Masyarakat Terima Hasil PSU dan Tolak Provokasi Kelompok Kepentingan

Oleh : Nanda Syfitri )*

Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam sebuah kontestasi demokrasi merupakan mekanisme yang sah dan konstitusional untuk menjawab sengketa atau pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilihan. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan PSU harus dipahami sebagai upaya memperbaiki proses demokrasi agar tetap berjalan sesuai aturan dan menghasilkan pemimpin yang legitimate. Namun, setelah PSU terlaksana, seluruh pihak, baik peserta maupun masyarakat, dituntut untuk memiliki sikap kedewasaan politik, terutama dalam menerima hasilnya.

Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Iffa Rosita, menegaskan pentingnya sikap legawa bagi pasangan calon yang kalah dalam PSU. Sikap tersebut bukan sekadar bentuk sportivitas politik, melainkan juga cermin kedewasaan demokrasi yang menjadi fondasi keberlangsungan bangsa. KPU RI juga terus mengingatkan jajarannya untuk menjaga integritas dan netralitas, sehingga tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk merusak kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Pernyataan ini menegaskan bahwa semua proses telah dijalankan secara transparan, dan hasil yang keluar harus dihormati sebagai keputusan rakyat.

Kondisi politik pasca-PSU sering kali menjadi momentum rawan karena ada pihak-pihak yang tidak puas dengan hasilnya. Di beberapa daerah, terbukti masih ada yang mengajukan sengketa ke MK meski proses PSU telah dilakukan. Situasi semacam ini menunjukkan adanya celah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok berkepentingan untuk memprovokasi masyarakat. Provokasi tersebut berpotensi mengganggu stabilitas sosial, menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara, serta menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sikap kedewasaan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menolak segala bentuk provokasi yang berpotensi memecah belah persatuan.

Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia (API) Papua, Pdt. Jeremias Rahakbauw, mengajak masyarakat Papua untuk menerima hasil PSU dengan lapang dada. Baginya, hasil pemilihan adalah bagian dari kehendak Tuhan, sehingga siapa pun yang terpilih harus diterima dengan penuh keikhlasan. Pernyataan ini mengandung pesan moral yang sangat kuat, khususnya bagi umat beragama. Dengan menempatkan hasil PSU sebagai bagian dari takdir ilahi, masyarakat diarahkan untuk mengedepankan persatuan dan kesatuan di atas kepentingan kelompok maupun individu.

Pdt. Rahakbauw juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh ajakan kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan momentum PSU untuk menggelar aksi demonstrasi anarkis. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat memang dijamin oleh undang-undang, namun hal itu tidak boleh ditunggangi dengan membawa atribut agama maupun simbol-simbol yang bisa memecah belah masyarakat. Pesan ini relevan mengingat potensi konflik sosial kerap kali dipicu oleh manipulasi isu agama maupun identitas yang digunakan sebagai alat politik.

Dalam konteks Papua, seruan ini memiliki arti yang lebih dalam. Papua selama ini adalah tanah yang kaya akan keragaman budaya dan iman, sehingga setiap provokasi berbau identitas bisa menjadi ancaman serius bagi kerukunan sosial. Dengan menekankan pentingnya peran tokoh agama dalam mengarahkan umat agar tidak terprovokasi, Pdt. Rahakbauw ingin memastikan bahwa keamanan dan persatuan tetap menjadi prioritas utama. Pemimpin agama, adat, dan tokoh masyarakat memang memiliki posisi strategis dalam menjaga ketenangan, karena mereka memiliki pengaruh moral yang kuat di tengah masyarakat.

Sikap lapang dada dalam menerima hasil PSU harus dipahami bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap aturan hukum, melainkan juga sebagai langkah preventif agar konflik tidak semakin melebar. Jika masyarakat terus mengedepankan gugatan dan provokasi tanpa dasar yang kuat, maka energi bangsa hanya akan habis dalam pertikaian yang tidak produktif. Padahal, tujuan utama demokrasi adalah menghadirkan pemimpin yang dipercaya rakyat untuk membawa perubahan dan kemajuan.

Menghadapi realitas politik ini, ada dua hal penting yang harus menjadi pegangan bersama. Pertama, seluruh pihak harus mengakui bahwa hasil PSU adalah hasil yang sah secara hukum. Mekanisme pengawasan sudah dijalankan, dan ruang koreksi melalui MK juga telah dibuka. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pihak mana pun untuk menolak hasil PSU dengan cara-cara inkonstitusional. Kedua, masyarakat harus menyadari bahwa setiap provokasi yang menyeret mereka ke jalanan dengan aksi anarkis hanya akan membawa kerugian. Provokasi semacam itu umumnya dimotori oleh kelompok berkepentingan yang tidak siap menerima kekalahan.

Dalam konteks lebih luas, penerimaan terhadap hasil PSU adalah wujud dari kematangan demokrasi bangsa. Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi juga tentang bagaimana seluruh pihak bisa menjaga stabilitas sosial-politik pasca pemilu. Tanpa stabilitas, pembangunan sulit berjalan, dan rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.

Pesan moral dari KPU RI dan tokoh agama di Papua memberikan gambaran bahwa demokrasi tidak akan sehat jika hanya dipahami sebatas perebutan kekuasaan. Demokrasi hanya akan kuat jika disertai sikap bijak, legawa, dan pengendalian diri dari seluruh pihak. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat menolak segala bentuk provokasi, menjaga kedamaian, serta menerima hasil PSU sebagai keputusan yang sah dan final.

Masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Dengan menerima hasil PSU, menolak provokasi, serta menjaga persatuan, mereka telah memberikan kontribusi nyata bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat dan bermartabat. Pada akhirnya, siapa pun pemimpin yang terpilih melalui PSU adalah sosok yang dipercaya rakyat sekaligus dikehendaki Tuhan untuk mengemban amanah lima tahun ke depan.

)* Penulis adalah seorang Pengamat Politik