Oleh: Sylvia Mote *)
Gelombang demonstrasi yang terjadi di Jakarta pada akhir Agustus 2025 kembali menjadi sorotan publik. Aksi tersebut, yang awalnya dimaksudkan sebagai bentuk penyampaian aspirasi, justru meninggalkan catatan kelam akibat munculnya tindakan anarkis yang merugikan masyarakat luas. Peristiwa meninggalnya seorang pengemudi ojek daring dalam kericuhan menjadi pengingat bahwa demonstrasi yang keluar dari jalur damai tidak pernah membawa manfaat, melainkan menambah penderitaan.
Dalam konteks inilah, suara dari berbagai tokoh masyarakat Papua mengemuka dengan tegas. Tokoh-tokoh Papua menekankan pentingnya menjaga ketenangan, persatuan, serta menolak segala bentuk provokasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Asmat, Gaspar Manmak, menilai bahwa aksi demonstrasi yang terjadi di Jakarta tidak mencerminkan semangat kebersamaan bangsa. Menurutnya, masyarakat Asmat diimbau agar tidak mudah terbawa arus provokasi, melainkan tetap fokus menjaga situasi daerah agar aman dan damai. Pandangan ini menunjukkan kesadaran kuat dari masyarakat adat Papua akan pentingnya stabilitas sebagai syarat utama pembangunan.
Nada serupa juga disampaikan oleh Kepala Suku Besar Momuna Kabupaten Yahukimo, Ismail Keikyera. Ia menilai bahwa aksi-aksi di Jakarta tidak layak diikuti, terlebih jika hanya menimbulkan kekacauan tanpa memberi solusi nyata. Menurutnya, masyarakat Papua memiliki tanggung jawab moral untuk tidak melibatkan diri dalam gerakan yang berpotensi memecah belah persatuan nasional. Seruan ini bukan sekadar imbauan, melainkan refleksi dari kearifan lokal yang menempatkan kedamaian di atas segala bentuk kepentingan sesaat.
Dari Biak, suara senada datang dari Ketua Dewan Adat Biak, Junus Julius K. Mandibodibo. Ia menyampaikan keprihatinannya terhadap korban jiwa yang timbul dari aksi demonstrasi. Menurutnya, peristiwa tragis tersebut seharusnya menjadi pelajaran bahwa tindakan anarkis hanya menghasilkan penderitaan. Ia menegaskan pentingnya seluruh masyarakat untuk tetap tenang, menahan diri, dan menjaga ketertiban, demi memastikan Papua dan wilayah lain di Indonesia tetap aman. Pandangan tersebut sejalan dengan semangat menjaga harmoni sosial yang menjadi fondasi kebijakan pemerintah dalam membangun daerah.
Dari kalangan tokoh agama, Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jayawijaya, Pendeta Alexander Mauri, turut menyampaikan keprihatinan. Ia menegaskan bahwa kerusuhan tidak pernah menyelesaikan masalah, melainkan memperburuk keadaan. Menurutnya, masyarakat Papua Pegunungan, khususnya di Wamena, harus bijak dan tidak mudah terprovokasi. Ia menekankan pentingnya menjaga suasana kondusif sebagai bagian dari tanggung jawab bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seruan ini mengingatkan bahwa stabilitas sosial tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan yang menjunjung tinggi kedamaian dan persaudaraan.
Rangkaian seruan dari berbagai tokoh Papua tersebut mencerminkan sikap konsisten dalam mendukung agenda pemerintah yang berorientasi pada pembangunan dan kesejahteraan. Pemerintah pusat tengah berfokus untuk memperkuat fondasi perekonomian, meningkatkan kualitas pendidikan, serta memperluas akses pelayanan publik di berbagai wilayah, termasuk Papua. Upaya besar ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa kondisi sosial yang stabil. Oleh karena itu, setiap bentuk provokasi yang menjurus pada kekerasan jelas bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak.
Dukungan tokoh-tokoh adat dan agama Papua juga menjadi bukti bahwa agenda pembangunan pemerintah memperoleh legitimasi moral dari akar budaya dan spiritual masyarakat. Para tokoh menyadari bahwa Papua membutuhkan ketenangan untuk bergerak maju. Tanpa keamanan, segala program peningkatan kualitas hidup masyarakat hanya akan menjadi wacana. Dengan demikian, menolak provokasi dan menjaga ketertiban bukan sekadar tindakan spontan, melainkan strategi penting demi keberlangsungan pembangunan jangka panjang.
Selain itu, sikap bijak para tokoh Papua menegaskan bahwa demokrasi tidak harus diwujudkan melalui kerusuhan. Penyampaian aspirasi seharusnya dilakukan dengan cara yang konstruktif, sesuai aturan, dan tetap menjunjung tinggi nilai persatuan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang selama ini dipegang pemerintah: membuka ruang dialog dan aspirasi, tetapi menolak keras segala bentuk anarkisme yang hanya menimbulkan kerugian sosial. Dalam kerangka itu, suara dari Papua memberi pelajaran berharga bahwa stabilitas dan perdamaian adalah kunci demokrasi yang sehat.
Di sisi lain, keprihatinan terhadap jatuhnya korban jiwa memperkuat kesadaran bahwa demonstrasi yang tidak terkendali berpotensi mengorbankan masyarakat kecil yang sama sekali tidak terlibat dalam agenda politik. Hal ini sejalan dengan pesan moral yang ditegaskan para tokoh adat dan agama: bahwa tanggung jawab utama kita adalah melindungi kehidupan dan menciptakan lingkungan yang damai. Pemerintah pun terus mengedepankan kebijakan yang menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama, sehingga seruan masyarakat Papua sejalan dengan arah kebijakan tersebut.
Seruan dari Papua ini juga memperlihatkan adanya konsolidasi sikap masyarakat daerah terhadap dinamika nasional. Alih-alih terprovokasi, para tokoh Papua memilih berdiri di sisi pemerintah dalam menjaga keamanan dan persatuan. Sikap ini menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi bangsa, terutama ketika menghadapi situasi politik yang kerap dimanfaatkan pihak tertentu untuk menciptakan instabilitas. Ketika tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil bergandengan tangan, stabilitas nasional akan lebih mudah dipertahankan.
Dengan demikian, peristiwa demonstrasi yang menimbulkan kerusuhan di Jakarta bukan hanya sekadar catatan hitam dalam perjalanan demokrasi Indonesia, melainkan juga momentum untuk memperkuat komitmen menjaga persatuan. Suara-suara bijak dari Papua menunjukkan bahwa bangsa ini masih memiliki fondasi moral yang kokoh untuk menolak kekerasan. Dukungan masyarakat terhadap agenda pemerintah menjadi penegasan bahwa pembangunan hanya mungkin terwujud dalam suasana aman dan kondusif.
*) Pengamat Sosial