Oleh : Zaki Walad )*
Presiden Prabowo Subianto bertolak dari Osaka, Jepang, menuju New York, Amerika Serikat, menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80. Keberangkatan tersebut menandai langkah diplomasi penting yang memperlihatkan kesiapan Indonesia menyuarakan perdamaian dunia di forum internasional.
Sebagai salah satu negara besar di Asia Tenggara dan pemimpin Global South, Indonesia memanfaatkan momentum itu untuk menegaskan komitmen pada multilateralisme yang adil dan inklusif.
Pesawat Garuda Indonesia-1 yang membawa Kepala Negara berangkat dari Bandara Internasional Kansai, Osaka, sekitar pukul 16.15 waktu setempat. Pelepasan resmi dihadiri sejumlah pejabat Jepang seperti Keiichi Ichikawa, Yasushi Misawa, serta perwakilan diplomatik Indonesia, antara lain Maria Renata Hutagalung, John Tjahjanto Boestami, dan Laksmana TNI Hidayaturrahman.
Menurut Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, salah satu agenda utama dari Presiden di New York adalah untuk menyampaikan pidato pada sesi debat umum Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September 2025.
Posisi berbicara pada urutan ketiga setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat memperlihatkan bagaimana besarnya pengakuan dunia atas peran strategis Indonesia. Teddy menekankan bahwa forum tersebut sangat penting, karena membuka kesempatan bagi Indonesia untuk kembali tampil di panggung tertinggi diplomasi dunia setelah lebih dari satu dekade.
Kehadiran langsung Presiden pada sidang itu menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin negara-negara berkembang yang konsisten memperjuangkan reformasi tata kelola global agar lebih setara dan berkeadilan.
Selain agenda utama, Presiden Prabowo juga dijadwalkan menggelar pertemuan bilateral dengan sejumlah pemimpin dunia. Pertemuan tersebut dipandang krusial dalam memperkuat kerja sama internasional, baik di bidang politik, ekonomi, maupun keamanan.
Setelah New York, Presiden akan melanjutkan kunjungan resmi ke Kanada dan Belanda. Teddy menyebut perjalanan itu bukan sekadar kunjungan seremonial, melainkan misi diplomasi yang membawa manfaat langsung bagi kepentingan nasional.
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, memandang kehadiran Prabowo di forum PBB sebagai kelanjutan dari tradisi diplomasi keluarga. Ia menekankan bahwa ayah Presiden, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada 1948–1949, masa penting ketika Indonesia berjuang meneguhkan kedaulatan di hadapan dunia internasional.
Salah satu langkah monumental Sumitro kala itu adalah pengiriman memorandum yang dimuat The New York Times, mengecam agresi Belanda dan menyerukan peran PBB dalam menjaga ketertiban dunia. Upaya diplomasi tersebut berhasil membangun solidaritas negara-negara Asia hingga akhirnya membuka jalan bagi pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar 1949.
Menurut Dino, kiprah Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80 memberi angin segar bagi multilateralisme yang kini menghadapi tantangan serius akibat rivalitas geopolitik. Kehadiran Presiden di forum itu menunjukkan bahwa Indonesia tetap konsisten mendorong kerja sama internasional, bukan hanya demi kepentingan nasional, tetapi juga demi stabilitas global. Dino melihat, pidato Prabowo akan mempertegas peran Indonesia sebagai kekuatan moral yang mendukung perdamaian, keadilan, dan tata dunia yang lebih setara.
Tenaga Ahli Badan Komunikasi Pemerintah, Hamdan Hamedan, menilai pidato Presiden di PBB memiliki makna strategis yang besar. Dengan berbicara pada urutan ketiga, pesan yang disampaikan Prabowo akan membentuk nada utama dalam debat umum yang dihadiri seluruh pemimpin dunia.
Hamdan menegaskan, setelah 10 tahun absen, kembalinya Presiden Indonesia pada panggung tertinggi diplomasi dunia menunjukkan tekad untuk memulihkan dan memperkuat posisi bangsa sebagai aktor utama dalam percaturan global.
Hamdan menambahkan bahwa momentum tersebut menegaskan kebesaran Indonesia yang bukan hanya diukur dari skala populasi atau ekonomi, tetapi juga dari kontribusi terhadap perdamaian dunia.
Menurutnya, pidato Prabowo akan menjadi titik balik penting yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak sekadar hadir, melainkan aktif menawarkan solusi diplomatik untuk menghadapi tantangan global.
Tema Sidang Umum PBB tahun ini, “Better Together, Eight Years and More for Peace, Development and Human Rights”, menjadi relevan dengan visi Presiden Prabowo yang menempatkan perdamaian sebagai fondasi kemakmuran.
Dalam berbagai kesempatan, Kepala Negara selalu menegaskan pentingnya kerja sama, kolaborasi, dan persahabatan antarbangsa. Jalur damai dipandang sebagai pilihan strategis yang bukan hanya etis, tetapi juga rasional dalam menjamin keberlanjutan pembangunan.
Diplomasi Indonesia melalui forum PBB di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto membawa pesan kuat. Pertama, Indonesia hadir sebagai suara negara berkembang yang menuntut reformasi tata kelola global agar lebih inklusif.
Kedua, Indonesia menunjukkan konsistensi dalam memperjuangkan isu Palestina dan penyelesaian konflik dunia melalui jalur damai. Ketiga, Indonesia menegaskan kepentingannya untuk memperkuat kerja sama internasional yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.
Keberangkatan Presiden Prabowo dari Osaka menuju New York bukan hanya perjalanan protokoler, melainkan simbol kebangkitan diplomasi Indonesia di panggung dunia. Forum PBB memberikan ruang bagi Indonesia untuk menyuarakan perdamaian dan membuktikan bahwa bangsa ini tetap relevan dalam menghadapi dinamika global.
Pidato Presiden pada Sidang Umum PBB ke-80 diharapkan menjadi tonggak sejarah baru yang menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai bangsa besar dengan komitmen kuat terhadap perdamaian dan keadilan internasional. (*)
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute