang akan dipercepat, dan nilainya harus tetap dinikmati di dalam negeri.
Salah satu proyek konkret yang mendapat sorotan adalah projek hilirisasi Asphal Buton, dengan nilai investasi Rp1,49 triliun dan potensi penyerapan ribuan tenaga kerja di Sulawesi Tenggara. Proyek ini menjadi simbol upaya memanfaatkan SDA lokal untuk menggantikan impor dan memperkuat kedaulatan material.
Dari sisi ekonomi wilayah, proyek-proyek seperti smelter aluminium di Kalimantan Barat, HPAL nikel, industri stainless steel, industri copper rod serta proyek-proyek pertanian dan kelautan seperti oleoresin dan fillet tilapia, membuka peluang ekonomi bagi daerah-daerah yang selama ini kurang tersentuh investor besar. Data menunjukkan potensi penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung untuk keseluruhan proyek bergerak di kisaran 276.636 orang, yang berarti dampak sosial ekonomi lokal akan terasa nyata.
Secara kelembagaan, pembentukan Danantara sebagai badan pengelola investasi menjadikan pemerintah pusat memiliki instrumen strategis untuk menyederhanakan proses investasi, mempercepat perizinan, dan menyediakan dukungan fiskal serta kebijakan yang diperlukan agar proyek‐proyek ini dapat berjalan. Kehadiran investor global seperti GEM, dan jalinan kerja sama internasional dalam energi hijau juga turut memperkuat basis teknologi dan akses modal.
Tantangan teknis dan infrastruktur memang ada, namun pemerintah telah menyiapkan solusi komprehensif melalui regulasi, koordinasi lintas lembaga, dan dukungan fiskal. Tetapi pemerintah secara konsisten menyatakan bahwa tiap proyek akan melalui studi kelayakan menyeluruh, termasuk aspek lingkungan hidup dan sosial, agar pelaksanaan tidak merugikan masyarakat.
Dalam situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, dengan fluktuasi harga komoditas dan tekanan inflasi serta tantangan rantai pasok, strategi hilirisasi energi terpadu ini menjadi pilihan yang tepat. Dengan memperkuat daya saing produk dalam negeri, mengurangi ketergantungan atas impor energi dan bahan baku, Indonesia dapat menegaskan posisi tawar dalam perdagangan internasional sekaligus melindungi ekonomi domestik.
Selain itu, hilirisasi berjalan seiring dengan agenda transisi energi yang berfokus pada keberlanjutan. Dengan hadirnya proyek energi terbarukan yang kian berkembang pesat, pemerintah menegaskan komitmen ganda untuk menjaga ketahanan energi nasional dan mengurangi emisi karbon secara bertahap. Perpaduan antara industrialisasi berkelanjutan dan kebijakan ramah lingkungan menjadikan strategi hilirisasi Danantara semakin kuat serta relevan di tengah tantangan perubahan iklim global saat ini.
Indonesia saat ini menyaksikan transformasi structural yang nyata dari sekadar negara pengirim bahan mentah menjadi produsen barang bernilai tinggi dan berdaya saing kuat. Perubahan besar ini sekaligus menandai pergeseran dari ketergantungan pada impor menuju kemandirian yang semakin dihargai oleh masyarakat luas.
Dengan kemauan politik yang kuat, dukungan regulasi, dan konsistensi pelaksanaan, langkah‐langkah Danantara di bawah arahan Presiden Prabowo dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membuka harapan nyata bahwa SDA Indonesia tidak lagi hanya menjadi komoditas ekspor, melainkan fondasi bagi kemandirian, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Pemerintah telah mengukir arah yang jelas; sekarang waktunya untuk menunaikan janji. Jumlahkan semua potensi, Indonesia siap melesat.
*) Penulis merupakan Pengamat Sosial