Oleh Loa Murib
Keamanan dan kedamaian adalah harta berharga bagi masyarakat Papua. Di tengah derasnya arus informasi dan dinamika politik nasional, provokasi yang mengarah pada aksi anarkis bisa menjadi ancaman serius jika tidak diantisipasi. Papua membutuhkan suasana tenang agar pembangunan berjalan lancar dan kehidupan sosial tetap harmonis tanpa terpecah oleh isu-isu yang tidak relevan dengan realitas masyarakat setempat. Kejadian demonstrasi yang berujung pada tindakan destruktif di Jakarta baru-baru ini menjadi pengingat penting bahwa potensi provokasi bisa saja meluas ke berbagai daerah, termasuk Papua
Tokoh adat Kabupaten Jayapura, Yantei Luwai, menegaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tentu telah dipertimbangkan secara matang. Oleh karena itu, masyarakat Papua tidak perlu terpengaruh isu-isu yang berkembang akibat aksi demonstrasi di Jakarta. Ia menyerukan agar masyarakat di enam provinsi Papua tetap fokus menjaga kedamaian, tidak terprovokasi oleh ajakan atau narasi yang berpotensi memicu kerusuhan. Bagi Yantei Luwai, menjaga Papua tetap kondusif adalah bentuk tanggung jawab bersama, baik dari masyarakat umum maupun para tokoh adat, tokoh agama, dan pemimpin komunitas.
Nada seruan yang sama datang dari kalangan tokoh agama. Pendeta Jones Wenda, Sekretaris Umum Sinode Kingmi Seluruh Indonesia, menyampaikan bahwa peristiwa demonstrasi di Jakarta adalah urusan lokal yang tidak perlu ditarik ke tanah Papua. Menurutnya, provokasi semacam itu hanya akan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Ia mengingatkan bahwa Papua adalah tanah Injil, sebuah tanah yang harus dijaga sebagai simbol kedamaian dan keberkahan. Bagi umat di Papua, menjaga Papua tetap aman bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga merupakan panggilan iman untuk merawat karunia Tuhan yang telah dititipkan di tanah ini.
Sementara itu, suara dari Papua Selatan melalui Ketua Ikatan Besar Auyu Kabupaten Mapi, Fredi Kaibu, menekankan pentingnya berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab. Baginya, aspirasi memang hak setiap warga negara, tetapi cara penyampaiannya harus tertib dan tidak boleh melampaui batas hukum. Ia mengingatkan bahwa demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis justru berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat luas, merusak persatuan, serta mencederai esensi demokrasi itu sendiri. Pesan ini mengandung makna mendalam: demokrasi bukan berarti kebebasan tanpa batas, melainkan ruang untuk menyampaikan pendapat secara bermartabat.
Peringatan serupa datang dari Tokoh Adat Tolikara, Karmin G. Yikwa, yang mengajak masyarakat Papua, khususnya di Tolikara, untuk menutup telinga dari isu-isu provokatif yang berbau anarkis. Ia menekankan bahwa masyarakat tidak boleh mudah terpengaruh tindakan-tindakan yang justru akan merugikan rakyat kecil. Dengan demikian, masyarakat diminta tetap waspada terhadap segala bentuk ajakan yang bisa menjerumuskan Papua pada konflik horizontal.
Jika ditelaah lebih jauh, pernyataan tokoh-tokoh Papua ini sejatinya memperlihatkan satu garis besar pemikiran: menjaga perdamaian adalah tanggung jawab bersama. Papua memiliki sejarah panjang dalam menghadapi berbagai tantangan, namun kedamaian selalu menjadi jalan utama yang dipilih demi melindungi generasi mendatang. Anarkisme, sebaliknya, hanya menghadirkan kerugian dan meninggalkan luka sosial yang sulit dipulihkan.
Dalam perspektif sosial, anarkisme tidak pernah menyelesaikan persoalan, melainkan justru menciptakan masalah baru. Kerusakan fasilitas umum, lumpuhnya aktivitas masyarakat, hingga terganggunya ekonomi lokal adalah dampak nyata yang sering kali ditimbulkan. Di Papua, yang tengah giat membangun infrastruktur, memperkuat pendidikan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tentu saja gejolak anarkis hanya akan menghambat laju pembangunan. Oleh karena itu, menolak provokasi dan meneguhkan komitmen pada jalan damai merupakan pilihan yang rasional sekaligus strategis.
Selain itu, seruan tokoh-tokoh Papua juga menunjukkan adanya kesadaran kolektif bahwa keamanan adalah fondasi dari kemajuan. Pembangunan tidak akan berjalan tanpa adanya stabilitas, dan stabilitas tidak mungkin terwujud jika masyarakat terpecah oleh provokasi. Oleh sebab itu, setiap individu di tanah Papua perlu menginternalisasi pesan ini: kedamaian bukan sekadar kondisi, tetapi investasi jangka panjang bagi masa depan.
Penting pula dicatat bahwa Papua memiliki modal sosial yang kuat dalam menjaga perdamaian, yakni keberadaan tokoh adat dan tokoh agama yang dihormati luas. Dalam budaya Papua, suara tokoh adat sering kali menjadi pedoman moral masyarakat, sementara ajaran agama memberi landasan spiritual yang memperkuat solidaritas. Ketika kedua otoritas sosial ini bergandengan tangan menyerukan damai, maka pesan itu memiliki kekuatan besar untuk membendung potensi provokasi.
Pada akhirnya, menjaga tanah damai Papua dari bahaya anarkisme adalah tugas kolektif yang tidak boleh diabaikan. Provokasi dari luar mungkin akan terus datang, tetapi dengan kewaspadaan dan komitmen bersama, Papua akan tetap berdiri kokoh sebagai wilayah yang aman, damai, dan harmonis. Pesan dari para tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat Papua harus dipandang bukan sekadar imbauan, melainkan sebagai pedoman moral yang mempertegas identitas Papua sebagai tanah yang menjunjung tinggi persaudaraan dan perdamaian.
Dengan memegang teguh pesan ini, masyarakat Papua tidak hanya melindungi diri dari ancaman anarkisme, tetapi juga menegaskan kepada bangsa Indonesia bahwa Papua adalah bagian integral yang selalu berkomitmen menjaga stabilitas nasional. Kedamaian Papua adalah kedamaian Indonesia, dan menjaga Papua tetap damai berarti menjaga masa depan bangsa.
*Penulis Adalah Mahasiswa Papua di Jawa Timur