Oleh: Alexander Royce*)
Kehidupan politik dan sosial Indonesia saat ini sedang menghadapi ujian melalui tuntutan rakyat yang disuarakan lewat gerakan 17+8. Gerakan tersebut berisi 17 tuntutan jangka pendek serta 8 tuntutan jangka panjang, yang mencerminkan aspirasi kuat agar pemerintah dan lembaga negara segera memberikan jawaban atas kebutuhan hukum, keadilan, serta kesejahteraan masyarakat. Pemerintah bersama DPR menunjukkan respons nyata yang tidak hanya berupa retorika, melainkan diwujudkan dalam langkah-langkah konkret yang mengedepankan perlindungan hukum, keadilan sosial, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat banyak.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjadi figur sentral dalam menanggapi tuntutan yang berkaitan dengan sektor ekonomi serta ketenagakerjaan. Dalam pernyataannya kepada publik, ia menegaskan bahwa pemerintah memberikan prioritas pada sejumlah isu penting yang termuat dalam gerakan 17+8, meliputi pemenuhan upah yang layak, pencegahan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal, serta penguatan dialog yang berkesinambungan dengan serikat buruh dan perwakilan pekerja.
Airlangga menegaskan bahwa regulasi sudah dipersiapkan untuk mencegah PHK massal. Ia menyebut bahwa beberapa industri, terutama di Pulau Jawa, bisa menyerap tambahan tenaga kerja lebih dari 100 ribu orang, jika regulasi dan insentif berjalan sesuai rencana. Untuk buruh kontrak, fasilitas perlindungan ketenagakerjaan tetap dijamin, termasuk kontrak dengan durasi satu tahun, agar tidak terjadi penyalahgunaan kontrak jangka pendek yang merugikan.
Mengenai upah minimum dan praktik outsourcing, Airlangga berjanji membuka ruang dialog intensif dengan serikat buruh. Kebijakan ini diharapkan menjadi jembatan untuk merumuskan solusi yang memenuhi kebutuhan para pekerja, khususnya buruh kontrak yang selama ini dianggap memiliki posisi tawar lebih lemah.
Di sisi lembaga legislatif, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menunjukkan respons proaktif terhadap tekanan publik yang termuat dalam 17+8. DPR, lewat keputusan rapat pimpinan bersama fraksi-fraksi, menyetujui enam poin penting sebagai jawaban atas tuntutan rakyat.
Salah satu langkah nyata adalah penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR per 31 Agustus 2025. Dengan dihapuskannya fasilitas ini, gaji dan tunjangan anggota DPR kini diklaim sekitar Rp65,5 juta per bulan, setelah pengurangan tersebut berlangsung. Moratorium atas kunjungan kerja ke luar negeri juga diberlakukan, kecuali untuk undangan kenegaraan, sebuah langkah untuk menghemat anggaran dan menyesuaikan tuntutan transparansi publik.
Selain itu, DPR akan memangkas fasilitas-fasilitas anggota seperti biaya listrik, telepon, komunikasi, dan transportasi, sekaligus memperkuat komitmen transparansi dan partisipasi publik dalam segala proses legislatif dan pengambilan kebijakan. Dasco juga menyatakan bahwa komponen-komponen tunjangan dan hal-hal lain terkait fasilitas akan dilampirkan dan diumumkan demi keterbukaan kepada masyarakat.
Berdasarkan pengamatan terhadap situasi terkini, terdapat sejumlah perkembangan yang semakin menegaskan bahwa pemerintah benar-benar bergerak untuk memperkuat perlindungan hukum bagi rakyat. Salah satu contohnya adalah penyediaan stimulus dan perlindungan sosial bagi pekerja dengan penghasilan di bawah Rp10 juta melalui PPh yang sepenuhnya ditanggung pemerintah, disertai penguatan program padat karya di berbagai sektor rentan, serta perluasan subsidi bagi kredit usaha rakyat yang semakin mudah diakses. Pemerintah juga terus menjaga stabilitas ekonomi makro dengan memastikan inflasi tetap terkendali dan nilai tukar rupiah berada dalam kondisi stabil sehingga terdapat ruang lebih luas bagi pelaksanaan program pengamanan sosial tanpa menimbulkan tekanan berlebihan terhadap keuangan negara.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Mekanisme pelaksanaan regulasi yang menjamin kepastian hukum bagi pekerja kontrak masih harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi eksploitasi atau sengketa buruh. Pelaksanaan moratorium fasilitas DPR dan penghapusan fasilitas-fasilitas anggota harus diikuti oleh audit dan laporan publik secara berkala agar tidak hanya menjadi janji sementara saja.
Di sisi lainnya, respons cepat DPR dan pemerintah terhadap tuntutan 17+8 juga memberikan contoh positif bahwa aspirasi publik bisa didengar dan dijawab oleh institusi negara secara nyata. Keputusan-keputusan seperti penghapusan tunjangan perumahan dan moratorium kunjungan kerja menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada angka dan peraturan, tetapi juga pada rasa keadilan yang dirasakan oleh rakyat.
Secara keseluruhan, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dan DPR saat ini mencerminkan komitmen perlindungan hukum yang nyata, bahwa perlindungan terhadap pekerja dan kepastian hukum bukanlah slogan semata, melainkan bagian dari kebijakan publik yang berarti. Bila pelaksanaan terus diperkuat, khususnya dalam dialog dengan serikat buruh, pengawasan terhadap fasilitas anggota DPR, dan pemberian jaminan sosial, maka harapan rakyat 17+8 akan terjawab lebih penuh.
Dengan demikian, respons pemerintah tidak hanya menjawab aspirasi 17+8, tetapi juga mempertegas bahwa di dalam situasi nasional yang penuh tantangan, pemerintah bertekad melindungi hak-hak warga, buruh, dan seluruh elemen masyarakat melalui komitmen hukum yang jelas dan tindakan nyata. Pemerintahan saat ini membuktikan bahwa tanggung jawab menjaga keadilan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.
*) Penulis merupakan Pengamat Sosial