Oleh : Zaki Walad )*
Gelombang demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah dalam beberapa waktu terakhir kembali menjadi berita duka bagi Indonesia. Pasalnya hal ini diwujudkan dengan cara merusak fasilitas umum dan memicu kerusuhan, maka sesungguhnya yang menjadi korban bukan hanya pemerintah, melainkan masyarakat luas.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menilai langkah cepat Presiden Prabowo Subianto yang mengundang tokoh agama serta organisasi masyarakat untuk meredam eskalasi ketegangan sudah berada di jalur yang benar. Ia menekankan bahwa respons cepat presiden menunjukkan keseriusan negara dalam mengatasi situasi. Ini bukan sekadar upaya politik, melainkan kebutuhan mendesak agar kondisi tidak berkembang ke arah yang lebih berbahaya.
Aditya menambahkan, aksi demonstrasi adalah bagian sah dari praktik demokrasi, tetapi begitu berubah menjadi anarkis, konsekuensinya justru merugikan publik. Masyarakat kehilangan kenyamanan dan akses terhadap fasilitas umum, dari halte bus hingga ruang publik yang seharusnya bisa digunakan bersama. Ia juga mendorong pejabat publik lebih berhati-hati berkomunikasi di ruang digital serta memperlihatkan empati nyata. Permintaan maaf saja, menurutnya, tidak cukup. Perlu langkah konkret yang bisa dirasakan rakyat.
Gambaran betapa kerusuhan merugikan masyarakat kecil tampak jelas dari suara para pengemudi ojek online. Pada Selasa, 2 September 2025, sejumlah pengemudi menggelar aksi damai di Jalan Medan Merdeka Selatan dengan membagikan bunga mawar kepada aparat keamanan, masyarakat, dan media. Humas Unit Reaksi Cepat Ojol, Erna menuturkan bahwa aksi damai tersebut menjadi wujud keprihatinan atas kondisi yang mereka alami. Ia mengatakan, para pengemudi ojol sejatinya hanya ingin bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Namun, akibat kerusuhan, kehidupan rumah tangga banyak pengemudi berantakan karena pesanan menurun drastis. Bahkan, pada malam hari, sebagian besar tidak lagi bisa beroperasi karena kondisi jalan tidak kondusif.
Erna mengingatkan, para pengemudi ojol adalah bagian dari masyarakat yang cinta damai. Mereka tidak ingin dikaitkan dengan kerusuhan atau aksi anarkis. Solidaritas mereka juga ditunjukkan dengan doa bagi mendiang Affan Kurniawan, pengemudi yang wafat saat demonstrasi. Ia berharap pelaku bisa dijatuhi hukuman setimpal. Lebih jauh, Erna menegaskan bahwa para pengemudi mendukung penuh komitmen Presiden Prabowo untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka percaya pemerintah hadir untuk memberikan kepastian dan keamanan. Harapan sederhana yang disuarakan Erna mewakili banyak pengemudi: kondisi kembali normal, jalanan kembali aman, lampu-lampu kota tetap menyala di malam hari, dan mereka bisa pulang membawa rezeki untuk keluarga.
Suara serupa datang dari tokoh sekaligus aktivis Papua, Charles Kossay yang mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat memang hak setiap warga negara, tetapi tidak boleh diwujudkan dengan tindakan anarkis. Baginya, ketika demonstrasi berubah menjadi ajang perusakan fasilitas umum, maka nilai demokrasi justru ternodai. Ia menggarisbawahi, aksi semacam itu tidak pantas dipuji dan sama sekali tidak bisa dibenarkan. Charles juga memperingatkan agar Jakarta tidak menjadi contoh buruk bagi daerah lain. Bila ibu kota saja menormalisasi demo anarkis, dirinya khawatir praktik itu akan ditiru di berbagai wilayah.
Charles yang pernah merasakan langsung kerasnya konsekuensi politik di Papua menegaskan, demonstrasi seharusnya tetap fokus pada substansi, dilakukan dengan santun, jelas, dan berorientasi pada dialog. Ia mengajak semua pihak, dari Papua hingga Aceh, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Menurutnya, kedamaian adalah kunci agar Indonesia bisa terus berdiri tegak di tengah berbagai tantangan.
Berbagai suara ini memberikan pesan yang konsisten: damai itu kuat, anarkis justru melemahkan. Demonstrasi memang sarana aspirasi, tetapi jangan sampai menjadi bumerang bagi rakyat sendiri. Kerusuhan hanya akan melahirkan kerugian: fasilitas umum rusak, ekonomi lumpuh, lalu lintas terhambat, dan masyarakat kecil kehilangan nafkah. Dampaknya tidak berhenti pada hari kejadian, melainkan merembet ke berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Di tengah arus globalisasi dan keterbukaan informasi, masyarakat Indonesia sejatinya sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi. Mereka bisa membedakan antara aspirasi tulus dengan provokasi yang ditunggangi kepentingan tertentu. Oleh sebab itu, penting bagi seluruh pihak untuk memilih jalur damai sebagai cara menyampaikan pendapat. Pemerintah sudah menunjukkan komitmen melalui langkah cepat Presiden Prabowo yang merangkul berbagai elemen bangsa. Kini, giliran publik untuk membalas dengan sikap bijak: menjaga suasana tetap kondusif, menolak provokasi, dan memastikan demokrasi berjalan sehat.
Kita harus menyadari bahwa perusakan fasilitas umum bukanlah keberanian, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan bersama. Lampu lalu lintas yang dipadamkan, halte yang dibakar, atau jalan yang ditutup paksa tidak menumbuhkan solidaritas, justru menambah penderitaan rakyat kecil. Masyarakat membutuhkan ruang aman, transportasi lancar, dan kepastian mencari nafkah. Semua itu tidak akan pernah hadir bila anarkisme dibiarkan.
Karena itu, imbauan damai dari berbagai pihak itu harus dijadikan pedoman. Mereka mewakili suara hati rakyat yang rindu stabilitas. Menjaga kedamaian bukan berarti menutup ruang kritik, melainkan memastikan bahwa kritik hadir dalam bentuk yang konstruktif, santun, dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Demokrasi tanpa anarkis bukan sekadar slogan, tetapi kebutuhan mendasar agar Indonesia bisa terus melangkah maju dengan penuh percaya diri.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute