Oleh: Citra Kurnia Khudori)*
Efisiensi anggaran telah menjadi kata kunci dalam arah kebijakan fiskal Indonesia menjelang tahun 2026. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa anggaran negara bukan hanya instrumen pengeluaran, melainkan alat strategis untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Transformasi dari sekadar efisiensi menuju inovasi dalam pengelolaan anggaran diharapkan mampu menekan pemborosan, meningkatkan produktivitas, serta menciptakan fondasi pembangunan berkelanjutan. Dalam siaran pers resmi, Presiden Prabowo menegaskan bahwa APBN 2026 dirancang dengan prinsip efisiensi, transparansi, dan tepat sasaran.
Menurutnya, belanja negara harus diarahkan pada sektor-sektor yang mampu memberi nilai tambah besar bagi masyarakat. Dengan belanja negara sebesar Rp3.786,5 triliun, pemerintah memastikan bahwa setiap rupiah digunakan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.
Pernyataan ini mencerminkan tekad pemerintah untuk keluar dari pola lama penganggaran yang kerap terjebak dalam birokrasi panjang dan penggunaan dana yang tidak produktif. Dengan menekankan efisiensi, pemerintah berupaya memastikan bahwa APBN benar-benar dirasakan masyarakat, baik dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, maupun program jaring pengaman sosial.
Langkah Presiden Prabowo sejalan dengan kebijakan Kementerian Keuangan yang menegaskan pentingnya keberlanjutan efisiensi. Kebijakan tersebut terbukti mendorong transformasi anggaran di sejumlah Kementerian/Lembaga.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara telah menegaskan keberlanjutan kebijakan efisiensi anggaran di 2026 dalam internal instansi. Salah satu yang dilakukan adalah dengan pengendalian biaya belanja birokrasi.
Di tahun 2026, Kemenkeu akan melanjutkan kebijakan efisiensi anggaran dan perluasan strategi efisiensi termasuk dalam konteks pelaksanaan kolaborasi kegiatan, kemudian perluasan implementasi standardisasi biaya, pengendalian biaya belanja birokrasi, juga perluasan kantor-kantor layanan Bersama Kemenkeu di seluruh Indonesia.
Penghematan anggaran tersebut, salah satunya dilaksanakan dari sisi sumber daya manusia (SDM) dengan mengurangi biaya belanja pegawai. Kebijakan-kebijakan SDM juga termasuk memenuhi pegawai baru secara selektif, peningkatan kompetensi pegawai, serta pembangunan digital workplace untuk pegawai. Strategi ini tidak hanya menekan biaya, tetapi juga mendorong aparatur sipil negara untuk bekerja lebih efisien dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Efisiensi anggaran terbukti memberi dampak signifikan. Menurut data Kementerian Keuangan, hingga tahun 2024 kebijakan ini telah berhasil menekan potensi pemborosan belanja negara sebesar Rp306 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa langkah efisiensi bukan sekadar jargon, melainkan terbukti nyata dalam menjaga kesehatan fiskal sekaligus memperkuat ruang fiskal untuk program prioritas nasional.
Dukungan terhadap kebijakan efisiensi anggaran juga datang dari kalangan akademisi. Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Jaharuddin menilai bahwa efisiensi bukan sekadar mengurangi anggaran, tetapi lebih pada penguatan daya saing ekonomi nasional.
Ia menjelaskan, efisiensi anggaran harus dilakukan dengan pendekatan yang strategis dan terarah. Jika dilakukan dengan benar, efisiensi ini dapat meningkatkan produktivitas nasional, menurunkan ICOR (Incremental Capital Output Ratio), serta memperkuat stabilitas fiskal dan daya saing ekonomi Indonesia.
Pandangan ini penting, karena menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi bisa menjadi jembatan menuju inovasi. Dengan ICOR yang lebih rendah, berarti setiap investasi pemerintah menghasilkan output ekonomi yang lebih tinggi. Efisiensi anggaran dengan demikian terbukti menciptakan ruang inovasi dalam pembangunan.
Transformasi anggaran dari efisiensi ke inovasi terlihat dalam sejumlah langkah strategis pemerintah. Digitalisasi sistem keuangan negara dan birokrasi mempercepat proses sekaligus menutup celah kebocoran. Program pembangunan kini diarahkan pada capaian kinerja, bukan semata serapan anggaran, sehingga efektivitas lebih mudah diukur.
Pemerintah memperluas penggunaan teknologi digital dalam pengelolaan anggaran, termasuk sistem monitoring real-time. Hal ini meningkatkan transparansi sekaligus menutup celah kebocoran. Program pembangunan diarahkan pada capaian kinerja, bukan sekadar serapan anggaran. Dengan pendekatan ini, efektivitas program dapat diukur lebih jelas.
Di samping itu, Pemerintah membuka ruang lebih luas bagi swasta untuk terlibat dalam proyek pembangunan dengan pola pembiayaan kreatif. Hal ini diharapkan mempercepat pencapaian target pembangunan tanpa membebani APBN.
Dana hasil efisiensi diprioritaskan pada sektor yang mendukung pertumbuhan jangka panjang: pendidikan, kesehatan, riset, dan teknologi. Pemerintah juga meningkatkan pengawasan terhadap implementasi kebijakan efisiensi.
Jika transformasi ini berjalan sesuai rencana, ada beberapa dampak positif yang diharapkan muncul oleh pemerintahan Prabowo, antara lain pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya saing, peningkatan kepercayaan publik, dan stabilitas fiskal.
Efisiensi belanja memungkinkan pemerintah mengarahkan anggaran ke sektor produktif yang memberi multiplier effect tinggi. Investasi pada pendidikan, kesehatan, dan riset akan memperkuat sumber daya manusia Indonesia sehingga mampu bersaing di era globalisasi.
Transparansi dan tepat sasaran dalam penggunaan anggaran dapat memperkuat legitimasi pemerintah. Efisiensi membantu menjaga defisit dan utang pemerintah tetap terkendali, sehingga memberikan ruang fiskal untuk kebijakan jangka panjang.
Dengan langkah-langkah tersebut, efisiensi anggaran bukan lagi dilihat sebagai sekadar pemangkasan, melainkan sebagai fondasi lahirnya inovasi dalam pembangunan.
)* Penulis merupakan Pemerhati Isu Sosial-Ekonomi