Oleh: Citra Kurnia Khudori)*
Kebijakan efisiensi anggaran negara untuk tahun 2026 menjadi salah satu pijakan penting pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam mengarahkan pembangunan nasional. Pemerintah menyadari bahwa kondisi global yang penuh ketidakpastian, mulai dari perlambatan ekonomi dunia, kenaikan harga energi, hingga dinamika geopolitik, menuntut pengelolaan fiskal yang lebih hati-hati, adaptif, sekaligus produktif.
Efisiensi menjadi strategi menyeluruh untuk memastikan anggaran membawa dampak nyata bagi masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan efisiensi anggaran 2026 membutuhkan sinergi bukan hanya antara kementerian dan lembaga, tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat serta dukungan dunia usaha.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada pertengahan Agustus 2025 menekankan bahwa anggaran negara harus dikelola dengan disiplin untuk mencapai kesejahteraan rakyat secara merata. Ia menegaskan pentingnya keberanian melakukan reformasi dalam belanja negara, termasuk memangkas belanja yang tidak produktif dan mengalihkannya pada program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan pangan, serta infrastruktur dasar.
Dana yang dialihkan pada program prioritas tersebut, menurut Presiden Prabowo, manfaatnya dapat dirasakan langsung pada peningkatan kualitas hidup rakyat, seperti peningkatan kesejahteraan, terciptanya lapangan kerja, dan kualitas SDM yang membaik. Pernyataan ini menegaskan arah kebijakan pemerintah yang ingin menekan potensi pemborosan, sembari memperbesar ruang untuk kebutuhan yang esensial dan mendesak.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara konsisten menekankan keberlanjutan strategi efisiensi. Purbaya menegaskan bahwa efisiensi bukan berarti memangkas secara membabi buta, melainkan melakukan seleksi ketat terhadap belanja yang dianggap memiliki minim dampak terhadap kesejahteraan publik.
Dengan kata lain, efisiensi diarahkan pada pemangkasan belanja non-prioritas seperti perjalanan dinas, rapat, sewa gedung, dan berbagai pos seremonial, sementara dana yang dihemat dialihkan untuk mendanai program padat karya, bantuan sosial, serta penguatan riset dan teknologi.
Namun, efisiensi anggaran tidak dapat hanya mengandalkan keputusan pemerintah. Dibutuhkan keterlibatan masyarakat untuk memastikan program-program yang digulirkan sesuai kebutuhan riil di lapangan dan dilaksanakan dengan akuntabel.
Akademisi ekonomi dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menegaskan bahwa efisiensi akan efektif jika disertai transparansi dan partisipasi publik dalam pengawasan. Partisipasi publik adalah kunci agar dana-dana yang dialihkan tersebut tepat sasaran. Pandangan ini penting karena dapat membuka perspektif bahwa efisiensi tidak boleh berhenti pada tataran birokrasi, tetapi harus diikuti mekanisme akuntabilitas antara pemerintah dengan masyarakat.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah menargetkan belanja negara sebesar sekitar Rp3.600 triliun dengan defisit terkendali pada kisaran 2,3 persen PDB. Untuk mencapai target tersebut, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 56/2025 yang memuat pemangkasan belanja rutin hingga 15 jenis pos, dari perjalanan dinas hingga biaya konsultan.
Strategi itu diperkirakan dapat menghemat ratusan triliun rupiah, dana yang kemudian dialokasikan kembali untuk memperkuat sektor produktif. Data Kementerian Keuangan bahkan menunjukkan bahwa kebijakan serupa pada periode sebelumnya berhasil menekan potensi pemborosan hingga Rp306 triliun. Angka ini menjadi bukti konkret bahwa efisiensi telah membawa hasil.
Partisipasi publik dalam efisiensi anggaran dapat diwujudkan melalui berbagai mekanisme, mulai dari pelibatan masyarakat sipil dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan, hingga pemanfaatan aplikasi digital yang menyediakan akses informasi terkait realisasi anggaran. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga turut memastikan bahwa kebijakan berjalan sesuai tujuan.
Pandangan Fithra mengenai keterlibatan publik memperlihatkan pentingnya demokratisasi dalam tata kelola anggaran, sebuah pendekatan yang semakin relevan di era digitalisasi pemerintahan.
Selain itu, efisiensi juga memiliki dimensi jangka panjang dalam mendorong produktivitas. Anggaran yang dihemat melalui pemangkasan belanja rutin bisa dialihkan untuk mendanai inovasi teknologi, pendidikan vokasi, serta program ketahanan pangan.
Program-program tersebut akan memperkuat daya saing nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor. Dengan basis fiskal yang sehat, pemerintah memiliki ruang lebih luas untuk mendanai kebijakan strategis tanpa membebani generasi mendatang dengan utang berlebihan.
Pada akhirnya, efisiensi anggaran 2026 tidak dapat dipandang semata sebagai proyek pemerintah. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci sukses kebijakan ini karena kedua pihak saling bersinergi untuk memastikan efisiensi benar-benar efektif sehingga efisiensi anggaran merupakan kerja kolektif, bukan sekedar Keputusan elit.
Jika dijalankan secara konsisten, efisiensi anggaran akan menghasilkan manfaat yang luas: birokrasi yang lebih ramping, belanja yang lebih tepat sasaran, pelayanan publik yang lebih baik, serta perekonomian yang lebih produktif. Masyarakat akan merasakan hasilnya melalui peningkatan akses pendidikan, layanan kesehatan yang lebih terjangkau, pembangunan infrastruktur yang merata, dan terciptanya lapangan kerja baru.
Dengan sinergi yang terjaga, efisiensi bukan sekadar penghematan, melainkan transformasi menuju tata kelola anggaran yang lebih adil, produktif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
)* Penulis merupakan Pemerhati Isu Sosial-Ekonomi