Oleh: Fitra Rizal)*
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan dalam pidato kenegaraan pertamanya sejak dilantik sebagai Kepala Negara pada sidang MPR/DPR Jumat 15 Agustus 2025. Dari balik mimbar, ia menyampaikan kabar yang sejak lama ditunggu jutaan keluarga miskin: seratus Sekolah Rakyat telah berdiri dalam 299 hari pemerintahannya.
Langkah tersebut bukan sekadar pencapaian administratif. Kehadiran Sekolah Rakyat menjadi simbol bahwa negara hadir di tengah keluarga paling rentan dengan solusi nyata. Prabowo menekankan bahwa Sekolah Rakyat dirancang bukan hanya untuk memberikan akses belajar, tetapi juga menciptakan lingkungan tumbuh kembang yang layak.
Setiap siswa berhak atas kasur, selimut, meja belajar, hingga komputer pribadi. Pesan yang ditegaskan sangat jelas: anak dari keluarga miskin pantas memperoleh kesempatan pendidikan dengan standar bermartabat.
Target yang dipatok pemerintah menggambarkan ambisi besar. Pada tahun depan, jumlah Sekolah Rakyat akan digandakan menjadi dua ratus, lalu ditingkatkan lagi menjadi tiga ratus dalam dua tahun mendatang.
Skala ekspansi tersebut menunjukkan tekad menjadikan pendidikan sebagai tangga sosial, agar anak-anak dari rumah tangga miskin tidak lagi terperangkap dalam lingkar kemiskinan yang diwariskan lintas generasi.
Sistem penerimaan siswa pun tidak sembarangan. Mereka dipilih melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang memuat kelompok masyarakat dengan desil 1 dan desil 2, yakni rumah tangga miskin ekstrem dan miskin.
Artinya, Sekolah Rakyat benar-benar ditujukan bagi 20 persen warga Indonesia dengan kondisi ekonomi paling tertekan. Melalui seleksi berbasis data, program tersebut memastikan ketepatan sasaran sehingga manfaatnya dirasakan langsung oleh mereka yang membutuhkan.
Presiden menekankan bahwa Sekolah Rakyat bukan hanya pembangunan gedung, melainkan proyek transformasi sosial. Siswa memperoleh pendidikan formal berasrama, sementara keluarganya didukung melalui renovasi rumah tidak layak huni dan bantuan sosial.
Setelah menamatkan sekolah, diharapkan mereka graduate dari jerat kemiskinan. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan bukan semata proses akademik, melainkan instrumen pembebasan sosial-ekonomi.
Landasan program ini kuat secara konstitusional. Implementasi Sekolah Rakyat merupakan bagian dari Asta Cita keempat, menjadikan pendidikan sebagai kunci pembebasan sosial. Dasarnya berpijak pada Pasal 28C dan Pasal 31 UUD 1945 serta UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kerangka hukum tersebut, Sekolah Rakyat bukan sebagai eksperimen, melainkan kebijakan negara yang sahih dan strategis.
Peneliti vokasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, melihat peluang besar program ini dalam menekan angka putus sekolah yang masih jutaan jumlahnya. Berdasarkan data UNICEF, anak dari rumah tangga miskin memiliki risiko dua hingga tiga kali lebih tinggi untuk tidak bersekolah dibandingkan kelompok menengah.
Senada dengan itu, BPS mencatat ada lebih dari 4,16 juta anak di Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan. Devie menilai, fokus Sekolah Rakyat pada anak dari desil 1 dan desil 2 tepat sasaran karena mengisi celah akses pendidikan yang selama ini menjadi batu sandungan keluarga miskin.
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf memastikan bahwa 100 Sekolah Rakyat tahap pertama untuk jenjang SD hingga SMA telah beroperasi dengan total sebanyak 9.700 siswa. Pada September mendatang, pemerintah menargetkan tambahan 60 sekolah baru sehingga jumlah penerima manfaat mencapai 16 ribu anak.
Kementerian Sosial bersama kementerian dan lembaga lain terus mengonsolidasikan sarana serta prasarana agar operasional sekolah dapat berjalan dengan lebih optimal. Fasilitas yang disiapkan oleh pemerintah, yakni meliputi ruang belajar, asrama, perlengkapan pendidikan, hingga dukungan teknologi berupa laptop.
Pemerintah pun mengalokasikan anggaran pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. APBN 2026 mengamanatkan anggaran hingga senilai Rp757,8 triliun atau 20 persen dari total belanja negara untuk sektor pendidikan, termasuk bagi pendanaan program Sekolah Rakyat.
Sebagai informasi, bahwa angka tersebut menjadi alokasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Besarnya komitmen fiskal ini menunjukkan bagaimana keseriusan negara dalam menempatkan sektor pendidikan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional.
Sekolah Rakyat jelas bukan hanya sekadar proyek pencitraan semata. Program tersebut sejatinya hadir sebagai jawaban yang konkret atas penantian sebanyak jutaan keluarga miskin yang selama puluhan tahun lamanya, terus terjebak dalam dilema biaya dan akses pendidikan.
Melalui desain berasrama, siswa tidak lagi terbebani ongkos transportasi atau keterbatasan fasilitas belajar di rumah. Mereka dididik dalam lingkungan yang terkontrol dan disiapkan menjadi generasi dengan kompetensi yang relevan bagi masa depan.
Dalam jangka panjang, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi penentu arah baru pembangunan manusia Indonesia. Pendidikan berkualitas yang diberikan pada anak-anak keluarga miskin akan memutus rantai ketidaksetaraan sosial sekaligus memperbesar peluang tercapainya Indonesia Emas 2045.
Program tersebut ibarat mercusuar harapan di tengah gelombang ketidakpastian. Ketika akses pendidikan bermutu dijamin negara, maka jalan keluar dari kemiskinan terbuka lebar. Jutaan keluarga miskin tidak lagi sekadar bermimpi, melainkan memiliki keyakinan bahwa anak-anak mereka dapat menapaki tangga sosial menuju masa depan yang lebih layak.
Sekolah Rakyat telah menjawab penantian panjang. Kini, tantangannya adalah menjaga konsistensi, memastikan kualitas, dan memperluas jangkauan agar setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, benar-benar memiliki kesempatan yang setara untuk meraih masa depan. (*)
)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik