Oleh: Dhita Karuniawati )*
Upaya pemerintah dalam merespons dinamika sosial, politik, dan ekonomi terus dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu langkah nyata yang kini menjadi sorotan adalah fokus pemerintah pada agenda pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan ini tidakhanya berfungsi sebagai strategi untuk memperkuat daya tahan ekonomi pasca-pandemi dan tekanan global, tetapi juga sebagai jawaban atas aspirasi masyarakat yang terangkum dalam 17+8 butir tuntutan. Aspirasi tersebut mencerminkan kebutuhan rakyat akan kesejahteraan yang lebih merata, stabilitas ekonomi, serta jaminan keberlanjutan pembangunan.
Pemerintah menyadari bahwa tekanan eksternal, mulai dari perlambatan ekonomi global, fluktuasi harga energi, hingga dinamika geopolitik, dapat berdampak langsung pada perekonomian nasional. Oleh karena itu, strategi pemulihan ekonomi ditempatkan sebagai prioritas utama. Program stimulus fiskal, penguatan investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, serta dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi motor penggerak utama.
Selain itu, pemerintah juga memaksimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung program-program pro-rakyat. Subsidi tepat sasaran, bantuan sosial, hingga insentif bagi sektor produktif dijalankan agar masyarakat tidak hanya sekadar bertahan, tetapi juga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Upaya ini sejalan dengan aspirasi masyarakat dalam 17+8 yang menekankan pentingnya pemerataan kesejahteraan.
Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terbaru. Selain itu, suku bunga Deposit Facility dipangkas lebih dalam, yakni 50 basis poin ke level 3,75 persen, dan Lending Facility ke 5,50 persen. Langkah ini dipandang sejumlah ekonom sebagai kebijakan terarah untuk mempercepat pemulihan ekonomi di tengah lemahnya permintaan domestik dan melambatnya perekonomian global.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan keputusan BI bukan sekadar sinyal, melainkan strategi komprehensif untuk menurunkan biaya dana perbankan sekaligus memperlancar transmisi ke sektor riil. Rancangan kebijakan tersebut membuat dana tidak betah diparkir di BI, sehingga bank terdorong menurunkan bunga deposito dan kredit. Kondisi ini diharapkan mampu mendorong penyaluran pembiayaan yang selama ini belum bergerak sesuai harapan.
Josua menilai pemangkasan suku bunga sebesar 125 bps (1,25 persen) sepanjang tahun ini masih dalam batas aman karena didukung inflasi rendah dan stabilitas rupiah. Dari sisi domestik, inflasi IHK tercatat 2,31 persen dan inflasi inti 2,17 persen, tetap dalam sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen. Stabilitas rupiah juga terjaga berkat cadangan devisa besar serta intervensi BI di pasar valas. Dari eksternal, Josua menilai neraca pembayaran Indonesia masih terjaga dengan defisit transaksi berjalan rendah, cadangan devisa memadai, dan arus modal asing yang masuk ke SBN.
Sementara itu, optimisme juga datang dari Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto. Ia menilai kombinasi kebijakan moneter dan stimulus fiskal pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kuat.
Myrdal melihat masih ada ruang penurunan suku bunga acuan BI sekitar 25 basis poin, terutama jika tren penurunan suku bunga global berlanjut. Ia memperkirakan nilai tukar rupiah akan tetap stabil di sekitar Rp 15.970 per dolar AS pada akhir 2025.
Keputusan Bank Indonesia (BI) memangkas BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% juga dinilai sebagai langkah strategis yang menyelaraskan kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal pemerintah. Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan konsistensi ini menciptakan pondasi baru untuk pemulihan permintaan domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini pemangkasan keenam sejak siklus pelonggaran dimulai pada September 2024, sinyal konsisten bahwa otoritas moneter memilih menstimulasi permintaan saat inflasi terjaga
Syafruddin menambahkan, dari domestik pasar fokus pada kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank BUMN untuk memperkuat likuiditas dan mendorong kredit sektor riil yang diproyeksikan memberi katalis positif bagi sektor perbankan.
Syafruddin juga menjelaskan kebijakan moneter BI yang menurunkan suku bunga akan mengurangi biaya dana bagi perbankan. Sementara kebijakan fiskal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memindahkan dana Rp200 triliun ke bank Himbara memastikan likuiditas benar-benar masuk ke sistem perbankan. Jika perbankan merespons dengan menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), maka biaya pinjaman bagi dunia usaha dan rumah tangga akan ikut turun. Hal ini akan memicu peningkatan konsumsi dan investasi, yang pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dengan orkestrasi yang rapi antara kebijakan moneter dan fiskal, Syafruddin optimistis Indonesia memiliki kesempatan langka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa aspirasi rakyat yang terangkum dalam 17+8 bukan sekadar masukan, melainkan pedoman untuk menyusun arah kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat. Presiden dan jajaran kementerian menekankan pentingnya mendengar suara rakyat sebagai bagian dari demokrasi. Dengan mengoptimalkan pemulihan ekonomi, pemerintah berupaya memberikan jawaban konkret bahwa aspirasi rakyat tidak diabaikan, melainkan dijadikan pijakan dalam setiap langkah kebijakan.
Optimasi pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah adalah bukti nyata respon terhadap aspirasi 17+8 yang disuarakan rakyat. Melalui kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan, inovasi sektor ekonomi, penguatan UMKM, serta menjaga stabilitas nasional, pemerintah berkomitmen menghadirkan pembangunan yang lebih merata. Dengan sinergi seluruh pihak, Indonesia diharapkan mampu melewati tantangan global dan menjelma sebagai negara yang lebih sejahtera, adil, dan berdaya saing tinggi. Aspirasi rakyat dijadikan landasan, sementara kebijakan yang dijalankan menjadi bukti nyata bahwa pemerintah dan rakyat berjalan bersama menuju Indonesia yang lebih kuat.
*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia