Menolak Normalisasi Bendera Bajak Laut di Bulan Kemerdekaan

Oleh Kristina Martha Daliwu )*

Bulan Agustus selalu menjadi momentum sakral bagi bangsa Indonesia. Setiap tahunnya, masyarakat menyambut Hari Kemerdekaan dengan gegap gempita, dihiasi semangat nasionalisme, serta pengibaran Bendera Merah Putih di setiap sudut negeri. Namun, belakangan ini publik dihebohkan oleh fenomena viral pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece yang beredar luas di media sosial. Fenomena ini memunculkan perdebatan, terutama terkait pantas atau tidaknya simbol budaya populer ditampilkan dalam momentum perayaan kemerdekaan.

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, memberikan respons tegas terkait tren tersebut. Menurutnya, meskipun kebebasan berekspresi adalah bagian dari demokrasi yang dijamin negara, tetap ada batasan etis yang harus dijaga. Ia menegaskan bahwa Bendera Merah Putih tidak boleh ditempatkan lebih rendah atau tergantikan oleh simbol lain, apa pun bentuknya. Bagi Eddy, kreativitas masyarakat memang perlu diapresiasi, tetapi semangat nasionalisme harus tetap menjadi fondasi utama. Ia mengingatkan kembali pesan kebangsaan bahwa dalam ruang demokrasi seluas apa pun, Bendera Merah Putih wajib dikibarkan di posisi paling tinggi sebagai lambang persatuan bangsa.

Pandangan senada disampaikan oleh Anggota Komisi V DPR RI, Danang Wicaksana Sulistya. Menurutnya, penggunaan simbol anime bertemakan bajak laut dalam peringatan nasional tidaklah tepat. Ia memandang bahwa tren tersebut dapat mencederai nilai perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya Merah Putih. Danang menegaskan bahwa budaya populer, termasuk anime, tentu memiliki tempatnya sebagai hiburan dan ekspresi generasi muda. Namun, ruang sakral peringatan kemerdekaan tidak seharusnya dijadikan arena untuk menampilkan simbol-simbol yang tidak sejalan dengan nilai perjuangan bangsa. Oleh karena itu, ia meminta tren tersebut dihentikan agar tidak semakin meluas dan menimbulkan salah kaprah di tengah masyarakat.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Tengah, Hero Harappano Mandouw, menyoroti dengan tegas fenomena ini. Ia menilai tidak boleh ada upaya, baik secara sengaja maupun tidak, yang mengganti atau merendahkan simbol negara. Bagi Hero, Bendera Merah Putih adalah identitas, kebanggaan, sekaligus harga diri bangsa Indonesia yang diwariskan dengan darah dan keringat para pendahulu. Oleh karena itu, pengibaran bendera bajak laut One Piece, meskipun mungkin dianggap sekadar hiburan oleh sebagian pihak, tetap tidak bisa dibenarkan. Dalam pandangannya, membiarkan tren ini berlanjut dapat membuka celah bagi merosotnya penghormatan terhadap simbol negara.

Fenomena ini sebenarnya mencerminkan adanya benturan antara budaya populer global dengan nilai-nilai kebangsaan. Generasi muda yang tumbuh di era digital kerap menjadikan tokoh-tokoh fiksi dari anime atau komik sebagai simbol ekspresi diri. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang keliru selama ditempatkan pada ruang yang tepat. Namun, ketika simbol tersebut mulai masuk ke ranah peringatan nasional, maka diperlukan garis pembatas yang jelas agar identitas bangsa tidak tereduksi oleh budaya asing.

Bendera Merah Putih bukanlah sekadar kain berwarna merah dan putih, melainkan simbol kedaulatan yang menyatukan ratusan suku, bahasa, dan budaya di Indonesia. Dalam setiap upacara pengibaran, terkandung makna perjuangan dan pengorbanan. Ketika simbol negara ini disejajarkan atau bahkan digantikan oleh bendera bajak laut, maka ada potensi terjadinya pergeseran makna yang berbahaya. Normalisasi semacam itu bisa menimbulkan generasi yang abai terhadap nilai historis dan nasionalisme.

Oleh karena itu, penting untuk meneguhkan kembali bahwa kreativitas tidak boleh mengaburkan batas penghormatan terhadap simbol negara. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat perlu berperan aktif memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang makna filosofis Merah Putih. Edukasi yang tepat akan membuat anak muda tetap kreatif tanpa harus melanggar nilai-nilai kebangsaan.

Selain itu, fenomena ini juga menjadi alarm bagi kita semua untuk lebih bijak dalam menyikapi tren media sosial. Viralitas sering kali membuat sesuatu yang sepele menjadi terlihat wajar, padahal belum tentu sesuai dengan norma atau nilai nasional. Tugas bersama bangsa adalah memastikan bahwa ruang digital tidak menjadi sarana yang mengikis rasa cinta tanah air. Justru sebaliknya, media sosial harus bisa menjadi medium yang memperkuat nasionalisme dengan konten-konten positif seputar kemerdekaan dan kebanggaan terhadap Indonesia.

Dengan demikian, menolak normalisasi bendera bajak laut di bulan kemerdekaan bukanlah tindakan yang berlebihan. Sebaliknya, ini merupakan upaya menjaga marwah bangsa di tengah derasnya arus budaya global. Bendera Merah Putih harus tetap berdiri tegak, bukan hanya di tiang-tiang upacara, tetapi juga di hati seluruh rakyat Indonesia. Karena pada akhirnya, penghormatan terhadap Merah Putih adalah cermin penghormatan kita kepada sejarah, pahlawan, dan bangsa ini sendiri.

Momentum peringatan kemerdekaan seharusnya dimaknai dengan kegiatan yang mampu memperkuat rasa persatuan. Penggunaan simbol-simbol budaya populer asing memang bisa menjadi bagian dari hiburan, tetapi jangan sampai menodai kesakralan bulan Agustus. Sejarah bangsa telah mengajarkan bahwa kemerdekaan diraih dengan perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Maka, sudah sepatutnya setiap warga negara menempatkan Bendera Merah Putih di posisi terhormat. Merah Putih adalah simbol pemersatu bangsa yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Menolak normalisasi tren ini berarti menjaga identitas bangsa tetap kokoh di tengah gempuran budaya global.

)* penulis merupakan pengamat budaya

[ed]