Akademisi Ajak Publik Jangan Terprovokasi Isu Hoaks Pasca Unjuk Rasa

Oleh : Rivka Mayangsari*)

Gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi di sejumlah daerah belakangan ini menjadi perhatian banyak pihak. Aspirasi yang disampaikan masyarakat, mahasiswa, maupun pelajar memang merupakan bagian dari hak demokrasi yang dijamin konstitusi. Namun, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua aksi berjalan damai. Sebagian bahkan diwarnai dengan tindakan anarkis, perusakan fasilitas umum, dan penyebaran isu-isu menyesatkan di media sosial. Hal ini memicu keprihatinan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, yang menyerukan agar publik tetap tenang, tidak terprovokasi, dan menjaga keutuhan bangsa.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Dr. Aditya Perdana, menilai demonstrasi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun, menurutnya, hak tersebut tetap memiliki batas. Jika demonstrasi dilakukan dengan cara-cara merusak dan anarkis, konsekuensi yang timbul justru merugikan masyarakat sendiri. Ia mencontohkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi akibat aksi anarkis hanya akan menyulitkan masyarakat luas. Fasilitas umum yang seharusnya dinikmati bersama menjadi tidak berfungsi, sementara biaya perbaikan harus ditanggung kembali oleh rakyat.

Aditya juga mengingatkan bahwa aksi anarkis hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan di masyarakat. Lebih dari itu, situasi semacam ini membuka ruang lebar bagi pihak-pihak yang ingin memprovokasi demi kepentingan tertentu. Ia menegaskan bahwa menjaga kedamaian dan ketertiban adalah bagian penting dari berdemokrasi, sebab tanpa itu aspirasi yang ingin diperjuangkan justru tenggelam dalam kericuhan.

Seruan damai juga datang dari Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Gorontalo, Dr. Sahmin Madina. Ia mengingatkan mahasiswa, pelajar, serta elemen masyarakat lainnya bahwa aspirasi memang merupakan hak demokrasi, tetapi harus disalurkan dengan cara yang sesuai konstitusi. Aksi di jalanan seharusnya tetap berada dalam bingkai kedamaian, bukan menjadi ajang untuk melampiaskan emosi secara destruktif.

Sahmin menegaskan bahwa fasilitas publik adalah milik bersama. Fasilitas itu dibangun dari jerih payah, keringat, dan pajak rakyat. Merusaknya sama saja dengan merugikan diri sendiri. Oleh karena itu, setiap aksi seharusnya tetap memperhatikan kepentingan publik yang lebih luas. Ia juga mengingatkan agar massa tidak mudah terprovokasi oleh kelompok tertentu yang memanfaatkan momentum aksi untuk menciptakan kekacauan. Dalam pandangannya, provokasi semacam itu sengaja dirancang untuk mengalihkan perhatian dari substansi isu yang diperjuangkan.

Sosiolog Universitas Brawijaya, Dr. Ahmad Imron Rozuli, juga menyoroti eskalasi gerakan massa dan potensi bahayanya. Ia menekankan bahwa masyarakat harus lebih kritis dalam menyikapi informasi, terutama yang beredar di media sosial. Menurutnya, penyebaran informasi yang tidak terkontrol bisa menjadi masalah serius. Berita bohong (hoaks) dan narasi provokatif dapat menyebar dengan sangat cepat, menimbulkan kegelisahan, ketidaktenangan, dan bahkan ketakutan di tengah masyarakat.

Imron menyampaikan bahwa bahaya terbesar dari kondisi saat ini bukan hanya kericuhan fisik di jalanan, melainkan arus informasi menyesatkan yang terus diproduksi dan dibagikan tanpa kendali. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya pada setiap informasi yang berseliweran di media sosial. Masyarakat harus jeli, mengecek sumber informasi, dan memastikan kebenarannya sebelum mengambil sikap.

Lebih lanjut, Imron memberikan pesan khusus kepada mahasiswa dan elemen gerakan lainnya. Ia berharap mereka tetap fokus pada substansi isu yang diperjuangkan, bukan pada narasi yang dibelokkan oleh pihak-pihak tertentu. Ia menegaskan bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan harus mampu menunjukkan kedewasaan politik, bersikap rasional, serta menjaga moralitas perjuangan. Dengan demikian, aspirasi yang mereka bawa bisa mendapatkan legitimasi luas dari publik, bukan sekadar menjadi kericuhan sesaat.

Para akademisi tersebut memiliki pandangan yang sama: bahwa demokrasi Indonesia harus dijaga melalui kedewasaan dalam menyampaikan aspirasi. Demonstrasi seharusnya menjadi sarana dialog antara rakyat dan pemerintah, bukan ajang kerusuhan yang merusak fasilitas umum. Mereka mengingatkan bahwa keberhasilan sebuah gerakan bukan diukur dari seberapa besar kericuhan yang ditimbulkan, melainkan seberapa efektif pesan dan solusi yang ditawarkan untuk memperbaiki kondisi bangsa.

Dalam konteks pasca unjuk rasa, publik juga diminta untuk tidak mudah termakan isu hoaks yang berseliweran. Isu-isu provokatif sengaja dimainkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Kesadaran kolektif untuk menyaring informasi dan menjaga ketenangan menjadi kunci utama agar situasi tetap kondusif.

Masyarakat Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menjaga persatuan di tengah perbedaan. Oleh karena itu, para akademisi menegaskan pentingnya kembali kepada nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan musyawarah sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Aspirasi boleh disampaikan, kritik boleh dilontarkan, tetapi semua itu harus dilakukan dalam koridor hukum, konstitusi, dan etika sosial yang menjunjung tinggi perdamaian.

Dengan komitmen bersama untuk tidak terprovokasi, menolak hoaks, serta menjaga fasilitas umum, Indonesia akan mampu melewati setiap tantangan dengan kepala tegak. Demokrasi akan tetap hidup, masyarakat tetap bersatu, dan aspirasi tetap sampai ke telinga pengambil kebijakan tanpa harus mengorbankan kedamaian yang sudah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.

*) Pemerhati Sosial