Oleh : Naomi Leah Christine )*
Gelombang demonstrasi yang berujung kerusuhan dalam beberapa pekan terakhir memunculkan kritik keras dari kalangan mahasiswa, pelajar, dan pemuda. Aliansi Solidaritas Rakyat Indonesia (ASRI) bersama Koalisi Nasional Perempuan Indonesia (KNPRI) menegaskan bahwa unjuk rasa merupakan hak konstitusional setiap warga negara, namun harus dijalankan dengan cara yang damai, tertib, dan bermartabat. Mereka menolak segala bentuk provokasi maupun tindak anarkis yang justru merusak citra perjuangan rakyat.
Aliansi ASRI dan KNPRI, yang terdiri dari para pelajar, mahasiswa, serta pemuda, memilih jalur penyampaian aspirasi yang penuh dengan kedamaian tanpa adanya unsur kekerasan sama sekali. Mereka mendesak kepada pemerintah agar sesegera mungkin merespons seluruh tuntutan rakyat secara cepat, tepat, dan konkret, bukan hanya sekadar wacana.
Koordinator ASRI dan KNPRI, Fikri menyampaikan bahwa kerusuhan hanya akan merugikan masyarakat luas sekaligus mencederai semangat demokrasi. Tindakan anarkis seperti vandalisme, perusakan fasilitas publik, atau upaya adu domba antara rakyat dengan aparat keamanan tidak dapat dibenarkan.
Menurutnya, langkah nyata juga harus segera diambil oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai pemegang mandat rakyat untuk memastikan situasi kembali stabil. Keyakinan besar disampaikan bahwa Presiden mampu menjaga keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa melalui kebijakan yang responsif dan solutif.
Fikri menekankan bahwa kebebasan berekspresi harus tetap dijamin konstitusi, tanpa kriminalisasi atau pembungkaman suara kritis. Selain itu, penegakan hukum harus berjalan transparan dan adil, termasuk pengusutan terhadap aktor intelektual di balik kerusuhan. Dalam pandangannya, pejabat negara berkewajiban menjalankan amanah dengan penuh akuntabilitas.
Sikap serupa juga muncul dari mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tergabung dalam BEM KM IPB. Mereka menggelar aksi simbolik sebagai bentuk penegasan sikap menolak keras segala bentuk provokasi yang dapat memecah belah keutuhan bangsa.
Presiden Mahasiswa BEM KM IPB, M. Afif Fahreza, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kondisi bangsa yang diwarnai kekerasan dan kerusuhan. Ia menilai bahwa tindakan represif maupun aksi anarkis sama-sama berbahaya karena keduanya memperkeruh keadaan. Mahasiswa IPB menyerukan agar negara hadir dengan pendekatan humanis, persuasif, dan profesional, sebab setiap nyawa rakyat merupakan amanah konstitusi yang wajib dijaga.
Afif menegaskan bahwa seluruh elemen bangsa harus menahan diri, menolak provokasi, serta menjaga suasana damai. Menurutnya, menjaga republik bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga menjadi amanah generasi penerus. Ia juga mengajak masyarakat tetap kritis, waspada, dan beradab dalam menyampaikan aspirasi.
Menurutnya, aspirasi rakyat akan lebih bermakna jika didasarkan pada data dan fakta, bukan sekadar emosi atau informasi yang menyesatkan. BEM KM IPB juga menuntut agar pemerintah, DPR RI, serta aparat penegak hukum lebih empatik dalam merespons suara rakyat dengan mengutamakan dialog dan musyawarah. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa setiap kebijakan harus berpihak pada kepentingan rakyat, menjunjung keadilan, serta membuka ruang transparansi publik.
Karena itu, mahasiswa dituntut untuk menghadirkan langkah-langkah konstruktif, menjaga diri agar tidak terprovokasi, serta bijak dalam menyikapi arus informasi. Afif menutup deklarasi dengan ajakan optimis agar bangsa menatap masa depan dengan semangat intelektual kritis, sikap kebangsaan yang teguh, dan kontribusi nyata dari generasi muda.
Dukungan terhadap aksi damai juga datang dari kalangan tokoh agama. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Marsudi Syuhud, mengingatkan bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum memang dijamin konstitusi, tetapi hak tersebut harus dijalankan secara bertanggung jawab.
Ia menekankan pentingnya menjaga ketertiban umum, keamanan publik, serta melindungi harta benda masyarakat. Bagi Marsudi, menjaga kehormatan semua pihak adalah prinsip utama, baik itu rakyat, aparat, maupun para pemimpin bangsa.
Marsudi mengimbau agar setiap aksi unjuk rasa tetap menjaga kehormatan bersama. Rakyat sebagai penyampai aspirasi, aparat sebagai penjaga keamanan, serta pemimpin politik yang mengambil keputusan, semuanya harus dihormati. Dengan menjaga rasa hormat kolektif, stabilitas sosial dapat dipertahankan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.
Jika dicermati, pernyataan Fikri, Afif dan Marsudi menggambarkan benang merah yang sama: demokrasi hanya akan berjalan sehat bila aksi penyampaian pendapat dilakukan secara damai, tanpa provokasi, dan tidak merusak persatuan bangsa. Mereka sepakat bahwa provokasi politik yang menunggangi demonstrasi harus ditolak keras karena berpotensi memecah belah bangsa.
Sikap mahasiswa, pemuda, dan tokoh agama tersebut merepresentasikan harapan besar agar bangsa tidak terjebak dalam lingkaran konflik. Mereka menolak provokasi yang bersifat destruktif, sekaligus menyerukan jalan damai sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual. Pesan utama yang ditegaskan adalah pentingnya menjaga persatuan nasional, memperkuat dialog, serta memastikan setiap kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat.
Gerakan menolak provokasi yang mengancam persatuan bangsa menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki penopang moral yang kuat. Mahasiswa tampil sebagai agen perubahan, pemuda bergerak sebagai garda persatuan, sementara tokoh agama berperan sebagai penjaga nilai moralitas publik. Keselarasan suara dari berbagai elemen ini menjadi sinyal kuat bahwa bangsa hanya akan kokoh apabila kebebasan dijalankan secara damai dan bermartabat.
)* Kontributor Lembaga Media Inti Nesia