Oleh : Ricky Rinaldi
Situasi politik dan keamanan di Nepal dalam beberapa waktu terakhir menjadi pelajaran penting bagi negara lain, termasuk Indonesia. Gelombang unjuk rasa yang berujung pada aksi anarkis di Kathmandu memunculkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan internasional. Mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Sushila Karki menilai bahwa bentrokan tersebut lahir dari lemahnya kewaspadaan publik dalam menyaring provokasi. Ia mengingatkan bahwa masyarakat Nepal seharusnya bisa menjaga perbedaan pendapat tetap dalam koridor damai. Pandangan senada disampaikan oleh mantan pejabat militer Nepal Sudan Gurung yang menyebut bahwa aktor politik kerap mengeksploitasi isu identitas dan ekonomi untuk memicu kerusuhan. Bahkan Presiden Nepal Ramchandra Paudel menyerukan agar masyarakat menolak hasutan yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Pengalaman di Nepal ini memberikan refleksi penting bagi Indonesia yang juga memiliki keragaman sosial, budaya, dan politik. Jangan sampai ruang demokrasi yang terbuka justru dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan provokasi. Di titik ini, peran kepemimpinan nasional sangat menentukan. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas nasional dengan mengedepankan dialog. Dalam beberapa kesempatan pada bulan September 2025, ia menekankan bahwa Indonesia tidak boleh memberi ruang bagi provokasi yang bisa memicu aksi anarkis. Presiden menyampaikan bahwa setiap aspirasi masyarakat harus disalurkan melalui mekanisme konstitusional, bukan dengan tindakan merusak.
Pernyataan Presiden tersebut sejalan dengan pandangan berbagai menteri yang turut memberi perhatian serius. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menilai bahwa kerusuhan yang terjadi di Nepal memperlihatkan betapa cepatnya sentimen publik bisa berubah ketika ekonomi menjadi alat provokasi. Ia menekankan bahwa pemerintah Indonesia saat ini sedang menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap memprioritaskan stabilitas harga dan pengendalian inflasi. Menurutnya, dengan kondisi ekonomi yang terkendali, ruang bagi provokator untuk memanfaatkan keresahan rakyat akan semakin sempit.
Selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto juga menyoroti aspek ketahanan ekonomi sebagai benteng dari provokasi politik. Ia menyebutkan bahwa ketahanan pangan, ketersediaan energi, dan penyerapan tenaga kerja adalah faktor penting yang selalu dijaga pemerintah. Airlangga mengingatkan publik agar tidak mudah termakan isu-isu negatif yang kerap diembuskan melalui media sosial untuk menciptakan instabilitas. Ia menegaskan bahwa pemerintah senantiasa bekerja secara transparan dan mengajak masyarakat bersama-sama mengawasi jalannya kebijakan ekonomi agar tetap pro-rakyat.
Di era digital saat ini, arus informasi bergerak begitu cepat. Karena itu, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Viada Hafid menekankan pentingnya literasi digital sebagai benteng pertama masyarakat dalam menghadapi provokasi. Menurut Meutya, pengalaman Nepal menunjukkan bagaimana narasi provokatif dapat menyebar luas melalui media daring dan platform sosial, lalu memantik aksi di jalanan. Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak mudah membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya. Pemerintah, lanjut Meutya, terus memperkuat kerja sama dengan platform digital dan komunitas masyarakat untuk mengedukasi publik agar lebih cerdas dan kritis dalam menyaring informasi.
Di sisi keamanan, Kapolri, Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri tidak akan memberi ruang bagi provokator yang berusaha menciptakan kerusuhan di Indonesia. Ia menekankan bahwa aparat keamanan siap bertindak tegas terhadap setiap upaya yang mengarah pada aksi anarkis. Namun begitu, Listyo juga menegaskan bahwa pendekatan yang diutamakan adalah preventif, yaitu mencegah agar provokasi tidak berkembang menjadi tindakan destruktif. Polri, kata dia, terus bekerja sama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai organisasi untuk meredam potensi konflik di akar rumput.
Jika melihat alur pernyataan para tokoh nasional, dapat ditarik benang merah bahwa kewaspadaan publik adalah kunci. Masyarakat Indonesia harus menolak segala bentuk provokasi, baik yang menyangkut isu politik, ekonomi, maupun sosial. Pengalaman Nepal menjadi cermin bahwa provokasi yang dibiarkan akan berujung pada kerugian bersama, merusak stabilitas, dan bahkan mengancam demokrasi. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat sipil menjadi mutlak diperlukan.
Menjaga demokrasi tidak hanya tugas pemerintah, melainkan juga seluruh elemen bangsa. Setiap individu berperan penting dalam menjaga ruang publik tetap sehat dan konstruktif. Dengan meneladani pesan-pesan dari para pemimpin nasional, publik diharapkan semakin waspada dan tidak memberi ruang bagi provokasi yang mengarah pada aksi anarkis. Indonesia bisa belajar dari Nepal untuk memperkuat benteng kewaspadaan publik, sehingga cita-cita menjaga persatuan dan stabilitas nasional tetap terjaga di tengah dinamika global yang terus bergerak.
Selain itu, kewaspadaan publik bukan sekadar menolak provokasi, tetapi juga membangun budaya dialog yang sehat. Masyarakat harus terbiasa mendengarkan pendapat yang berbeda tanpa merasa terancam, serta berani mengklarifikasi informasi yang menyesatkan. Pemerintah memang menjadi pengendali utama kebijakan, tetapi kekuatan bangsa sejatinya terletak pada kedewasaan rakyat dalam merespons isu. Dengan kesadaran kolektif ini, Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana negara besar dengan keragaman tinggi tetap mampu menjaga stabilitas tanpa harus terjebak dalam konflik. Semakin kuat sinergi pemerintah, aparat, dan masyarakat, semakin kecil peluang provokasi berkembang menjadi aksi anarkis yang merugikan semua pihak.
*)Pengamat Isu Strategis